Pilgub Sumsel 2024

Pilkada Rawan Politik Uang, Hanya 10 Persen Pemilih Rasional, Menghalangi Pemimpin Berkualitas

Hal tersebut diungkap pada diskusi bertema "Strategi Pamungkas Memenangkan Suara Rakyat" yang berlangsung, Sabtu (16/11/2024) malam.

Editor: Slamet Teguh
Tribunsumsel.com
Ilustrasi - Pilkada Rawan Politik Uang, Hanya 10 Persen Pemilih Rasional, Menghalangi Pemimpin Berkualitas 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG -- Sejumlah aktivis demokrasi di Sumatera Selatan menyuarakan keprihatinan terhadap maraknya praktik politik uang yang diprediksi akan menjadi "senjata" para calon kepala daerah dalam meraih dukungan jelang pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 27 November 2024.

Hal tersebut diungkap pada diskusi bertema "Strategi Pamungkas Memenangkan Suara Rakyat" yang berlangsung, Sabtu (16/11/2024) malam.

Relung Forum bersama Forum Jurnalis Parlemen (FJP) menghadirkan tiga narasumber dari berbagai latar belakang: Ketua FJP Dudi Oskandar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan dan Politik (PSKP) Dr. Ade Indra Chaniago, M.Si, dan Direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA) Rahmat Sandi Iqbal.

Dalam diskusi tersebut, jurnalis, akademisi, dan aktivis pegiat antikorupsi sepakat menolak keras praktik money politic yang dinilai merusak demokrasi.

Dr. Ade Indra Chaniago menegaskan bahwa politik uang tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga menghalangi terpilihnya pemimpin berkualitas.

"Praktik ini membuat masyarakat memilih karena iming-iming uang, bukan berdasarkan kompetensi calon. Hal ini menjadi tantangan besar bagi demokrasi kita," ungkapnya.

Menurut Ade, pendidikan politik harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

"Tercatat hanya sekitar 10 persen pemilih di Indonesia yang rasional, sisanya masih didominasi oleh pemilih tradisional. Jika masyarakat cerdas, praktik money politic akan sulit berkembang," tambahnya.

Dijelaskan, pemilih tradisional yang cenderung memilih berdasarkan loyalitas terhadap partai politik tertentu atau hubungan emosional dengan calon. Dukungan mereka sering kali tidak berubah meski kondisi politik atau kualitas kandidat bervariasi.

Sementara itu, pemilih rasional merupakan kelompok yang lebih kritis dalam menentukan pilihan. Mereka tidak segan untuk berpindah pilihan berdasarkan evaluasi objektif terhadap program, visi-misi, serta rekam jejak calon.

Politik uang juga masih menjadi fenomena yang memengaruhi preferensi pemilih, meskipun hal ini jelas melanggar hukum.

Meski dilarang, politik uang sering kali masih ditemui, terutama di kalangan pemilih yang memiliki tingkat pendidikan atau ekonomi yang lebih rendah

Sementara itu, aktivis antikorupsi Rahmat Sandi Iqbal menyoroti dampak buruk politik uang yang menghasilkan pemimpin bermental korup.

"Pemimpin yang lahir dari praktik ini hanya akan fokus memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Mereka sudah berpikir untuk mengembalikan modal besar yang digunakan selama kampanye," tegasnya.

Rahmat juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved