Berita Viral

Alasan Oknum LSM Laporkan Rasnal & Abdul Muis hingga Berujung Dipecat dari SMAN 1 Luwu Utara

Terungkap alasan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan guru SMAN 1 Luwu Utara Rasnal dan Abdul Muis hingga

Penulis: Laily Fajrianty | Editor: Weni Wahyuny
TRIBUN-TIMUR.COM/Andi Bunayya Nandini
PEMECATAN GURU DAN KEPSEK- Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Kasus pemecatan guru SMAN 1 Luwu Utara bermula tahun 2018. Saat itu, Abdul Muis menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah niat membantu guru honorer 

Iqbal berharap penjelasan ini dapat meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.

“Kami tegaskan, PTDH dua guru tersebut bukan keputusan sepihak, tetapi murni akibat kasus Tipikor yang sudah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung,” pungkasnya.

Orang Tua Sebut Kesepakat Bersama

Sementara, Akrama, salah satu orang tua siswa mengingat jelas keputusan rapat wali murid pada 2018. 

Saat itu, seluruh orangtua sepakat memberikan iuran Rp 20.000 per bulan untuk membantu menggaji guru honorer di sekolah tersebut. 

Ia menegaskan bahwa iuran itu murni lahir dari kesepakatan bersama para orangtua.

Akrama kembali menekankan bahwa iuran itu tidak muncul secara sepihak, tetapi hasil musyawarah bersama.

"Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp 20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik,” ujar Akrama saat ditemui sambil menahan air mata, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com

Ia menambahkan, para orangtua tidak mempermasalahkan keputusan tersebut karena melihat langsung dedikasi para guru honorer dalam mendidik anak-anak mereka. 

Dalam rapat pun tak ada satupun keberatan yang muncul.

“Jadi kami orangtua waktu itu tidak keberatan. Karena ini untuk anak kami yang dididik. Saya juga pernah merasakan jadi guru sukarela,” kata Akrama. 

Kesepakatan iuran itu, kata dia, diambil melalui rapat orangtua dan komite sekolah pada 2018, saat anaknya baru duduk di kelas 1 SMA. 

“Dari hasil kesepakatan rapat, Rp 20 ribu per siswa. Itu iuran bulanan, bukan sekali bayar,” ujarnya. 

Meski ia tak mengetahui lebih jauh penggunaan dana setelah iuran dikumpulkan, Akrama percaya bahwa kebijakan tersebut memberi kontribusi pada kualitas pengajaran di sekolah. 

“Kewajiban saya sebagai orangtua hanya memberikan uang kepada anak saya untuk dibayar. Soal selanjutnya saya tidak tahu lagi,” ujarnya. Akrama pun berharap hak dua guru yang telah diberhentikan bisa segera dipulihkan. 

“Harapan saya sebagai orangtua, kembalikan hak kedua guru ini. Mereka punya keluarga. Anak kami pun bisa selesai kuliah karena jasa mereka,” katanya sambil menangis.

Ketua PGRI Sebut Pemecetan Tidak Adil

Kini Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar rapat koordinasi soal pemecatan kedua guru tersebut.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, mengatakan rapat ini menjadi langkah bersama untuk mencari solusi atas nasib Rasnal dan Abdul Muis

Ismaruddin menilai, pemecatan tersebut tidak adil dan perlu ditinjau ulang secara objektif, agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi profesi guru.

"Pemecatan guru karena masalah dana komite adalah tindakan yang tidak adil. Kami akan berjuang membela hak-hak guru yang dipecat dan memastikan mereka mendapatkan keadilan,” ucapnya, dikutip Kompas.com

Menurutnya, pengelolaan dana komite seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pihak sekolah, komite, dan orang tua siswa, bukan dibebankan sepenuhnya kepada guru.

Selain menggelar rapat, PGRI Luwu Utara juga mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk kedua guru tersebut.


Aksi Solidaritas Guru

Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia. 

Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.

Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:

Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD

Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.
 
“Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tutur Muis.

Orang Tua Murid Bantu Cari Keadilan

Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.

Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.

“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.

Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.

“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.

Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.

“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.

Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.

“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.

Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.

“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.

“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.

Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.

“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved