Berita UMKM

Kisah Generasi Kedua Pengusaha Kerupuk Keriting AAS Palembang, Pertahankan Rasa & Proses Tradisional

Sarnati (39), generasi kedua yang meneruskan usaha Kerupuk Ikan AAS, yang berlokasi di Lorong Tangga Raja, Palembang.

SRIPOKU/SYAHRUL HIDAYAT
KERUPUK AAS -- Pekerja Perajin Kerupuk Keritng memirik adonan ikan sagu dan ikan giling sarden produksi kerupuk keriting. Menurut Sarnati (39), generasi kedua yang meneruskan usaha sang ibu sejak 2013, dalam sekali produksi mereka menghabiskan 75 kg sagu, 10 kg ikan sarden giling ini menghasilkan 30 kg kerupuk keriting, Sabtu (26/9/2025). Pemasaran produk Kerupuk kerinting mentah AAS ke berbagai daerah dengan harga jual Rp 18.000 per kilogram. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG -- Palembang, kota yang telah lama dikenal sebagai surga kuliner berkat pempek dan beragam makanan olahan ikan lainnya, kini semakin memantapkan posisinya di kancah global. 

Selain pempek, produk turunan ikan lainnya seperti kempelang dan kerupuk ikan telah menjadi primadona, dan para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sektor ini kini menaruh harapan besar untuk bisa menembus pasar ekspor dan dikenal masyarakat dunia.

Harapan ini semakin menguat setelah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) baru-baru ini mencatat prestasi membanggakan dengan mengekspor sebanyak 17,1 ton kerupuk Palembang ke luar negeri, yakni Taiwan, melalui Pelabuhan Boom Baru.

Pencapaian ini diharapkan memberikan dampak positif dan dorongan semangat bagi seluruh pelaku UMKM kerupuk dan kempelang di Palembang dan daerah kabupaten se-Sumsel.

Sentra-sentra produksi kerupuk dan kempelang banyak ditemukan di Palembang.

Salah satu yang bersemangat menjaga tradisi dan kualitas adalah Usaha Kerupuk Ikan AAS, yang berlokasi di Lorong Tangga Raja, Kelurahan Dua Ulu, Kecamatan Seberang Ulu Satu, tepat di samping Jembatan Musi 6.

Usaha Kerupuk keriting ini merupakan  bisnis turun-temurun. Sedikitnya ada enam perajin kerupuk dari warga sekitar. Mereka fokus mengolah Kerupuk Keriting berbahan dasar ikan giling sarden.

Sarnati (39), generasi kedua yang meneruskan usaha sang ibu sejak 2013, berupaya keras mempertahankan cita rasa dan proses pengerjaan yang masih tradisional.

"Kita harus higienis, jadi kita punya langganan ikan, kita periksa, bersihkan sendiri dulu, baru digiling. Jadi kita lihat benar kualitas ikannya," ujar Sarnati, ibu berputra tiga ini, menekankan pentingnya kualitas bahan baku.

Proses pembuatan kerupuk keriting ini unik, mirip dengan pempek namun menggunakan istilah "babon sagu" atau biang sagu, yang kemudian diadon bersama ikan giling, sagu, garam, dan penyedap rasa.

Alat pemirik ikan yang digunakan pun masih berbahan tembaga, menghasilkan satu kerupuk keriting mentah setiap kali dipirik, sebelum akhirnya dikukus dan dijemur.

Dalam sehari, AAS mampu menghasilkan 30 kg kerupuk keriting kering dari 10 kg ikan giling dan 75 kg sagu.

Meski optimis, Sarnati mengakui ada sejumlah kendala yang dihadapi.

Salah satunya adalah kesulitan bahan baku, terutama sagu khusus kerupuk yang harganya sering naik. Kenaikan ini sangat menentukan keberlanjutan produksi. 

"Sagu ini pas buat kerupuk. Kalau sudah naik, kita tidak bisa lagi produksi kerupuk ini," harapnya agar harga sagu stabil, Sabtu (26/9/2025).

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved