Berita Palembang

Kampung Gerabah Palembang, Bertahan di Tengah Gempuran Modernisasi Untuk Menjaga Api Warisan

Di bangsal produksi gerabah di belakang rumah mereka, Dede menuturkan kisah pasang surut usaha yang mereka geluti.

Penulis: Syahrul Hidayat | Editor: Slamet Teguh
Tribunsumsel.com/ Syahrul Hidayat
CELENGAN AYAM - Dede, istri Yoyok perajin gerabah sedang menyelesaikan celengan ayam dari tanah liat di rumahnya Kamis (12/6/2025). Para perajin di Kampung Gerabah tetap berproduksi walaupun permintaan sepi. 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG – Di tengah hiruk pikuk modernisasi, sebuah tradisi kuno masih bernapas di Kampung Gerabah, Jalan Takwa, Lorong Keramik RT 11 Kelurahan Sungai Selincah, Kecamatan Kalidoni, Palembang.

Sejak era 1980-an, puluhan perajin gerabah, yang mayoritas merupakan perantau dari Jawa Barat, telah mengukir jejak di tanah Palembang ini, membentuk sebuah sentra produksi gerabah yang unik.

Salah satu keluarga yang setia menjaga warisan ini adalah Yoyok (62) dan sang istri serta Dede Sarimana (56).

Di bangsal produksi gerabah di belakang rumah mereka, Dede menuturkan kisah pasang surut usaha yang mereka geluti.

"Dulu sebelum pandemi COVID-19, kami bisa meraup Rp7 jutaan per bulan. Sekarang, paling hanya sampai Rp3 jutaan," ujarnya ketika dikunjungi beberapa waktu yang lalu.

Meski demikian, semangat mereka tak luntur.

Produksi terus berjalan, diiringi keyakinan bahwa rezeki diatur oleh Sang Pencipta.

Berbagai bentuk gerabah lahir dari tangan terampil mereka, mulai dari celengan gerabah aneka rupa (ayam, kucing, anjing, stroberi, Doraemon, ikan), tempat tembuni bayi, tempat kremasi mayat (banyak dipesan oleh kamar jenazah RS Charitas), hingga kendi gantung yang menjadi simbol bangun bubungan rumah.

Harga yang ditawarkan pun bervariasi, mulai dari Rp7.000 hingga Rp50.000.

Generasi penerus pun mulai menunjukkan bakatnya.

Angga (23) dan Fitri (20), kedua anak Yoyok dan Dede, telah mahir membuat gerabah.

"Angga sudah bisa bikin sejak SD. Kalau mau manggang, kami juga dibantu anak saya yang perempuan, jadi anak-anak kami sudah bisa produksi gerabah," kata Dede bangga.

Fitri, khususnya, membantu sang ayah menyusun gerabah yang sudah jadi jika akan dibakar.

Proses pembuatan gerabah di sini masih mengandalkan cara tradisional.

Tanah liat yang didapat dari Desa Gasing dibersihkan dari kerikil, lumpur, dan rumput, lalu diinjak-injak agar rata.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved