Tak Kunjung Dapat Lahan untuk Digarap, Warga Transmigrasi Terpaksa Kerja Serabutan
Selain itu mendapat seperempat hektar yang diperuntukkan untuk lokasi pemukiman.
TRIBUNSUMSEL.COM, INDRALAYA- Merantau jauh dari Pulau Jawa ke Sumatera berharap bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Namun apa yang diharapkan tak berjalan lancar.
Begitulah yang dialami warga transmigrasi yang mendiami wilayah Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sungai Rambutan di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir Kabupaten Sumatera Selatan.
Sejak tahun 2008, 300 kepala keluarga transmigrasi Satuan Pemukiman (SP) II Kota Terpadu Mandiri (KTM) Sungai Rambutan, Kabupaten Ogan Ilir belum semuanya memiliki lahan usaha. Hingga kini pula mereka tak berani berharap janji pemberian lahan seluas 2,25 hektare terwujud.
Selama itu pula Esti, warga SP II KTM Sungai Rambutan tak tahu bagaimana nasib lahan yang seharusnya menjadi haknya. Tak pernah terpikirkan bila akhirnya seperti ini.
KTM Sungai Rambutan berada di Kecamatan Indralaya Utara.
Lokasi ini terdiri dari empat Satuan Pemukiman (SP). SP 1 diperuntukkan untuk 300 kepala keluarga, SP II untuk 300 kepala keluarga, SP III untuk 100 kepala keluarga, dan Tanjung Bule untuk 300 kepala keluarga.
Jalan menuju lokasi itu cukup layak. Meski tidak diaspal mulus, namun timbunan koral membuat laju kendaraan menjadi lancar.
Adapun jarak dari Jalan Lintas Indralaya-Palembang menuju lokasi transmigrasi sekitar 7 km.
SP II ditempati oleh warga transmigrasi asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, hingga penduduk lokal.
Namun data terakhir ini hanya tinggal 162 KK yang masih berdomisili di tempat tersebut.
Untuk lahan yang seharusnya didapat warga transmigrasi, satu kepala keluarga mendapat jatah dua hektar lahan usaha (LU) yakni LU I dan LU II.
Selain itu mendapat seperempat hektar yang diperuntukkan untuk lokasi pemukiman.
Ditemui Tribun Sumsel, beberapa waktu lalu, Esti bersama empat ibu rumah tangga lainnya tengah beristirahat di bawah pohon sawit usai bekerja sebagai buruh di sebuah kebun tak jauh dari tempat mereka tinggal. Di hadapan mereka beristirahat, terdapat hamparan luas kebun sawit diperkirakan berumur tiga tahunan yang siap dipanen.
Miris, kata Esti ketika melihat kebun sawit yang terlihat subur itu. Seharusnya saat ini ia sudah memiliki lahan dengan kebun sawitnya dan penghasilan yang cukup dari kebun tersebut. Namun bayangan yang tertanam ketika awal transmigrasi itu kini hanya tinggal angan-angan.
Bukan tanpa alasan mengapa dirinya miris melihat kebun sawit tersebut. Dalam bayangannya dulu ketika awal-awal tiba di transmigrasi tahun 2008, Esti berencana hendak menanami lahan usahanya dengan sawit.
Bahkan untuk mewujudkan rencana memiliki kebun sawit, motor miliknya saat itu sudah dijual untuk modal membeli bibit sawit. Tapi rencana itu gagal. Dua hektar lahan usaha yang seharusnya dimiliki waktu itu hingga saat ini belum jelas kapan akan didapatkan.