Citizen Journalism
OPINI: Pancasila Ada di TPS dan Lorong-lorong Kota Palembang
Jika dalam sehari ada sekitar 100 botol plastik dibuang ke TPS, dikumpulkan oleh 10 pemulung saja, berarti ada 1000 botol plastik yang sudah terpilah
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Akademisi Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)
SEORANG lelaki muda, berbaur dengan beberapa anak-anak, ibu dan orang tua, sibuk mengulik-ulik tumpukan sampah di sebuah TPS. Hari sudah mulai larut, titik hujan pelan-pelan membasahi. Aroma tak sedap tak dihiraukan, mereka tetap saja mengorek-orek sisa pembuangan itu. Beberapa botol plastik ditemukan dan langsung berpindah ke karung-karung yang sudah disiapkan. Mereka terus mencari. Saat ada warga yang datang melemparkan sekantong sampah, sigap pula mereka membongkar. Berharap ada “harta karun” disitu.
Di pemandangan lain, ibu-ibu membawa kantong besar berjalan menyusuri lorong-lorong sempit. Matanya tajam melihat sekitar. Saat dilihatnya ada sebuah pesta hajatan di ujung jalan, segeralah ia berlari ke sana. Tangannya gesit mengumpulkan seluruh gelas-gelas plastik bekas minuman para tamu undangan. Di bawah kursi, di bawah meja, semua ditelusuri. Dapatlah setumpukan besar. Kantong digoyangnya, menakar berat. Sekitar 1 kilogram sudah, berarti 1.000 rupiah bakal didapatnya. Lumayan.
Para pemulung, begitu nama dilekatkan, bukan hal baru di kota-kota besar, termasuk Palembang. Populasi mereka cukup besar, walau tak ada angka pasti, tapi dari sekian banyak TPS-TPS di Palembang, diyakini mereka ada. Apalagi jika dilihat di TPA, mereka menyebar banyak. Apapun akan dikumpulkan, selagi punya nilai jual. Besi, plastik, alat elektronik, botol, alumunium, apapun itu, sepanjang bisa ditimbang dan dihargai oleh toke pengepul, jadilah ia komoditi.
Kelompok pemulung ini sering diidentikkan dengan masyarakat kelas bawah, kelompok yang ekonominya lemah, dan tentu saja jadi prioritas saat pembagian BLT. Pertimbangan utama mungkin karena pekerjaan mereka yang berkutat pada wilayah pembuangan manusia lain. Sisa-sisa yang tak terpakai, itu yang mereka kumpulkan. Maka tak heran, dengan alasan kedermawanan, kerap mobil-mobil mewah berhenti dekat TPS, berbagi nasi bungkus kepada para pemulung. Sedekah, begitulah kira-kira.
Jika ditilik lebih dalam, sebetulnya para pemulung ini adalah pejuang-pejuang lingkungan paling depan. Mereka mungkin tak berpikir apa yang dilakukan adalah bagian dari program Pak Walikota tentang pengurangan sampah plastik, tapi sejatinya merekalah yang sangat membantu dalam memilah dan memilih sampah. Bayangkan jika dalam sehari ada sekitar 100 botol plastik dibuang ke TPS, dikumpulkan oleh 10 pemulung saja, berarti ada 1000 botol plastik yang sudah terpilah dan “terdistribusikan”. Itu baru dari satu TPS, belum lagi dari sekian banyak tumpukan di anak-anak sungai, di lorong-lorong sempit, atau dipinggir-pinggir jalan. Motifnya adalah ekonomi, tapi eksesnya adalah memilah sampah.
Bisa dihitung juga, jika sekarang data volume sampah di Palembang menunjukkan angka 1.500 ton/hari yang disumbang oleh sekitar 1,7 juta jiwa, maka para pemulung berperan besar dalam persentase pemilahan sampah. Para pemulung adalah bagian dari mata rantai sistem persampahan di kota besar, termasuk Palembang. Mereka juga secara langsung berperan besar dalam mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA. Peran mereka signifikan, walau itu tak terlihat dan cenderung terkaburkan oleh stigma sebagai warga kelas bawah.
Sebuah kisah menarik datang dari Serma Priyo Widodo, seorang anggota TNI dari Kodim 0418 Palembang. Kisahnya sudah viral di media sosial, dimana selepas jam kerja di Kodim, ia lepas baju dan berjalan mencari sampah bekas. Mulai dari warung-warung sampai ke tempat-tempat pembuangan sampah. Prinsipnya, dari pada dapat uang haram, lebih baik menjadi pemulung. Inspiratif dan tentu saja berpotensi ekonomi, karena kemudian Serma Priyo tidak sekedar memulung tapi sudah berhasil naik tingkat jadi pengepul. Setidaknya 10 juta rupiah berhasil ia kumpulkan dalam sebulan.
Di sini saya tidak membahas nilai ekonomis yang didapat Serma Priyo ataupun pemulung lainnya, tetapi melihat pada volume sampah yang terus meningkat, serta ekses lingkungan yang makin membahayakan, maka sudah saatnya stigma terhadap pemulung ini diperbaiki. Peran mereka jelas dan tampak nyata. Pengurangan volume sampah yang masuk ke TPA, dimana sampai sekarang belum ada solusi terhadap gunungan sampah ini, maka para pemulunglah yang sejatinya berjasa besar.
Aktivitas pemulung ini berkorelasi langsung dengan kebiasaan warga yang masih belum peduli terhadap sampah plastik, ataupun sering membuang sampah sembarangan, melempar bekas minuman ke kolong-kolong rumah panggung. Pemulung punya jasa besar menyelamatkan itu, mengumpulkan dan menempatkan pada tempat yang semestinya.
Alhasil, jika sekarang kita peringati Harlah Pancasila, maka pemulung sejatinya sudah melakukan aksi nyata. Nilai-nilai kemanusiaan yang beradab itu ada pada pemulung, ada dalam capit-capit sederhana yang mereka hunjamkan ke botol-botol plastik. Kalaupun dinilai kecil, tetapi pemulung sesungguhnya sudah turut serta memanusiakan warga agar menjadi beradab. Mereka mungkin tak pula paham bahwa ada jasa yang sudah disumbangkan, bagi mereka semakin banyak botol plastik yang masuk dalam keranjangnya, semakin besar jaminan buat sekolah anak-anaknya. Sesederhana itu saja. Tetapi disitulah sebetulnya, Keadilan Sosial sudah berusaha mereka terapkan, dalam perspektif para pemulung.
Mereka bisa juga tak akan peduli banyaknya spanduk ataupun flyer ucapan Selamat Hari Lahir Pancasila yang berseliweran di media sosial. Mereka tetap mengais TPS-TPS, menyusuri lorong-lorong sempit, mendatangi acara kondangan warga, berkutat di TPA, tetapi sejatinya itulah makna Pancasila, berkemanusiaan, berkeadilan, dan peduli terhadap lingkungan hidup.
Mereka mungkin tidak peduli dengan segala resiko yang menghampiri. Penyakit kulit, diare, radang tenggorokan, sampai pada jenis penyakit berat, jelas resiko yang harus dihadapi. Peralatan sederhana tanpa jaminan safety, rentan menyebabkan semua itu. Tak ada APD (Alat Pelindung Diri), karena mereka tak berpikir kesitu. Baginya, sampah harus terus dikorek dan dikumpulkan. Itulah etos kerja Pancasila, versi para pemulung.
Pertanyaan penting kemudian, apakah sudah ada kepedulian pemerintah terhadap aktifitas pemulung ini? Ataukah masih pula terjebak pada stigma mereka adalah warga pinggiran? Entahlah, tetapi setidaknya, mereka adalah pejuang Pancasila yang sesungguhnya. Kepedulian pemerintah dengan memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kepada pemulung, sebetulnya adalah wujud bahwa Negara hadir di semua kehidupan warga, sehingga kemudian layaknya kita katakan bahwa pemerintahan kita memang sudah Pancasilais.
===
Baca juga: OPINI: Papan Bunga Berganti Tanaman Produktif
Baca berita dan artikel lainnya langsung dari google news
Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel.com
Citizen Journalism
Pancasila Ada di TPS dan Lorong-lorong Kota Palemb
Yenrizal
Dr Yenrizal MSi Akademisi Komunikasi Lingkungan UI
Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah
UIN Raden Fatah
Tribunsumsel.com
OPINI: Lebak Lebung, Aset Wisata Lingkungan yang Masih Tertidur |
![]() |
---|
OPINI: Papan Bunga Berganti Tanaman Produktif |
![]() |
---|
Buka dan Bertumbuh: Menghormati Perempuan, Budaya & Keberlanjutan Melalui Buka Puasa Bersama |
![]() |
---|
Libur "Mondok", Tation Turun ke Jalan Bagi-bagi Nasi Kotak untuk Buka Puasa |
![]() |
---|
Merdeka Menilai : Revolusi Evaluasi dalam Kurikulum Merdeka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.