Citizen Journalism
Robohnya Tanaman Kopi Jaloer, Dulu Pernah Berjaya di Masanya
MENJELANG siang, ku buka facebook sebagaimana kebiasaan disela-sela aktivitas. Disana, tampillah akun Tribun Sumsel, portal berita online ter
Jaloer, adalah sebuah kawasan yang secara geografis letaknya tidaklah terlalu jauh dari laut, selat Bangka. Dari tempat kami, jika menumpang speedboat melalui jalur tikus, maka hanya butuh 3 jam an sudah sampai di pulau Bangka. Artinya, kawasan kami bisa dibilang pesisir, ya walaupun tidak ada pantai hanya hutan bakau yang luas, sejauh mata memandang.
Banyak orang berkata, bahwa kopi Jaloer adalah kopi pesisir. Ini mungkin yang melandasi kopi Jaloer disebut demikian sebagaimana letak Jaloer yang tidak jauh dari laut. Citarasanyapun berbeda dengan kopi yang berasal dari dataran tinggi. Kopi Jaloer rasanya masam atau kecut. Pernah suatu ketika, saya mengirim kopi pada warung kopi di Palembang. Kata baristanya, rasa kopi Jaloer adalah varian baru, keasamannya sangat terasa.
Maka tidak heran juga, ketika orang tua kami membuat bubuk kopi dari hasil panen selalu dicampur beras, kelapa atau jagung ketika proses penggorengan sebelum ditumbuk menjadi bubuk.
Beberapa waktu lalu, saya menikmati kopi Jaloer hidangan dari tetangga. Memang agak "aneh" rasanya. Mungkin sudah terbiasa dengan produk luar Jaloer. Rasanya memang lain dan berbeda dengan kopi Semende misalnya. Namun, dari sisi rasa itu, ternyata ada juga barista kopi, teman saya, suka dan mau memesan lagi untuk warung kopinya.
Namun apalah dikata, daya pikat tanaman kopi di Jaloer sudah tidak senikmat rasa asam kopinya. Ia kalah dengan rayuan harga karet kala itu dan akhirnya tenggelam dengan duri tajam sawit. Kini, hanya untuk mencari kopi sekilo dua kilo asli kopi Jaloer, sudah agak susah.
Kopi Jaloer konsumsi pribadi
Dimasa jayanya, mayoritas warga menanam tanaman kopi sebagai tanaman pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang tidak semua daerah di Jaloer kopi menjadi tanaman utama. Hanya saja memang kopi dimasa itu cukup disegani, dengan berton-tonnya buah kopi yang bersumber dari Jaloer.
Masa itu di halaman rumah warga atau jalan desa hal jamak kita melihat bentangan kopi dalam selembaran terpal yang dijemur. Ketika kering, sore hari warga akan mulai mewadahi kopi dalam karung ditengah teriknya sinar matahari sore hari.
Ditempat kami ketika musim panen tiba, maka ruang tamu rumah akan menjadi gudang kopi dadakan. Tidak ada meja dan kursi sebagaimana tatanan ideal rumah orang pada umumnya. Karena disitulah kopi hasil panen kami dan dari warga diletakkan jadi satu, sebelum dimasukkan dalam karung dan disetor ke pengepul.
Namun sekarang, kegiatan itu hanya tinggal kenangan saja. Tunggul pohon dan gundukan tanah tempat kopi tumbuh masih ada dan menjadi saksi kejayaan masa lalu.
Tetapi itu cukup menjadi bukti untuk diceritakan kepada anak cucu bahwasanya pernah di Jaloer kopi berjaya. Dimana hiruk-pikuk orang bergelut dengan tanaman kopi hanya menjadi bahan cerita saja. Mungkin suatu saat nanti, dimasa mendatang kopi akan kembali berjaya?
Kalaupun ada hanya beberapa saja ygang masih bertahan dan berada di pekarangan rumah saja, bukan lagi menjadi tanaman pokok warga, layaknya dulu.
Entah, apa penyebabnya. Mungkin, ini pemikiran dan hasil renunganku selama ini. Kita bersifat pragmatis. Mengikuti tren. Petani kopi tidak benar-benar mencintai kopi sebagaimana falsafah hidup kopi. Mereka mungkin cukup realistis. Banding membandingkan dengan tanaman lain, yang jauh lebih mudah perawatan dan proses penjualan.
Dimana ada jenis tanaman yang naik daun, maka disitulah kita berbondong-bondong mengalihkan tanaman mereka. Padahal pernah ada harga kopi juga sangat tinqgi di kala itu. Beralih ke karet karena iming-iming harga tinggi dan "mudah" pengerjaannya, toh nyatanya sekarang banyak yang beralih ke sawit. Bukan tidak mustahil kalau kopi akan berjaya dan kembali mengukir kisahnya di tanah transmigrasi kan?
"Nanti mau ku tanam 4 atau 5 batang kopi di pekarangan. Untuk konsumsi pribadi saja," kata saudaraku itu, ketika menceritakan rencana pengembangan pekarangan rumahnya yang hanya ditanami pisang saja itu.
*Oleh Andi Agus T
*Generasi pertama WONG Jaloer
(*)
Dokter RSUD Sekayu Alami Kekerasan, Pengamat Perilaku Kesehatan: Nakes Punya Hak Hentikan Pelayanan |
![]() |
---|
OPINI: Lebak Lebung, Aset Wisata Lingkungan yang Masih Tertidur |
![]() |
---|
OPINI: Pancasila Ada di TPS dan Lorong-lorong Kota Palembang |
![]() |
---|
OPINI: Papan Bunga Berganti Tanaman Produktif |
![]() |
---|
Buka dan Bertumbuh: Menghormati Perempuan, Budaya & Keberlanjutan Melalui Buka Puasa Bersama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.