OPINI
Amplifikasi Debat Pilkada di Era Media Sosial
Alih-alih memperdalam pemahaman pemilih terhadap calon, amplifikasi debat di media sosial justru bisa memunculkan distorsi, di mana potongan-potongan
Kendatipun media sosial memainkan peranan penting dalam menyebarkan konten debat, namun sering kali konten ini tidak diterima secara utuh oleh publik.
Algoritma media sosial mempromosikan konten yang mendapatkan banyak perhatian atau interaksi, yang sering kali berupa potongan video atau pernyataan singkat yang mengandung unsur kontroversial atau emosional.
Setiap pernyataan kontroversial atau momen emosional selama debat dengan cepat bisa dipotong, diberi konteks baru, lalu menyebar luas.
Ini menciptakan fenomena di mana pesan asli debat hilang atau berubah karena potongan konten yang diambil di luar konteks lebih menarik perhatian pengguna.
Hal ini menciptakan fenomena di mana potongan-potongan debat yang keluar dari konteks lebih cepat viral dibandingkan diskusi yang lebih mendalam tentang kebijakan calon.
Penelitian dari Chadwick dan Vaccari (2019) menunjukkan bahwa media sosial berpotensi memperkuat konten yang provokatif atau emosional, dibandingkan dengan konten yang lebih mendalam tentang kebijakan calon.
Konten yang mendapatkan perhatian lebih besar bukanlah keseluruhan visi calon, tetapi sering kali hanya potongan-potongan kecil yang yang diambil secara selektif untuk menggiring opini.
Hal ini sejalan dengan temuan Kreiss dan Mc Gregor (2018) yang menekankan bahwa teknologi digital mempercepat penyebaran potongan konten, yang pada akhirnya dapat membentuk narasi yang berbeda dengan maksud asli.
Mereka berargumen bahwa potongan kecil dari pernyataan politik sering kali menjadi bahan bakar bagi kampanye negatif, di mana lawan politik menggunakan potongan-potongan tersebut untuk menyerang kredibilitas calon.
Dalam konteks ini, amplifikasi media sosial menjadi alat yang sangat kuat, namun juga berisiko jika tidak digunakan secara hati-hati (Kreiss & McGregor, 2018).
Dampak Amplifikasi =================================
Amplifikasi debat di media sosial juga berdampak langsung pada bagaimana pemilih memahami calon kepala daerah.
Sebuah studi menyoroti bahwa framing ulang dari potongan debat bisa menyesatkan pemilih, terutama jika mereka hanya terpapar pada potongan yang viral di media sosial tanpa melihat keseluruhan konteks debat.
Konten yang dipotong dan dibingkai ulang sering kali digunakan untuk memanipulasi opini publik, baik secara disengaja maupun tidak.
Inilah tantangan bagi pemilih yang mungkin tidak memiliki akses atau waktu untuk mengikuti debat secara utuh.
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Tanaman Obat |
![]() |
---|
Kenapa Selai Bisa Kental? Jawabannya Ada di Pektin! |
![]() |
---|
Program Kemitraan Masyarakat Pendampingan Pemasaran Digital&Laporan Keuangan Kuliner RantingAisyiyah |
![]() |
---|
Media Sosial dalam Pilkada 2024: Dialog Terbuka atau Polarisasi? |
![]() |
---|
Santri Elemen Penting dalam Membangun Kemajuan Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.