OPINI

Media Sosial dalam Pilkada 2024: Dialog Terbuka atau Polarisasi?

Dengan lebih dari 191 juta pengguna aktif di Indonesia (We Are Social, 2023), media sosial memungkinkan pesan kampanye menjangkau jutaan pemilih. 

Editor: Weni Wahyuny
Dokumentasi pribadi
M.H. Thamrin Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsri 

Akibatnya mereka terjebak dalam ruang tertutup yang memperkuat keyakinan tanpa pernah mendengar pandangan lain. 

Fenomena ini bisa sangat berbahaya dalam konteks Pilkada, di mana para pemilih sseolah-olah mendukung calon tertentu tanpa benar-benar mempertimbangkan informasi yang obyektif dan berimbang.

Banyak yang berpendapat bahwa media sosial memperkuat echo chambers, di mana pemilih hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. 

Penelitian dari Petter Tornberg (2018) menunjukkan bahwa echo chambers mempercepat penyebaran misinformasi, memperparah polarisasi antara kelompok pendukung calon (Törnberg, 2018). 

Ketika suatu kelompok sudah percaya pada narasi tertentu, informasi yang mendukung pandangan tersebut akan dengan mudah menyebar secara viral, meski belum tentu akurat. Ini menyebabkan kesalahpahaman semakin meluas dan memperdalam polarisasi antar kelompok pendukung calon (Tornberg, 2018).

Namun, kritik terhadap konsep ini juga perlu diperhatikan. Axel Bruns, dalam bukunya Are Filter Bubbles Real? (2019), menantang pandangan bahwa echo chambers sepenuhnya membatasi pengguna dari pandangan berbeda. 

Menurut Bruns, meskipun pengguna cenderung berinteraksi lebih sering dengan konten yang sejalan dengan pandangan mereka, hal ini tidak berarti mereka terisolasi dari perspektif yang berbeda. 

Ia menyebut fenomena echo chambers sebagai ilusi yang sering kali dilebih-lebihkan, karena pada kenyataannya, pengguna media sosial juga sering terpapar pada beragam sudut pandang, bahkan yang berlawanan dengan keyakinan mereka (Bruns, 2019).

Kritik Bruns ini menunjukkan bahwa media sosial tidak secara otomatis menciptakan ruang tertutup yang memperkuat polarisasi. 

Alih-alih hanya menyebarkan konten yang sesuai dengan keyakinan pemilih, media sosial juga menyajikan informasi dari berbagai sumber. 

Meski begitu, pengguna cenderung memilih untuk berinteraksi lebih intens dengan informasi yang mendukung pandangan mereka.

Disinformasi: Ancaman Bagi Kampanye dan Strategi Komunikasi

Selain berdampak pada pemilih, misinformasi dan disinformasi juga memiliki implikasi serius terhadap strategi kampanye para calon. 

Konten kampanye yang dimanipulasi atau dipelintir dapat menjadi senjata kampanye negatif yang efektif. 

Oleh karena itu, calon pemimpin perlu menata strategi komunikasi mereka dengan sangat hati-hati. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved