Citizen Journalism
Robohnya Tanaman Kopi Jaloer, Dulu Pernah Berjaya di Masanya
MENJELANG siang, ku buka facebook sebagaimana kebiasaan disela-sela aktivitas. Disana, tampillah akun Tribun Sumsel, portal berita online ter
TRIBUNSUMSEL.COM -- MENJELANG siang, ku buka facebook sebagaimana kebiasaan disela-sela aktivitas. Disana, tampillah akun Tribun Sumsel, portal berita online terbesar di Sumatera Selatan menampilkan Liputan Ekslusif mengenai kopi di kawasan Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Mulai dari harga kopi yang melonjak tajam, sejarah perkopian hingga kendala yang dihadapi para pekebun disana. Menarik sekali.
Seketika saya teringat dengan tanah kelahiran kami, tanah transmigrasi di kabupaten Banyuasin. Kalian pasti mengenal kawasan itu, Jaloer. Ya benar, kawasan yang infrastruktur jalannya begitu buas, dulunya adalah penghasil kopi yang cukup disegani. Ketika masa panen tiba, berton-ton kopi dihasilkan. Palembang, adalah tempat pelabuhan terakhir kopi Jaloer didistribusikan melalui tongkang/kethek -kendaraan air.
Sekarang itu hanya tinggal cerita, tinggal kenangan dan hanya sebatas memori dibenak para mantan pekebun kopi. Utamanya saya, generasi pertama dan terakhir yang merasakan masa jaya hingga tersingkirnya kopi di Negeri Seribu Jembatan itu. Benteng terakhir kebun kopi milik kami, tahun lalu kami tumbangkan dan diganti dengan sawit yang dianggap lebih menjanjikan di tinjau dari beberapa sisi.
Apakah kami menyesal dengan pembantaian tanaman kopi jika melihat harganya sekarang ini? Satu kilo harganya Rp 62.000 BOLO!!Jujurly, iya. Hahahaaaa....tapi mari kita bahas.
Bibit dari Jawa
Awal transmigrasi, tahun 80-an, orang tua kami membawa bibit kopi dari Jawa, tempat asal orang tua. Sebagaimana ceritanya mereka pernah bekerja di sebuah perkebunan kopi milik negara disana. Ada dua macam kopi yang ditanam yakni kopi "cilik" (kecil) dan kopi "gede" (besar), begitu kami menyebut nama tanaman itu di Jaloer.
Belakangan kami paham bahwa kopi cilik yang merujuk pada buahnya berukuran kecil itu dinamakan kopi arabica. Sedangkan kopi gede dinamakan robusta. Khusus kopi robusta ini namanya kopi Boria. Entah nama asalnya dari mana tapi begitu kata orang tua kerap menyebut istilahnya disamping kopi gede.
Dua hektar lahan jatah transmigrasi, satu hektarnya kami tanami kopi dua jenis itu. Satu hektarnya lagi untuk lahan pangan, kami tanami padi. Begitulah mengakali hidup diawal-awal menjalani hidup di tanah transmigrasi.
Ketika masa tanam kopi hingga memanen tak ada kendala berarti. Kedua jenis tanaman kopi ini tumbuh dengan baik dan cocok dengan kondisi tanah di Jaloer. Memang ada penyesuaian lahan semisal tanah tempat tanam kopi tidak boleh terendam air atau kebanjiran. Maka, lahan kopi biasanya bergulut-gulut.
Pada akhirnya setelah beberapa tahun, kopi yang ditanam telah menghasilkan buah yang disetiap musimnya siap dipanen.
Teringat jelas ketika masa kecil bersama teman sebaya-sepermainan, kami bergelantungan di tanaman kopi. Begitulah cara kami memanen buah kopi, "mritili" istilah kami, dari pokok batangnya. Maklum, badan masih kecil, jika ada buah kopi yang siap panen tidak terjangkau oleh tangan maka memanjatlah solusinya. Kalau para orang tua, mereka cukup membawa tangga saja, mudah dan aman tentunya.
Dalam satu hektar, kopi yang dihasilkan bisa berton-ton. Prosesnya panjang sebelum kopi siap dijual. Setelah dipanen, kopi harus digiling terlebih dahulu agar pengeringan kopi dibawah terik sinar matahari bisa cepat. Idealnya jika cuaca terik maka cukup 3 sampai 4 hari kopi kering dan siap digiling kembali untuk dijual ke pengepul. Jika dijemur gelondongan saja tanpa digiling maka kering dalam waktu seminggu itu sudah anugerah terindah.
Bapak kami, dulu ahlinya membuat gilingan kopi basah. Ia membuat alat itu dari bahan sederhana, dari kayu dan paku. Meski begitu, alat itu sangat efektif membantu pekerjaan kami. Zaman dulu belum secanggih sekarang, apa-apa sudah ada alatnya dan tinggal beli. Kurasa mungkin zaman dulu alat pemecah kopi basah sudah ada, hanya saja keterbatasan dana segalanya.
Tugas kami sebagai anak-anaknya, selain menjemur kadang menggiling kopi basah di gudang yang jumlahnya berkarung-karung itu. Maka, dewasa ini istilah tren nge-gym atau fitnes, sejatinya kami sudah lebih dulu melakukan kegiatan itu. Bedanya, kegiatan kami mengangkat karung berisi kopi kedalam corong penggilingan dan memutar tuas menggunakan tangan. Targetnya, segera selesaikan penggilingan kopi dalam karung! Berat memang pekerjaan itu tapi ya memang berat.
Cita rasa baru varian kopi pesisir
Jaloer, adalah sebuah kawasan yang secara geografis letaknya tidaklah terlalu jauh dari laut, selat Bangka. Dari tempat kami, jika menumpang speedboat melalui jalur tikus, maka hanya butuh 3 jam an sudah sampai di pulau Bangka. Artinya, kawasan kami bisa dibilang pesisir, ya walaupun tidak ada pantai hanya hutan bakau yang luas, sejauh mata memandang.
Banyak orang berkata, bahwa kopi Jaloer adalah kopi pesisir. Ini mungkin yang melandasi kopi Jaloer disebut demikian sebagaimana letak Jaloer yang tidak jauh dari laut. Citarasanyapun berbeda dengan kopi yang berasal dari dataran tinggi. Kopi Jaloer rasanya masam atau kecut. Pernah suatu ketika, saya mengirim kopi pada warung kopi di Palembang. Kata baristanya, rasa kopi Jaloer adalah varian baru, keasamannya sangat terasa.
Maka tidak heran juga, ketika orang tua kami membuat bubuk kopi dari hasil panen selalu dicampur beras, kelapa atau jagung ketika proses penggorengan sebelum ditumbuk menjadi bubuk.
Beberapa waktu lalu, saya menikmati kopi Jaloer hidangan dari tetangga. Memang agak "aneh" rasanya. Mungkin sudah terbiasa dengan produk luar Jaloer. Rasanya memang lain dan berbeda dengan kopi Semende misalnya. Namun, dari sisi rasa itu, ternyata ada juga barista kopi, teman saya, suka dan mau memesan lagi untuk warung kopinya.
Namun apalah dikata, daya pikat tanaman kopi di Jaloer sudah tidak senikmat rasa asam kopinya. Ia kalah dengan rayuan harga karet kala itu dan akhirnya tenggelam dengan duri tajam sawit. Kini, hanya untuk mencari kopi sekilo dua kilo asli kopi Jaloer, sudah agak susah.
Kopi Jaloer konsumsi pribadi
Dimasa jayanya, mayoritas warga menanam tanaman kopi sebagai tanaman pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang tidak semua daerah di Jaloer kopi menjadi tanaman utama. Hanya saja memang kopi dimasa itu cukup disegani, dengan berton-tonnya buah kopi yang bersumber dari Jaloer.
Masa itu di halaman rumah warga atau jalan desa hal jamak kita melihat bentangan kopi dalam selembaran terpal yang dijemur. Ketika kering, sore hari warga akan mulai mewadahi kopi dalam karung ditengah teriknya sinar matahari sore hari.
Ditempat kami ketika musim panen tiba, maka ruang tamu rumah akan menjadi gudang kopi dadakan. Tidak ada meja dan kursi sebagaimana tatanan ideal rumah orang pada umumnya. Karena disitulah kopi hasil panen kami dan dari warga diletakkan jadi satu, sebelum dimasukkan dalam karung dan disetor ke pengepul.
Namun sekarang, kegiatan itu hanya tinggal kenangan saja. Tunggul pohon dan gundukan tanah tempat kopi tumbuh masih ada dan menjadi saksi kejayaan masa lalu.
Tetapi itu cukup menjadi bukti untuk diceritakan kepada anak cucu bahwasanya pernah di Jaloer kopi berjaya. Dimana hiruk-pikuk orang bergelut dengan tanaman kopi hanya menjadi bahan cerita saja. Mungkin suatu saat nanti, dimasa mendatang kopi akan kembali berjaya?
Kalaupun ada hanya beberapa saja ygang masih bertahan dan berada di pekarangan rumah saja, bukan lagi menjadi tanaman pokok warga, layaknya dulu.
Entah, apa penyebabnya. Mungkin, ini pemikiran dan hasil renunganku selama ini. Kita bersifat pragmatis. Mengikuti tren. Petani kopi tidak benar-benar mencintai kopi sebagaimana falsafah hidup kopi. Mereka mungkin cukup realistis. Banding membandingkan dengan tanaman lain, yang jauh lebih mudah perawatan dan proses penjualan.
Dimana ada jenis tanaman yang naik daun, maka disitulah kita berbondong-bondong mengalihkan tanaman mereka. Padahal pernah ada harga kopi juga sangat tinqgi di kala itu. Beralih ke karet karena iming-iming harga tinggi dan "mudah" pengerjaannya, toh nyatanya sekarang banyak yang beralih ke sawit. Bukan tidak mustahil kalau kopi akan berjaya dan kembali mengukir kisahnya di tanah transmigrasi kan?
"Nanti mau ku tanam 4 atau 5 batang kopi di pekarangan. Untuk konsumsi pribadi saja," kata saudaraku itu, ketika menceritakan rencana pengembangan pekarangan rumahnya yang hanya ditanami pisang saja itu.
*Oleh Andi Agus T
*Generasi pertama WONG Jaloer
(*)
Dokter RSUD Sekayu Alami Kekerasan, Pengamat Perilaku Kesehatan: Nakes Punya Hak Hentikan Pelayanan |
![]() |
---|
OPINI: Lebak Lebung, Aset Wisata Lingkungan yang Masih Tertidur |
![]() |
---|
OPINI: Pancasila Ada di TPS dan Lorong-lorong Kota Palembang |
![]() |
---|
OPINI: Papan Bunga Berganti Tanaman Produktif |
![]() |
---|
Buka dan Bertumbuh: Menghormati Perempuan, Budaya & Keberlanjutan Melalui Buka Puasa Bersama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.