Berita Viral

Ngadu ke DPRD Sulsel Dipecat, Abdul Muis Tanya ke Inspektorat Uang Rp20 Ribu dengan Kerugian Negara

Abdul Muis dan Rasnal, dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara mengadukan nasibnya ke DPRD Sulawesi Selatan usai diberhentikan secara

Tribun-Timur.com
RDP GURU DIPECAT - Abdul Muis, saat menyampaikan keresahanya dalam RDP di Kantor sementara DPRD Sulsel, Jl AP Pettarani, Kota Makassar, Rabu (12/11/2025). Abdul Muis adukan ketidak adilan ke DPRD Sulsel. 
Ringkasan Berita:
  • Abdul Muis curhat ke DPRD Sulsel dipecat tidak hormat soal uang Rp20 ribu.
  • Abdul Muis sempat pertanyakan ke inspektorat soal sumbangan wali murid dengan kerugian negara.
  • Ia bersama Rasnal dipecat tidak hormat karena murni hukum korupsi.

 


TRIBUNSUMSEL.COM - Abdul Muis dan Rasnal, dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara mengadukan nasibnya ke DPRD Sulawesi Selatan usai diberhentikan secara tidak hormat (PTDH).

Seperti diketahui, Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.

Keterlambatan gaji itu sebelum Rasnal menjadi Kepal Sekolah di SMA 1 Luwu Utara.

Terbaru, Abdul Muis dan Rasnal di Kantor sementara DPRD Sulsel, Jl AP Pettarani, Kota Makassar, Rabu (12/11/2025).

Mereka hadir sekitar pukul 11.00 Wita.

PEMECATAN GURU DAN KEPSEK- Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Kasus pemecatan guru SMAN 1 Luwu Utara bermula tahun 2018. Saat itu, Abdul Muis menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah niat membantu guru honorer
PEMECATAN GURU DAN KEPSEK- Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Kasus pemecatan guru SMAN 1 Luwu Utara bermula tahun 2018. Saat itu, Abdul Muis menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah niat membantu guru honorer (TRIBUN-TIMUR.COM/Andi Bunayya Nandini)

Abdul Muis menjelaskan, kasus yang menjerat dirinya berawal dari kesepakatan antara orangtua siswa dan pihak sekolah melalui rapat resmi bersama Ketua Komite Sekolah. 

Dalam rapat tersebut, disepakati adanya sumbangan sukarela sebesar Rp20 ribu per bulan untuk kebutuhan sekolah.

"Kesepakatan itu dibuat dalam rapat resmi dan murni berdasarkan pertimbangan orang tua siswa. Tidak ada paksaan sama sekali,” katanya saat RDP, dikutip Tribuntimur.com

Baca juga: Alasan Oknum LSM Laporkan Rasnal & Abdul Muis hingga Berujung Dipecat dari SMAN 1 Luwu Utara

Menurutnya, siswa yang tidak mampu dibebaskan dari iuran. Bagi yang memiliki saudara di sekolah yang sama, cukup satu yang membayar. 

Bahkan siswa yang belum sempat membayar tetap diizinkan mengikuti ujian semester dan dinyatakan lulus.

“Tidak ada siswa yang dikeluarkan atau tidak ikut ujian karena tidak bayar. Artinya, tidak ada unsur paksaan,” ujarnya.

Namun, pembayaran tersebut oleh pihak kepolisian dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) karena dinilai memiliki jumlah dan waktu yang ditetapkan.

“Padahal ini murni sumbangan orang tua, bukan pungli,” ungkapnya.

Abdul Muis juga menyoroti hasil pemeriksaan Inspektorat Kabupaten Lutra yang menyebut adanya kerugian negara. 

Menurutnya, tuduhan itu tidak berdasar.

“Saya sempat tanya ke pemeriksa dari Inspektorat, apa hubungannya sumbangan orang tua dengan kerugian negara? Tapi jawabannya tidak jelas. Katanya hanya menjalankan tugas,” kata dia.

Abdul Muis menambahkan, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Makassar dirinya dinyatakan lepas, bukan bebas.

“Kalau bebas berarti tidak terbukti berbuat, tapi kalau lepas itu terbukti berbuat namun tidak termasuk pidana. Itu artinya tidak ada unsur korupsi,” jelasnya.

Namun, pada tingkat kasasi, ia kembali divonis bersalah dengan tuduhan menerima gratifikasi. 

Dasar tuduhan tersebut, katanya, karena adanya insentif bagi guru yang menjalankan tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.

“Padahal itu tidak pernah dibahas di persidangan sebelumnya. Tidak ada juga klausul yang menyebut saya harus dipecat,” ujarnya.

Kasus tersebut membuat Abdul Muis dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia dan rekannya, Rasnal, kini berupaya mencari keadilan melalui DPRD Sulsel serta berencana menempuh Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tersebut.

Sementara, Guru Besar UNM, Prof Sukardi Weda menilai persoalan ini harus disikapi secara berimbang.

“Persoalan ini harus disikapi secara berimbang, harus paham duduk persoalannya dari dua sisi, kemudian mengadvokasi, demi rasa keadilan dan kemanusiaan,” katanya, Rabu (12/11/2025).

Ia menekankan pentingnya kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan, terutama yang berdampak pada nasib tenaga pendidik.

“Ini menjadi catatan penting bagi pengambil kebijakan untuk hati-hati dan bijaksana dalam bersikap,” jelasnya.

Penjelasan Disdik

Sementara, Dinas Pendidikan (Disdik) Sulawesi Selatan (Sulsel) soal dua guru SMAN 1 Luwu Utara dipecat 

Kedua guru tersebut diberhentikan tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.

Kepala Disdik Sulsel, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa pemberhentian keduanya murni merupakan tindak lanjut dari putusan hukum pidana korupsi (Tipikor) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

"Perlu kami luruskan bahwa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ini murni penegakan hukum dan disiplin ASN. Ini merupakan konsekuensi dari putusan hukum pidana yang telah inkrah,” ujar Iqbal, dikutip Tribuntimur.com

Iqbal menjelaskan, untuk guru bernama Rasnal, proses PTDH berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Manajemen ASN SMAN/SMKN Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XII Luwu Utara yang diterbitkan Inspektorat Provinsi Sulsel pada 15 Februari 2024.

Dalam LHP tersebut, Inspektorat merekomendasikan penjatuhan hukuman disiplin karena Rasnal diketahui menjalani hukuman pidana penjara.

Menindaklanjuti temuan itu, Disdik Sulsel kemudian menyurati Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala BKD Sulsel) pada 16 Agustus 2024 untuk memohon pertimbangan status kepegawaian Rasnal.

Surat tersebut merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 tanggal 23 Oktober 2023, yang telah berkekuatan hukum tetap.

“PTDH ini merupakan kewajiban hukum yang harus dijalankan pemerintah daerah,” tegas Iqbal.

Ia menyebut, dasar hukum pemberhentian merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN Pasal 52 ayat (3) huruf i, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 Pasal 250 huruf b.

Dalam aturan itu, PNS dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan.

Selain itu, terdapat pula pertimbangan teknis (Pertek) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebelum keputusan pemberhentian diterbitkan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan seluruh dasar hukum, Gubernur Sulsel menerbitkan Surat Keputusan Nomor 800.1.6.2/3973/BKD tanggal 21 Agustus 2025 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Drs. Rasnal, M.Pd.

Sementara untuk guru atas nama Abdul Muis, keputusan pemberhentian tertuang dalam SK Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tanggal 14 Oktober 2025.

Keputusan tersebut menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tanggal 26 September 2023.

“Pemprov Sulsel hanya menjalankan putusan dan aturan normatif yang berlaku. Semua proses sudah sesuai ketentuan ASN. Ketika ASN tersangkut kasus pidana dan putusannya sudah inkrah, maka otomatis berlaku Undang-Undang ASN,” jelasnya.

Iqbal berharap penjelasan ini dapat meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.

“Kami tegaskan, PTDH dua guru tersebut bukan keputusan sepihak, tetapi murni akibat kasus Tipikor yang sudah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung,” pungkasnya.

Orang Tua Sebut Kesepakat Bersama

Sementara, Akrama, salah satu orang tua siswa mengingat jelas keputusan rapat wali murid pada 2018. 

Saat itu, seluruh orangtua sepakat memberikan iuran Rp 20.000 per bulan untuk membantu menggaji guru honorer di sekolah tersebut. 

Ia menegaskan bahwa iuran itu murni lahir dari kesepakatan bersama para orangtua.

Akrama kembali menekankan bahwa iuran itu tidak muncul secara sepihak, tetapi hasil musyawarah bersama.

"Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp 20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik,” ujar Akrama saat ditemui sambil menahan air mata, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com

Ia menambahkan, para orangtua tidak mempermasalahkan keputusan tersebut karena melihat langsung dedikasi para guru honorer dalam mendidik anak-anak mereka. 

Dalam rapat pun tak ada satupun keberatan yang muncul.

“Jadi kami orangtua waktu itu tidak keberatan. Karena ini untuk anak kami yang dididik. Saya juga pernah merasakan jadi guru sukarela,” kata Akrama. 

Kesepakatan iuran itu, kata dia, diambil melalui rapat orangtua dan komite sekolah pada 2018, saat anaknya baru duduk di kelas 1 SMA. 

“Dari hasil kesepakatan rapat, Rp 20 ribu per siswa. Itu iuran bulanan, bukan sekali bayar,” ujarnya. 

Meski ia tak mengetahui lebih jauh penggunaan dana setelah iuran dikumpulkan, Akrama percaya bahwa kebijakan tersebut memberi kontribusi pada kualitas pengajaran di sekolah. 

“Kewajiban saya sebagai orangtua hanya memberikan uang kepada anak saya untuk dibayar. Soal selanjutnya saya tidak tahu lagi,” ujarnya. Akrama pun berharap hak dua guru yang telah diberhentikan bisa segera dipulihkan. 

“Harapan saya sebagai orangtua, kembalikan hak kedua guru ini. Mereka punya keluarga. Anak kami pun bisa selesai kuliah karena jasa mereka,” katanya sambil menangis.

Ketua PGRI Sebut Pemecetan Tidak Adil

Kini Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar rapat koordinasi soal pemecatan kedua guru tersebut.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, mengatakan rapat ini menjadi langkah bersama untuk mencari solusi atas nasib Rasnal dan Abdul Muis

Ismaruddin menilai, pemecatan tersebut tidak adil dan perlu ditinjau ulang secara objektif, agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi profesi guru.

"Pemecatan guru karena masalah dana komite adalah tindakan yang tidak adil. Kami akan berjuang membela hak-hak guru yang dipecat dan memastikan mereka mendapatkan keadilan,” ucapnya, dikutip Kompas.com

Menurutnya, pengelolaan dana komite seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pihak sekolah, komite, dan orang tua siswa, bukan dibebankan sepenuhnya kepada guru.

Selain menggelar rapat, PGRI Luwu Utara juga mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk kedua guru tersebut.

Kronologi

Seperti diketahui, Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.

Kedua guru tersebut dipecat setelah dilaporkan oleh oknum LSM karena dinilai sumbangan komite Rp20 ribu sebagai pungutan liar.

LSM merupakan organisasi nonpemerintah yang didirikan oleh masyarakat secara mandiri, biasanya untuk memperjuangkan kepentingan sosial, kemanusiaan, lingkungan, atau hak asasi manusia.

Kasus yang menjerat Abdul Muis bermula dari perannya sebagai bendahara Komite Sekolah SMA Negeri 1 Luwu Utara pada 2018.

Ia ditunjuk melalui rapat orangtua siswa dan pengurus komite untuk mengelola dana sumbangan sukarela. 

"Saya didaulat jadi bendahara komite melalui hasil rapat orangtua siswa dengan pengurus. Jadi posisi saya itu hanya menjalankan amanah,” kata Abdul Muis kepada Kompas.com saat ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Senin (10/11/2025).

Muis menjelaskan bahwa dana yang dikelola merupakan hasil kesepakatan rapat bersama orangtua siswa, bukan pungutan sepihak. 

“Dana komite itu hasil kesepakatan orangtua. Disepakati Rp 20.000 per bulan. Yang tidak mampu, gratis. Yang bersaudara, satu saja yang bayar,” ujarnya.

Dana itu digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan, seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.

Menurut Muis, saat itu sekolah menghadapi kekurangan tenaga pendidik karena banyak guru yang pensiun, mutasi, atau meninggal dunia.

“Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun,” ucapnya. 

Proses administrasi agar guru honor baru masuk ke sistem Dapodik bisa memakan waktu hingga dua tahun.

“Kalau guru honor baru itu, butuh dua tahun untuk bisa masuk ke Dapodik. Nah, sementara itu, kegiatan belajar tetap harus jalan,” tambahnya. 

Jumlah guru honor di sekolah itu mencapai 22 orang, sebagian besar bekerja dengan penghasilan minim. 

“Ada guru honor namanya Armand, tinggal di Bakka. Kadang saya kasih Rp 150.000 sampai Rp 200.000 karena dia sering tidak hadir, tidak punya uang bensin,” kenangnya.

Anak LSM Datang

Masalah muncul pada 2021 ketika seorang pemuda yang mengaku aktivis LSM datang ke rumahnya menanyakan soal dana sumbangan. 

“Anak itu datang, langsung bilang: ‘Benarkah sekolah menarik sumbangan?’ Saya jawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia mau periksa buku keuangan,” tutur Muis. 

Tak lama setelah itu, Muis mendapat panggilan dari pihak kepolisian. Ia didakwa melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada siswa.

Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan. 

“Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar,” ujarnya. Menurutnya, proses hukum berjalan panjang dan penuh kejanggalan. 

“Lalu entah bagaimana, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah testimoni dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 itu merugikan keuangan negara,” kata Muis. 

Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam sidang Tipikor tingkat pertama. Meski menerima putusan hukum, Muis tetap yakin dirinya tidak bersalah. 

Ia menilai kasus ini muncul karena salah tafsir terhadap fungsi komite sekolah. 

“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana itu digunakan untuk kepentingan sekolah,” ucapnya. 

“Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya banyak yang tidak membayar dan mereka tetap ikut ujian, tetap dilayani,” tambahnya. Setelah diberhentikan sebagai PNS, Muis mengaku pasrah namun tetap tegar. 

“Rezeki itu urusan Allah. Masing-masing orang sudah ditentukan jatahnya. Saya tidak mau larut. Cuma sedih saja, niat baik membantu sekolah malah berujung seperti ini,” ujarnya pelan. 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved