Berita Ogan Komering Ilir

Begini Cara Ukur Kemiskinan yang Ideal Menurut Kepala BPS OKI, 3 Tahun Berturut OKI Turun

Menurut Hani, pengukuran yang ideal diukur berdasar persentase naik-turun angka kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam satu wilayah.

Editor: Sri Hidayatun
Humas Pemkab OKI
Angka Kemiskinan Penduduk di Ogan Komering Ilir Turun 3 Tahun Berturut. 

TRIBUNSUMSEL.COM,OKI - Simpang siurnya informasi mengenai progres angka kemiskinan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten OKI memberikan penjelasan dan edukasi tentang cara membaca data statistik terkait trend angka kemiskinan.

Ditemui di ruang kerjanya pada, Senin (09/05/2022) Kepala BPS OKI, Anugrahani Prasetyo, S.ST, M. Si menyampaikan bahwa dalam merilis angka kemiskinan kabupaten kota, BPS melakukan SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) setiap tahunnya.

Menurut Hani, pengukuran yang ideal diukur berdasar persentase naik-turun angka kemiskinan dibandingkan dengan jumlah penduduk dalam satu wilayah. 

"Dalam melihat kemiskinan, yang kita perhatikan adalah persentasenya yang dibandingkan dengan total jumlah penduduk di daerah tersebut, itulah yang menjadi acuan yang objektif," kata Hani.

Baca juga: Pemkab dan DPRD OKI Sepakati 7 Raperda, Termasuk Raperda Pakaian Adat dan Cagar Budaya

Menurut Hani, setiap daerah memiliki jumlah penduduk yang berbeda-beda hingga tidak bisa dijadikan acuan penghitungan angka kemiskinan.

"Kurang tepat bila membandingkan dengan menggunakan indikator pembandingnya dari sisi jumlah penduduk miskinnya saja, sudah pasti Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk yang banyak, maka jumlah penduduk miskinnya juga akan banyak, contohnya Kota Palembang di urutan pertama dan Kabupaten OKI diurutan ke dua karena kedua daerah ini memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak dibanding daerah lain di Sumsel," terang dia.

Hani memaparkan untuk mengukur kemiskinan dapat dilihat dari tiga indikator :

1. Tingkat Kemiskinan (P0)

Cara pertama dengan melihat perbandingan penduduk yang mengeluarkan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan atau disebut GK.

Sementara itu GK mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang, seperti kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM).

GKM dilihat dari kebutuhan seseorang yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita.

Paket harian ini seperti dari jenis bahan baku padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak.

Sementara GKNM merupakan kebutuhan di luar makanan. Hal ini dapat berupa perumahan, sandang, pendidikan, serta kesehatan. Diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

2. P1, atau indeks kedalaman kemiskinan

Caranya dengan melihat rata-rata selisih pengeluaran per kapita penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang terjadi di masyarakat.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved