"Biasanya, nama ini merupakan titipan dari umbay akas yang melihat adanya keistimewaan atau kelebihan pada cucunya," terangnya.
Ketiga, Adok Cumbuan. Berbeda dari dua kategori sebelumnya, adok cumbuan diberikan kepada cucu-cucu kesayangan yang dinilai memiliki kelebihan atau keistimewaan secara pribadi.
"Gelaran ini sering menjadi bentuk penghargaan dari kakek atau nenek berdasarkan kedekatan emosional dan pengamatan langsung," ujarnya.
Kemudian keempat Adok Non-Genetik. Dalam struktur sosial Komering, dua kategori adok non-genetik juga sangat penting, yaitu Adok Pengangkonan, diberikan kepada orang luar suku Komering yang sudah lama berinteraksi dan dianggap sebagai bagian dari keluarga besar.
Dalam proses ini, nama adat yang diberikan harus lebih rendah dari keluarga pemberi gelaran sebagai bentuk penghormatan hierarki adat.
Lalu Adok Penghormatan, diberikan kepada tokoh atau pejabat, baik di lembaga pemerintahan, pendidikan tinggi, BUMN/BUMD, maupun organisasi profesi.
"Tujuannya agar yang bersangkutan dapat memahami adat dan budaya Komering, serta menjaga amanah dan nama baik sebagai bagian dari keluarga adat yang memberikan gelaran," ungkapnya.
Baca juga: Sering Tak Kebagian Air, Petani di Desa Satan Indah Jaya dan Desa Suro Musi Rawas Gelar Patroli Air
Baca juga: Puluhan Tahun Menanti, Warga Desa Muncak Kabau OKU Timur Lega Akhirnya Punya Sertifikat Tanah
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa struktur nama adat di tujuh eks-marga di OKU Timur seperri Bunga Mayang, Paku Sengkunyit, Buay Pemuka Peliung, Buay Pemuka Bangsa Raja, Tanjung Raya (Belitang), Madang Suku I, dan Madang Suku II sangat terstruktur.
Bahkan beberapa gelaran dan pasangannya adalah sebagai berikut Raja atau Suttan atau Ratu, pasangannya Ratu.
Batin pasangannya Tutukan, Ngeringgom, Ilunan. Dalom pasangannya Inton, Nyimas.
Kemudian Minak, Radin, Temenggung, Mentri, Mangku, Pendita, Nata, Niti, pasangannya Tulin, Ilunan, Cahya, Mutiara.
"Dalam satu guguk (jurai) yang berasal dari satu umbay akas, tidak diperbolehkan ada dua nama adat setingkat. Hal ini mengacu pada prinsip bahwa 'tidak ada matahari kembar dalam satu keluarga'," paparnya.
Sementara itu, di wilayah eks-Marga Semendawai I, II, dan III, gelaran untuk perempuan biasanya hanya ditambahkan kata “Nay” sebagai pendamping nama pria. Di wilayah ini juga lazim ditemukan gelaran seperti Prabu, Raja, Radin, dan Mangku.
Menurut H. Leo Budi Rachmadi, pemberian nama adat, terutama kategori Pengangkonan dan Penghormatan, tidak sekadar simbol.
Di dalamnya terkandung harapan agar penerima dapat menjadi jembatan antar budaya, mengurangi potensi konflik antarsuku, dan menekan angka kriminalitas.