Berita Viral

Faisal Tanjung Desak Pemeriksaan Ulang Dana BOS Picu Honorer Tak Digaji, Khawatir ASN yang Menikmati

Faisal Tanjung, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melaporkan kasus ini, kembali bersuara mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) periksa dana bos

Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Kharisma Tri Saputra
(MUH. AMRAN AMIR)/Kompas.com
FAISAL TANJUNG - Faisal Tanjung, Ketua Badan Advokasi Investigasi Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (BAIN HAM RI) di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Jumat (14/11/2025). Faisal Tanjung, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melaporkan kasus ini, kembali bersuara mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) melakukan pemeriksaan mendalam, tidak hanya pada pungutan komite, tetapi juga pada alokasi Dana BOS yang diperuntukkan bagi honorer. 

Angka inilah yang, menurut Abdul Muis, kerap dipersepsikan keliru seolah merupakan penerimaan rutin setiap bulan.

“Yang perlu diluruskan itu angka Rp 11.100.000 itu. Seakan-akan kami menerima itu per bulan. Padahal itu akumulasi insentif untuk tugas-tugas tambahan selama bertahun-tahun,” ujar Abdul Muis saat dikonfirmasi Kompas.com, usai hari pertama kembali mengajar, Kamis (20/11/2025).

Muis menegaskan bahwa ia hanya menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan saat menjadi bendahara komite.

Para orang tua, kata dia, mengusulkan adanya insentif untuk wali kelas, petugas laboratorium, hingga wakil kepala sekolah (wakasek) yang memegang tanggung jawab tambahan.

“Wali kelas itu Rp 150.000 per bulan, humas dan wakasek Rp 200.000 per bulan. Cairnya per triwulan. Sebagai bendahara, uang jalan atau transportasi saya Rp 125.000 per bulan,” ucapnya.

Jika dihitung, kata dia, total insentif yang ia terima per triwulan adalah Rp 975.000, dikalikan empat triwulan dalam setahun, lalu dikalikan tiga setengah tahun.

“Polisi hanya memunculkan angka Rp 11.100.000 tanpa penjelasan lengkap. Jadinya seakan-akan kami menerima gratifikasi bulanan. Ini juga sudah terungkap di pengadilan,” kata Muis.

Ia menegaskan, insentif itu murni inisiatif para orang tua yang menilai guru menjalankan tugas tambahan yang menyita waktu dan tenaga.

“Orang tua siswa bilang: Yang penting anak kami diajar dengan baik, diurus dengan baik. Ini kami kasih insentif. Kami pun tidak pernah meminta,” tambahnya.

Sayangnya, niat baik Muis justru berujung pada perkara hukum. Ia dituduh melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada peserta didik.

Ketua Komite SMA Negeri 1 Luwu Utara, Muhammad Sufri Balanca, yang saat itu masih menjadi anggota komite, membenarkan bahwa insentif dan iuran komite telah dibahas bersama orang tua secara terbuka.

Ia mengatakan tidak pernah ada penolakan dari orang tua siswa terkait besaran iuran komite.

Bahkan ketika perhitungan komite menetapkan iuran hanya Rp 17.000 per bulan, para orang tua justru meminta dinaikkan menjadi Rp 20.000.

“Rp 20.000 itu tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Orangtua malah bilang cukupkan Rp 20.000 karena itu untuk kegiatan anak-anak mereka,” ujar Sufri.

Ia mengingat kembali saat pemeriksaan di Dinas Pendidikan, seorang ibu dari Desa Radda sempat memprotes keras penyidik yang mempersoalkan iuran tersebut.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved