Pilgub Sumsel 2024

Pilkada Rawan Politik Uang, Hanya 10 Persen Pemilih Rasional, Menghalangi Pemimpin Berkualitas

Hal tersebut diungkap pada diskusi bertema "Strategi Pamungkas Memenangkan Suara Rakyat" yang berlangsung, Sabtu (16/11/2024) malam.

Editor: Slamet Teguh
Tribunsumsel.com
Ilustrasi - Pilkada Rawan Politik Uang, Hanya 10 Persen Pemilih Rasional, Menghalangi Pemimpin Berkualitas 

Pidana Dua Tahun

Ahli Hukum Pidana Hendra Sudrajat dari kantor Firma Hukum Hendra Sudrajat Legal Consultant mengatakan, kampanye hitam termasuk ke dalam kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Pemilu nomor 27 tahun 2017 pasal 280 ayat 1 huruf C dan huruf D. Poin C dan poin D ancaman hukumannya paling lama 2 tahun denda Rp 24 juta.

"Tentu jelas ada pidananya karena Black campaign yang menyinggung ras, agama, suku, atau golongan salah satu paslon termasuk ke dalam poin yang ada di dalam Pasal 280 ayat 1 Undang-Undang pemilu, " ujar Hendra, Minggu (17/11/2024).

Jika kampanye hitam juga dilakukan melalui media sosial maka hukum pidana yang menjerat adalah UU ITE.

Kepada masyarakat Black campaign sangat berdampak kepada perpecahan. Menurutnya ada baiknya setiap kontestan menghindari kampanye hitam yang menjatuhkan sesama paslon.

"Meskipun eskalasi minim, setidaknya bahwa setiap paslon memberikan literasi kepada pemilih bukan hanya edukasi. Pilkada pilih pemimpin berbeda dengan Pileg. Kualitas Pilkada adalah melahirkan kepala daerah tingkat yang berintergritas," katanya.

Untuk menghindari black campaign dan kampanye negatif, masyarakat harus cerdas dalam memilih calon khususnya dalam mengkonsumsi informasi publik. Utamanya informasi yang berkaitan dengan kampanye memilih dan melihat mana yang tidak mengandung unsur black campaign.

"Kalau menemukan adanya black campaign segera laporkan ke pihak terkait. Masyarakat juga mesti tidak hanya melihat dari satu sisi sebagai referensi, " katanya.

Pakar Hukum Unsri Artha Febriansyah mengatakan, kampanye negatif lebih kepada menyerang keburukan lawannya yang secara fakta memang ada. Sedangkan kampanye hitam adalah berita bohong atau menjelek-jelekkan tanpa bukti.

"Seorang kandidat bisa saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat faktual (misalnya kandidat tersebut pernah dipidana pada perkara korupsi). Misalnya satu kampanye negatif yang dilakukan adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk," ujar Artha.

Menurut Artha, dampak hukum yang dihasilkan dari Black campaign adalah tindak pidana, berbeda dengan kampanye negatif yang tak bisa dipidana sebab yang dilontarkan adalah faktual.

"Kalau faktual tak bisa dipidana, bisa dikatakan setiap tim pemenangan memiliki kesempatan untuk melakukan hal tersebut tinggal strategi untuk mencegah kampanye negatif itu," katanya.

Artha menyebut secara yuridis, dalam UU Pemilu tidak diatur secara eksplisit mengenai kampanye hitam ini. Namun demikian, perlu kiranya dicermati ketentuan di dalam Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu tentang larangan dalam kampanye.

"Dalam pasal tersebut, larangan black campaign dalam pemilu tercermin di dalam larangan untuk menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Termasuk pula apabila terdapat unsur penghinaan terhadap seseorang, SARA, dan/atau peserta pemilu lain," tuturnya.

Sementara itu, di dalam Pasal 69 huruf c UU 8/2015 dan penjelasannya, secara tegas disebutkan bahwa kampanye hitam atau black campaign adalah melakukan kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved