Berita Viral
Alasan Oknum LSM Laporkan Rasnal & Abdul Muis hingga Berujung Dipecat dari SMAN 1 Luwu Utara
Terungkap alasan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan guru SMAN 1 Luwu Utara Rasnal dan Abdul Muis hingga
Penulis: Laily Fajrianty | Editor: Weni Wahyuny
Ringkasan Berita:
- 2 guru SMAN 1 Luwu Utara diaporkan oknum LSM.
- Buntut laporan tersebut, 2 guru dipecat.
- Pemecetan guru tersebut karena dianggap pungli dana Rp20 ribu
TRIBUNSUMSEL.COM - Terungkap alasan oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan guru SMAN 1 Luwu Utara Rasnal dan Abdul Muis hingga berujung dipecat.
Seperti diketahui, Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.
Kedua guru tersebut dipecat setelah dilaporkan oleh oknum LSM karena dinilai sumbangan komite Rp20 ribu sebagai pungutan liar.
LSM merupakan organisasi nonpemerintah yang didirikan oleh masyarakat secara mandiri, biasanya untuk memperjuangkan kepentingan sosial, kemanusiaan, lingkungan, atau hak asasi manusia.
Kasus yang menjerat Abdul Muis bermula dari perannya sebagai bendahara Komite Sekolah SMA Negeri 1 Luwu Utara pada 2018.
Ia ditunjuk melalui rapat orangtua siswa dan pengurus komite untuk mengelola dana sumbangan sukarela.
"Saya didaulat jadi bendahara komite melalui hasil rapat orangtua siswa dengan pengurus. Jadi posisi saya itu hanya menjalankan amanah,” kata Abdul Muis kepada Kompas.com saat ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Senin (10/11/2025), dikutip Kompas.com
Baca juga: Minta Bantuan Prabowo, Ketua PGRI Luwu Utara Sebut Pemecatan 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara Tidak Adil
Muis menjelaskan bahwa dana yang dikelola merupakan hasil kesepakatan rapat bersama orangtua siswa, bukan pungutan sepihak.
“Dana komite itu hasil kesepakatan orangtua. Disepakati Rp 20.000 per bulan. Yang tidak mampu, gratis. Yang bersaudara, satu saja yang bayar,” ujarnya.
Dana itu digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan, seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.
Menurut Muis, saat itu sekolah menghadapi kekurangan tenaga pendidik karena banyak guru yang pensiun, mutasi, atau meninggal dunia.
“Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun,” ucapnya.
Proses administrasi agar guru honor baru masuk ke sistem Dapodik bisa memakan waktu hingga dua tahun.
“Kalau guru honor baru itu, butuh dua tahun untuk bisa masuk ke Dapodik. Nah, sementara itu, kegiatan belajar tetap harus jalan,” tambahnya.
Jumlah guru honor di sekolah itu mencapai 22 orang, sebagian besar bekerja dengan penghasilan minim.
“Ada guru honor namanya Armand, tinggal di Bakka. Kadang saya kasih Rp 150.000 sampai Rp 200.000 karena dia sering tidak hadir, tidak punya uang bensin,” kenangnya.
Oknum LSM Datang
Masalah muncul pada 2021 ketika seorang pemuda yang mengaku aktivis LSM datang ke rumahnya menanyakan soal dana sumbangan.
“Anak itu datang, langsung bilang: ‘Benarkah sekolah menarik sumbangan?’ Saya jawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia mau periksa buku keuangan,” tutur Muis.
Tak lama setelah itu, Muis mendapat panggilan dari pihak kepolisian.
Ia didakwa melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada siswa.
Pengadilan kemudian menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan.
“Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar,” ujarnya. Menurutnya, proses hukum berjalan panjang dan penuh kejanggalan.
“Lalu entah bagaimana, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah testimoni dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 itu merugikan keuangan negara,” kata Muis.
Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam sidang Tipikor tingkat pertama. Meski menerima putusan hukum, Muis tetap yakin dirinya tidak bersalah.
Ia menilai kasus ini muncul karena salah tafsir terhadap fungsi komite sekolah.
“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana itu digunakan untuk kepentingan sekolah,” ucapnya.
“Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya banyak yang tidak membayar dan mereka tetap ikut ujian, tetap dilayani,” tambahnya. Setelah diberhentikan sebagai PNS, Muis mengaku pasrah namun tetap tegar.
“Rezeki itu urusan Allah. Masing-masing orang sudah ditentukan jatahnya. Saya tidak mau larut. Cuma sedih saja, niat baik membantu sekolah malah berujung seperti ini,” ujarnya pelan.
Selama menjabat bendahara, ia hanya menerima uang transportasi Rp 125.000 per bulan dan tambahan Rp 200.000 sebagai wakil kepala sekolah, sebagian digunakan untuk membantu guru honor.
Penjelasan Disdik
Sementara, Dinas Pendidikan (Disdik) Sulawesi Selatan (Sulsel) soal dua guru SMAN 1 Luwu Utara dipecat
Kedua guru tersebut diberhentikan tidak dengan hormat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasus pungutan dana Rp20 ribu dari orangtua siswa yang digunakan untuk membayar gaji 10 guru honorer.
Kepala Disdik Sulsel, Iqbal Nadjamuddin, menegaskan bahwa pemberhentian keduanya murni merupakan tindak lanjut dari putusan hukum pidana korupsi (Tipikor) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
"Perlu kami luruskan bahwa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) ini murni penegakan hukum dan disiplin ASN. Ini merupakan konsekuensi dari putusan hukum pidana yang telah inkrah,” ujar Iqbal, dikutip Tribuntimur.com
Iqbal menjelaskan, untuk guru bernama Rasnal, proses PTDH berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Manajemen ASN SMAN/SMKN Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XII Luwu Utara yang diterbitkan Inspektorat Provinsi Sulsel pada 15 Februari 2024.
Dalam LHP tersebut, Inspektorat merekomendasikan penjatuhan hukuman disiplin karena Rasnal diketahui menjalani hukuman pidana penjara.
Menindaklanjuti temuan itu, Disdik Sulsel kemudian menyurati Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala BKD Sulsel) pada 16 Agustus 2024 untuk memohon pertimbangan status kepegawaian Rasnal.
Surat tersebut merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 tanggal 23 Oktober 2023, yang telah berkekuatan hukum tetap.
“PTDH ini merupakan kewajiban hukum yang harus dijalankan pemerintah daerah,” tegas Iqbal.
Ia menyebut, dasar hukum pemberhentian merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN Pasal 52 ayat (3) huruf i, serta PP Nomor 11 Tahun 2017 Pasal 250 huruf b.
Dalam aturan itu, PNS dapat diberhentikan tidak dengan hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan.
Selain itu, terdapat pula pertimbangan teknis (Pertek) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebelum keputusan pemberhentian diterbitkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan seluruh dasar hukum, Gubernur Sulsel menerbitkan Surat Keputusan Nomor 800.1.6.2/3973/BKD tanggal 21 Agustus 2025 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Drs. Rasnal, M.Pd.
Sementara untuk guru atas nama Abdul Muis, keputusan pemberhentian tertuang dalam SK Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tanggal 14 Oktober 2025.
Keputusan tersebut menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tanggal 26 September 2023.
“Pemprov Sulsel hanya menjalankan putusan dan aturan normatif yang berlaku. Semua proses sudah sesuai ketentuan ASN. Ketika ASN tersangkut kasus pidana dan putusannya sudah inkrah, maka otomatis berlaku Undang-Undang ASN,” jelasnya.
Iqbal berharap penjelasan ini dapat meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.
“Kami tegaskan, PTDH dua guru tersebut bukan keputusan sepihak, tetapi murni akibat kasus Tipikor yang sudah diputus inkrah oleh Mahkamah Agung,” pungkasnya.
Orang Tua Sebut Kesepakat Bersama
Sementara, Akrama, salah satu orang tua siswa mengingat jelas keputusan rapat wali murid pada 2018.
Saat itu, seluruh orangtua sepakat memberikan iuran Rp 20.000 per bulan untuk membantu menggaji guru honorer di sekolah tersebut.
Ia menegaskan bahwa iuran itu murni lahir dari kesepakatan bersama para orangtua.
Akrama kembali menekankan bahwa iuran itu tidak muncul secara sepihak, tetapi hasil musyawarah bersama.
"Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp 20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik,” ujar Akrama saat ditemui sambil menahan air mata, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com
Ia menambahkan, para orangtua tidak mempermasalahkan keputusan tersebut karena melihat langsung dedikasi para guru honorer dalam mendidik anak-anak mereka.
Dalam rapat pun tak ada satupun keberatan yang muncul.
“Jadi kami orangtua waktu itu tidak keberatan. Karena ini untuk anak kami yang dididik. Saya juga pernah merasakan jadi guru sukarela,” kata Akrama.
Kesepakatan iuran itu, kata dia, diambil melalui rapat orangtua dan komite sekolah pada 2018, saat anaknya baru duduk di kelas 1 SMA.
“Dari hasil kesepakatan rapat, Rp 20 ribu per siswa. Itu iuran bulanan, bukan sekali bayar,” ujarnya.
Meski ia tak mengetahui lebih jauh penggunaan dana setelah iuran dikumpulkan, Akrama percaya bahwa kebijakan tersebut memberi kontribusi pada kualitas pengajaran di sekolah.
“Kewajiban saya sebagai orangtua hanya memberikan uang kepada anak saya untuk dibayar. Soal selanjutnya saya tidak tahu lagi,” ujarnya. Akrama pun berharap hak dua guru yang telah diberhentikan bisa segera dipulihkan.
“Harapan saya sebagai orangtua, kembalikan hak kedua guru ini. Mereka punya keluarga. Anak kami pun bisa selesai kuliah karena jasa mereka,” katanya sambil menangis.
Ketua PGRI Sebut Pemecetan Tidak Adil
Kini Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar rapat koordinasi soal pemecatan kedua guru tersebut.
Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, mengatakan rapat ini menjadi langkah bersama untuk mencari solusi atas nasib Rasnal dan Abdul Muis.
Ismaruddin menilai, pemecatan tersebut tidak adil dan perlu ditinjau ulang secara objektif, agar tidak menimbulkan preseden buruk bagi profesi guru.
"Pemecatan guru karena masalah dana komite adalah tindakan yang tidak adil. Kami akan berjuang membela hak-hak guru yang dipecat dan memastikan mereka mendapatkan keadilan,” ucapnya, dikutip Kompas.com
Menurutnya, pengelolaan dana komite seharusnya menjadi tanggung jawab bersama pihak sekolah, komite, dan orang tua siswa, bukan dibebankan sepenuhnya kepada guru.
Selain menggelar rapat, PGRI Luwu Utara juga mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk kedua guru tersebut.
Aksi Solidaritas Guru
Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia.
Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.
“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.
PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.
Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:
Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD
Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.
“Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tutur Muis.
Orang Tua Murid Bantu Cari Keadilan
Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.
Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.
“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.
Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.
“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.
Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.
“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.
Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.
“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.
Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.
“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.
“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.
Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.
“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com
| IG Gubernur Sulsel Diserbu Imbas Tanda Tangani SK Pemecatan Guru dan Kepsek SMAN 1 Luwu Utara |
|
|---|
| Minta Bantuan Prabowo, Ketua PGRI Luwu Utara Sebut Pemecatan 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara Tidak Adil |
|
|---|
| Alasan 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara Dipecat Tidak Hormat, Murni Putusan Hukum Korupsi dan Disiplin ASN |
|
|---|
| Perilaku Anak Berubah usai Diculik, Ayah Balita Makassar Tetap Maafkan Pelaku: Hukum Tetap Berjalan |
|
|---|
| Gus Elham Minta Maaf usai Viral Video Tak Pantas, Ngaku Khilaf, Sebut Dalam Pengawasan Orang Tua |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sumsel/foto/bank/originals/PEMECATAN-GURU-DAN-KEPSEK-Mantan-Kepala-SMAN-1-Luwu-Utara-Rasnal-kiri.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.