Liputan Khusus Tribun Sumsel
LIPSUS: 10 Bulan Hasil Tanam Zonk, Warga Transmigran Berjuang Keras, Lahan Ditempati tak Produktif-1
Selama 10 bulan ditempatkan di PALI, warga transmigrasi mengaku kesulitan mengolah lahan pertanian yang belum produktif.
TRIBUNSUMSEL.COM, PALI - Cerita tentang lahan yang luas dan subur di Pulau Sumatera sudah didengar Sugianto (45) sejak kecil.
Dia juga mendengar banyak kisah keberhasilan program transmigrasi mengubah hidup perantau menjadi kaya raya.
Sebab itu Sugianto tak ragu. Ketika kesempatan tiba, dia semangat memboyong istri dan tiga anaknya ikut bertransmigran meninggalkan kampung halaman di Kota Semarang, Jawa Tengah, menuju Kabupaten PALI, Sumsel.
Di Semarang Sugianto bekerja serabutan. Dia ikut program transmigrasi ke SP 1 Sungai Jelike Desa Tempirai Selatan Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI dengan harapan dapat mengubah hidup keluarganya menjadi lebih baik.
Namun ternyata tak semudah itu. Lahan yang ditempati tak ada saluran irigasi.
"Belum ada tanggul pengatur debit air di sekitar lokasi, sehingga kalau musim penghujan durasi banjirnya cukup lama. Dan pada musim kemarau lahan menjadi gersang karena terdampak kekeringan," ujar Sugianto diwawancarai Tribun Sumsel.

Sugianto merupakan Ketua Kelompok Tani transmigrasi Tempirai Selatan.
Lokasi transmigrasi pada tahap awal pembangunan saat ini sudah dihuni oleh 21 kepala keluarga (KK).
Selama 10 bulan ditempatkan di sini, warga mengaku kesulitan mengolah lahan pertanian serta kesulitan air bersih untuk kebutuhan masak dan mencuci.
Hal ini lantaran belum produktifnya lahan yang dikelola sebagai sumber penghasilan dari awal mereka masuk ke wilayah transmigrasi, Desember 2022 lalu.
Faktor penyebabnya dikarenakan lokasi transmigrasi yang didirikan di atas lahan gambut seluas 900 hektare ini.
Pada musim penghujan akan terjadi penggenangan air atau banjir dan pada musim kemarau saat ini terjadi kekeringan, sehingga tata air menjadi kebutuhan mutlak.
Selain itu, menurut Sugianto, tingginya zat asam tanah di lahan gambut yang mereka kelola menjadi faktor lainnya.
Tanah asam atau tanah ber pH rendah menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman, terutama untuk beberapa jenis tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai karena tingkat produktivitas lahan menurun.
Namun zat asam tanah ini, kata Sugianto, bukan merupakan karakteristik alami dari asalnya.
Tanah ini merupakan tanah yang sedang mengalami krisis. Dengan kata lain, tanah ini dapat dikembalikan supaya menjadi jenis tanah yang normal.
"Jadi dibutuhkan pengapuran untuk mengatasi keasaman dan kejenuhan AI yang tinggi. Sehinggah dapat mengubah tanah yang sifatnya sangat masam mendekati pH netral. Untuk jenis kapur, saat ini yang dibutuhkan oleh kami yakni pupuk dolomit, yang bisa sekaligus mensuplai Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) pada tanah," terangnya.
"Sementara untuk kebutuhan membeli pupuk, kami di sini cukup kesulitan karena belum ada penghasilan dari lahan yang kami kelola. Waktu dapat bantuan benih dari Disnakertrans sudah mati semua, karena lahan yang baru dibuka zat asam tanahnya masih tinggi dan juga terendam banjir sehingga gagal," tambahnya.
Diceritakannya, pada pembagian benih pertama yang ditanam sudah mati karena zat asam tanah pada lahan baru yang dibuka itu masih tinggi, apalagi lahan terendam air karena banjir.
"Bantuan benih pertama itu padi dan sayuran, tapi waktu ditanam pertumbuhannya kurang bagus atau kerdil, dan juga terkena banjir pada awal-awal tahun kemarin, mati semua karena durasi air tergenang cukup lama sekitar setengah bulanan kalau hujan deras," ungkapnya.
Ketika cuaca kembali normal, lahan perkarangan sudah bisa ditanami lagi, Sugianto mulai melakukan penanaman kembali dengan membeli benih dari modal sendiri.
Ia menanam sayuran seperti kangkung, kacang panjang, jagung, kacang hijau untuk lahan perkarangan seluas 0,25 hektar.
"Benih kangkung saya beli 2 kilo Rp 120 ribu, kacang panjang 1 kilogram Rp 170 ribu, dan kacang hijau 2 kilogram Rp 100 ribu, belum pupuk, seperti pupuk Dolomit 40 Kg Rp50 ribu dan ZA untuk ukuran 20 kilogram Rp 176 ribu, itu modal sendiri," ungkapnya.
"Itupun tidak cukup sekali, kalau ditotal kan sudah habis modal sekitar 4 jutaan, sementara penghasilan tetap belum ada, itu pun cari modal secara serabutan, kadang jadi kuli bangunan. Sudah dua kali gagal, dan sekarang tanam lagi terdampak kemarau saat ini, tanaman pada layu, seperti kacang panjang sudah kering karena kekurangan air, khawatir juga gagal panen lagi," sambungnya.
Menurut Sugianto, berdasarkan diskusi dengan penyuluh pertanian, mereka mengatakan di lahan ini belum bisa untuk tiga kali tanam dalam setahun, cuma bisa baru satu kali tanam, karena selain pH tanah belum normal, kalau musim penghujan durasi tergenang cukup panjang begitu juga dengan kemarau durasi nya juga lama, karena belum ada tanggul atau irigasi yang mengatur debit air.
Jaminan Hidup
Sugianto tertarik mengikuti program transmigrasi dengan harapan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan ingin sejahtera.
Di lokasi transmigran dia diberikan rumah dan lahan untuk dikelola dan bisa menjamin kehidupan keluarga nya di masa depan. Dari sebelumnya ia hanya bekerja serabutan di Semarang dan belum memiliki tempat tinggal.
Ia datang bersama istri dan ketiga anaknya, pada Desember 2022 beserta 8 Kepala Keluarga lainnya, yang merupakan rombongan transmigrasi dari Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saat ini warga transmigrasi hanya mengandalkan bantuan jaminan hidup (Jadup) dari pemerintah, yang diberikan selama 18 bulan dan telah berjalan selama 10 bulan.
Jadup itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, terutama bagi 9 Kepala Keluarga (KK) warga transmigrasi yang berasal dari Pulau Jawa harus memutar otak mencari pekerjaan secara serabutan di luar lokasi.
"Kami datang ke sini pada bulan Desember 2022 lalu, berarti sudah sekitar 10 bulanan di sini, kalau untuk bantuan Jadup kami diberikan selama 18 bulan, berarti tinggal 8 bulan lagi. Kalau untuk pupuk kami baru dapat bantuan pupuk sekali dari dinas pertanian, itu pun hanya sekitar 15 kilogram per KK, tentunya tidak mencukupi untuk kebutuhan lahan perkarangan ini," ungkap Sugianto.
Pada musim kemarau ini juga, membuat Sugianto dan warga lainnya khawatir akan kembali gagal panen.
Selain itu, pada musim kemarau warga juga mengalami kesulitan air bersih, untuk kebutuhan masak dan mencuci warga menggunakan Air sungai dari saluran yang ada di depan rumah mereka yang saat ini kondisinya sudah dangkal dan kotor.
"Kalau sumur galian yang dibuat pakai alat berat kemarin sudah kering, ini saya buat lagi kolam di didepan rumah, namun airnya tidak jernih. Rata-rata warga di sini untuk menjernihkan air menggunakan kavorit atau tawas," tuturnya.
Kegelisahan juga dirasakan Fakih Hadi, warga asal Gunung Kidul Yogyakarta. Ia mengikuti program transmigrasi ke Sumsel atas rekomendasi dari mertuanya.
Fakih datang bersama istri dan satu anaknya dengan harapan untuk memperbaiki nasib, yang mana selama di Yogyakarta ia hanya bekerja serabutan.
"Ikut transmigrasi ini karena di Jawa kan susah dapat kerjanya, cuma kerja serabutan, namun ketika di sini kami belum menghasilkan juga dari lahan yang di olah, karena saat hujan banjir saat kemarau kekeringan. Jadi harus cari kerja serabutan lagi di luar untuk tambahan kebutuhan hidup, kalau untuk Jadup hanya cukup untuk kebutuhan pangan," ujarnya.
Fakih berharap pemerintah dapat cepat tanggap terkait permasalahan ini, sehingga warga dapat mengelola lahan dengan baik dan bisa mandiri.
"Kalau untuk bantuan benih, kemarin ada bantuan benih padi dan sayuran dari dinas pertanian, ini baru mulai menanam lagi, tapi harus rutin disiram karena kondisi nya masih kering saat ini, meski ada hujan dalam dua hari terakhir," ucapnya. (cr42)
Baca berita lainnya langsung dari google news
Liputan Khusus Tribun Sumsel
Liputan Khusus Warga Transmigran
Aku Lokal Aku Bangga
Lokal Bercerita
mata lokal menjangkau indonesia
Pemilik Kafe Kopi di Palembang Tertolong Momen Buka Bersama, Harga Kopi Tembus Rp 52 Ribu Per Kg -3 |
![]() |
---|
Harga Kopi Rp 52 Ribu Per Kg Termahal Sepanjang Sejarah, Kini Ramai-ramai Beli Emas -2 |
![]() |
---|
LIPSUS : Bisnis Kafe Kopi Gulung Tikar, Harga Kopi Tembus Rp 52 Ribu Per Kg -1 |
![]() |
---|
Pajak Hiburan 40-75 Persen Berlaku Bakal Matikan Usaha, GIPI Sumsel Ajukan Gugatan ke MK -2 |
![]() |
---|
LIPSUS: Pengunjung Karaoke Kaget Tarif Naik, Pajak Hiburan 40-75 Persen Berlaku -1 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.