Liputan Khusus Tribun Sumsel

LIPSUS: 10 Bulan Hasil Tanam Zonk, Warga Transmigran Berjuang Keras, Lahan Ditempati tak Produktif-1

Selama 10 bulan ditempatkan di PALI, warga transmigrasi mengaku kesulitan mengolah lahan pertanian yang belum produktif.

Editor: Vanda Rosetiati
SRIPO/APRIANSYAH ISKANDAR
Liputan khusus Tribun Sumsel, selama 10 bulan ditempatkan di PALI, warga transmigrasi mengaku kesulitan mengolah lahan pertanian yang belum produktif. 

Tanah ini merupakan tanah yang sedang mengalami krisis. Dengan kata lain, tanah ini dapat dikembalikan supaya menjadi jenis tanah yang normal.

"Jadi dibutuhkan pengapuran untuk mengatasi keasaman dan kejenuhan AI yang tinggi. Sehinggah dapat mengubah tanah yang sifatnya sangat masam mendekati pH netral. Untuk jenis kapur, saat ini yang dibutuhkan oleh kami yakni pupuk dolomit, yang bisa sekaligus mensuplai Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada tanah," terangnya.

"Sementara untuk kebutuhan membeli pupuk, kami di sini cukup kesulitan karena belum ada penghasilan dari lahan yang kami kelola. Waktu dapat bantuan benih dari Disnakertrans sudah mati semua, karena lahan yang baru dibuka zat asam tanahnya masih tinggi dan juga terendam banjir sehingga gagal," tambahnya.

Diceritakannya, pada pembagian benih pertama yang ditanam sudah mati karena zat asam tanah pada lahan baru yang dibuka itu masih tinggi, apalagi lahan terendam air karena banjir.

"Bantuan benih pertama itu padi dan sayuran, tapi waktu ditanam pertumbuhannya kurang bagus atau kerdil, dan juga terkena banjir pada awal-awal tahun kemarin, mati semua karena durasi air tergenang cukup lama sekitar setengah bulanan kalau hujan deras," ungkapnya.

Ketika cuaca kembali normal, lahan perkarangan sudah bisa ditanami lagi, Sugianto mulai melakukan penanaman kembali dengan membeli benih dari modal sendiri.

Ia menanam sayuran seperti kangkung, kacang panjang, jagung, kacang hijau untuk lahan perkarangan seluas 0,25 hektar.

"Benih kangkung saya beli 2 kilo Rp 120 ribu, kacang panjang 1 kilogram Rp 170 ribu, dan kacang hijau 2 kilogram Rp 100 ribu, belum pupuk, seperti pupuk Dolomit 40 Kg Rp50 ribu dan ZA untuk ukuran 20 kilogram Rp 176 ribu, itu modal sendiri," ungkapnya.

"Itupun tidak cukup sekali, kalau ditotal kan sudah habis modal sekitar 4 jutaan, sementara penghasilan tetap belum ada, itu pun cari modal secara serabutan, kadang jadi kuli bangunan. Sudah dua kali gagal, dan sekarang tanam lagi terdampak kemarau saat ini, tanaman pada layu, seperti kacang panjang sudah kering karena kekurangan air, khawatir juga gagal panen lagi," sambungnya.

Menurut Sugianto, berdasarkan diskusi dengan penyuluh pertanian, mereka mengatakan di lahan ini belum bisa untuk tiga kali tanam dalam setahun, cuma bisa baru satu kali tanam, karena selain pH tanah belum normal, kalau musim penghujan durasi tergenang cukup panjang begitu juga dengan kemarau durasi nya juga lama, karena belum ada tanggul atau irigasi yang mengatur debit air.

Jaminan Hidup

Sugianto tertarik mengikuti program transmigrasi dengan harapan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan ingin sejahtera.

Di lokasi transmigran dia diberikan rumah dan lahan untuk dikelola dan bisa menjamin kehidupan keluarga nya di masa depan. Dari sebelumnya ia hanya bekerja serabutan di Semarang dan belum memiliki tempat tinggal.

Ia datang bersama istri dan ketiga anaknya, pada Desember 2022 beserta 8 Kepala Keluarga lainnya, yang merupakan rombongan transmigrasi dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saat ini warga transmigrasi hanya mengandalkan bantuan jaminan hidup (Jadup) dari pemerintah, yang diberikan selama 18 bulan dan telah berjalan selama 10 bulan.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved