Berita Viral

Terima Rp11 Juta Dana Komite, Abdul Muis Luruskan Tuduhan :Itu Insentif Bertahun-Tahun, Bukan Pungli

Terima uang Rp11 Juta dari iuran komite yang dibebankan orang tua untuk gaji guru honorer, Abdul Muis akhrinya memberikan klarifikasi.

Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Moch Krisna
Tribunnews
DAPAT REHABILITASI : Raut lega dan haru terpancar dari wajah dua guru asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal, setelah menerima langsung surat rehabilitasi yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (13/11/2025). 

Undang-Undang Dasar, kata dia, memberi kewenangan kepada Presiden untuk memberikan rehabilitasi kepada terpidana.

Sehingga, apa yang dilakukan presiden melalui rehabilitasi dua guru tersebut bukanlah bentuk intervensi terhadap putusan pengadilan.

Kedua guru tersebut, kata dia, juga telah menjalani putusan pengadilan.

Kendati begitu, ia menegaskan putusan MA terbukti benar.

"Apakah salah? Ya, putusan pengadilan tetap harus dianggap benar. Sampai dengan adanya putusan lain yang menyatakan itu putusan salah. Jadi memang putusannya benar-benar terbukti kok," ucapnya.

"Tapi tidak tahu, ternyata beritanya seperti itu. Kalau saya baca, saya kan baca berkasnya. Itu seperti itu kondisinya. Jadi tidak ada pertentangan antara putusan pengadilan dengan keputusan Presiden, tidak ada," pungkasnya.

 

Faisal Tak Terima Disebut Salah Laporkan Abdul Muis dan Rasnal

Faisal Tanjung aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melaporkan dua guru SMAN 1 Luwu Utara menanggapi soal dirinya dimaafkan PGRI.

Seperti diketahui, Faisal Tanjung melaporkan dua guru tersebut terkait kasus pungutan liar (pungli) Rp 20 ribu.

Kini Abdul Muis dan Rasnal sudah menerima kembali SK pengaktifan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sementara, ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin memaafkan Faisal Tanjung setelah Abdul Muis dan Rasnal status ASN dikembalikan.

Menanggapi hal itu, Faisal Tanjung tampaknya tak terima dirinya dimaafkan ketua PGRI Luwu Utara.

Lewat Facebook miliknya @faisal tanjung, Rabu (19/11/2025) menyentil pihak PGRI.

Dikatakan Faisal, jika dirinya dimaafkan berarti ia dinilai bersalah karena melaporkan dua guru tersebut.

Kendati begitu, ia meminta PGRI lutra untuk melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung untuk membantah putusan tersebut jika memang tidak benar.

Ia juga mengaku hanya masyarakat biasa yang hanya menjalankan sosial kotral.

"Kenapa PGRI cara berfikirnya begini, kalau saya dimaafkan berarti yang salah saya..
Kalau memang dianggap salah Silakan Lakukan PENINJAUAN KEMBALI (PK) KE MAHKAMA AGUNG (MA), Untuk membantah bawah PUTUSAN  itu tidak benar..supaya jelas, saya hanya masyarakat yang menjalankan sosial kontral," tulisnya.

Dalam unggahannya itu juga, Faisal membagikan dokumen bukti isi putusan Mahkamah Agung.

Abdul Muis dan Rasnal, sempat menjalani proses hukum pidana dan juga kena PTDH sebagai ASN, karena memungut sumbangan Rp 20.000 per bulan dari orangtua siswa demi membantu guru honorer yang tak digaji.

Putusan isi MA menjelaskan bahwa dalam periode 2018 hingga 2021, dana yang dihimpun dari orang tua/wali murid mencapai angka fantastis, yakni sebesar Rp770.808.000.

MA menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara sesuai Putusan MA Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 dan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023. 
 
Hakim memvonis mereka bersalah atas kasus gratifikasi.

Dana tersebut disimpan pada rekening saksi Abdul Muis Muharram dan sejatinya diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan operasional sekolah; mulai dari honor guru, tunjangan wali kelas, Tunjangan Hari Raya (THR), hingga upah cleaning service.

Namun, majelis hakim kasasi yang terdiri dari tiga hakim H Eddy Army sebagai Ketua, serta Hakim Anggota Ansori dan Prim Haryadi menilai adanya penyimpangan fatal. 

Praktik pengambilan bagian pribadi oleh Rasnal dan Abdul Muis sebesar Rp11,100.000 tersebut dipandang sebagai perbuatan pidana.

MA secara tegas menyatakan bahwa rangkaian perbuatan tersebut telah menyalahi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016. 

Regulasi tersebut mengatur bahwa Komite Sekolah hanya diperbolehkan menerima sumbangan yang bersifat sukarela, dan dilarang keras menarik pungutan yang memberatkan atau mengikat.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung menilai tindakan kedua guru tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi. 

Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Atas pertimbangan tersebut, MA mengabulkan permohonan kasasi Penuntut Umum dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 56/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mks tanggal 15 Desember 2022, karena dinilai tidak tepat mempertahankan putusan sebelumnya.

Putusan ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 pada halaman 26 dari 29 halaman dokumen resmi.

(*)

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved