Liputan Khusus Tribun Sumsel

LIPSUS: Dominasi Faktor MBA, Penyebab Pasangan Menikah di Bawah Umur, Ortu Disarankan Awasi Anak -1

Pernikahan usia anak sebagian besar didasari karena pernikahan tidak diinginkan atau hamil di luar nikah. Ada juga takut fitnah maka menikah.

Editor: Vanda Rosetiati
TANGKAP LAYAR TRIBUN SUMSEL
Liputan Khusus Tribun Sumsel, pernikahan usia anak atau pernikahan dini sebagian besar didasari karena pernikahan tidak diinginkan atau hamil di luar nikah. Ada juga takut fitnah maka menikah. 

TRIBUNSUMSEL.COM, MURATARA - Kasus pernikahan dini di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumsel, masih ada. Pemerintah daerah setempat menegaskan terus berupaya menekan itu. Caranya dengan memberikan edukasi kepada keluarga tentang dampak negatif dari menikah di bawah umur.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDP3A) Kabupaten Muratara, Gusti Rohmani melalui Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Kudus, mengatakan walau ada tapi jumlah kasus tersebut tidak banyak.

"Ada, tapi jumlahnya tidak banyak. Yang jelas kita terus menekan angka itu dari tahun ke tahun. Kita harapkan semoga ke depannya tidak ada lagi anak menikah di bawah umur atau menikah dini," kata Kudus dihubungi Tribun Sumsel, Jumat (28/4/2023).

Sebelumnya, Kepala Dinas PMDP3A Kabupaten Muratara, Gusti Rohmani mengungkapkan kasus pernikahan anak bawah umur yang kerap terjadi didominasi faktor kehamilan yang tak diharapkan atau married by accident (MBA). Selain itu ada juga alasan karena sudah terlalu dekat sehingga ingin menghindari fitnah.

"Pernikahan usia anak sebagian besar didasari karena pernikahan tidak diinginkan atau hamil di luar nikah. Namun ada juga dia belum apa-apa, tapi karena sudah lama dekat, sudah suka sama suka, takut fitnah maka melangsungkan pernikahan," katanya.

Untuk menekan angka pernikahan dini tersebut pihaknya terus memberikan edukasi, serta menyadarkan para orangtua agar lebih aktif mengawasi, menjaga anak-anaknya dari pergaulan negatif.

Gusti berpesan kepada para orangtua dan remaja supaya menjauhi perbuatan di luar batas. Menurut dia hal itu hanyalah rasa senang sesaat, dan setelah itu akan datang penyesalan karena malu berkepanjangan.

"Orangtua harus mengedukasi anak-anak, harus paham betul dampaknya, masih dini sudah hamil, mereka kesulitan membesarkan anaknya, akan kesulitan mengakses pendidikan. Itu hanya kesenangan sesaat, sudah itu sengsara, dan malunya seumur hidup," katanya.

Terpisah, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Muratara, Ikhsan Baijuri mengatakan pihaknya selaku pelaksana regulasi dari pemerintah tidak ikut campur dalam memberikan dispensasi nikah.

"Itu ranahnya Pengadilan Agama. Pengadilan yang mengeluarkan surat dispensasi itu, tentu ada proses dan mekanismenya, tidak serta-merta langsung mendapat dispensasi," katanya.

Dia menjelaskan, secara aturan batas minimal usia nikah adalah 19 tahun. Bila di bawah usia tersebut maka harus mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan.

"Secara syariat memang sah-sah saja, tetapi secara negara tidak bisa, maka dia mereka menikah di bawah tangan istilahnya itu, tidak tercatat di negara," jelas Ikhsan Baijuri.

Pihaknya rutin mengadakan kegiatan bimbingan perkawinan pra nikah bagi remaja usia sekolah. Tujuannya tak lain adalah untuk memperkecil tindakan pernikahan pada usia dini, serta membuka wawasan pelajar agar tidak terburu-buru menikah di usia yang belum cukup.

"Kita berharap para generasi muda terutama anak usia sekolah agar dapat lebih mawas diri. Kemudian selalu berpikir positif dengan berlandaskan aturan agama dalam setiap kegiatan yang melibatkan adanya laki-laki dan perempuan," ujar Ikhsan Baijuri.

Sementara itu berdasarkan catatan Pengadilan Agama (PA) Lubuklinggau pada tahun 2022 tak kurang dari 380 pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi nikah. Jumlah tersebut mencakup tiga wilayah kerja Pengadilan Agama Lubuklinggau, yakni Kota Lubuklinggau, Kabupaten Musirawas dan Muratara.

Dari data tersebut, yang paling banyak mengajukan dispensasi nikah adalah dari warga Kabupaten Musirawas, disusul Lubuklinggau dan terendah Muratara.

Pengawasan Perlu

Sementara itu Gundriyani yang merupakan ibu dari dua anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah mengatakan bahwa pengawasan orang tua menjadi aspek yang paling penting.

"Sebagai orang tua pasti ada rasa was-was juga kalau anak berpergian ke luar, itulah yang buat saya sampai anak saya usia 14 tahun harus saya hantar jemput, belum berani untuk saya pesankan ojek online," ujarnya.

Kendatipun jarak rumah ke sekolah jauh, Gundriyani tetap ingin menghantar jemput anaknya dan jika pun anaknya ikut Les akan ditunggunya sampai selesai.

"Pengawasan orang tua ke anak itu sangat penting, apalagi kalau nanti anak sudah menginjak usia pubertas harus lebih ekstra lagi dalam menjaga anak," bebernya.

Sementara itu, salah satu guru negeri di sekolah menengah pertama, Puspita mengatakan bahwa pihaknya sebagai orang tua ke dua bagi anak-anak sekolah juga memiliki peran tak kalah penting.

"Selalu berikan edukasi yang membangun, bukan hanya ke pelajaran saja namun secara emosi dan moralnya perlu selalu di suplai dengan hal yang positif," ujarnya.

Lebih lanjut usia krusial anak menginjak dewasa yakni pada usia ABG atau berkisar yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Sebagai seorang guru dia selalu memberikan support yang positif dan menjadi teladan yang baik untuk anak didiknya.

" Caranya dengan melakukan pedekatan terlebih dahulu dengan mengajak anak untuk saling mengenal satu sama lain dengan cara pedekatan sharing satu sama lain sesuai degan gen z sekarang," tambahnya.

"Selain menjadi guru kita juga perlu menjadi pendengar yang baik untuk anak, jangan buat anak merasa terlalu takut dengan kita," tambahnya.

Menurutnya bahwa anak-anak yang masih di usia belia harus mendapatkan dukungan dan perhatian penuh agar anak-anak tersebut bisa menjadi penerus bangsa yang dapat di andalkan.

"Antara guru dan siswa harus saling sharing prihal apapun itu terutama apalagi jika seorang guru tersebut merupakan walikelas anak tersebut, kita harus lebih mendekati siswatetapi tidak boleh juga melakukan pendekatan terlalu berlebihan," bebernya

Sebagai guru juga harus memberikan arahan arahan mengenai dampak-dampak negatif dari pergaulan -pergaulan yang sering terjadi pada anak sekolah yang baru ingin menemukan jati dirinya, sehingga siswa akan berfikir ulang untuk melakukan hal tersebut, tambahnya.

Ada Faktor Ekonomi

Direktur Women's Crisis Center (WCC) Sumsel, Yesi Ariyani mengatakan banyak faktor terjadinya pernikahan anak di bawah umur,

Pertama faktor ekonomi, biasanya anak yang dinikahkan di bawah umur dikarenakan ekonomi keluarga yang rendah sehingga ketika anak menikah maka sudah bukan lagi menjadi tanggungan orang tua.

Kedua, faktor pendidikan, karena biasanya tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi faktor anak menikah muda ketika pendidikan yang rendah maka anak tersebut tidak memiliki pola pikir yang baik.

Ketiga karena faktor adat istiadat juga bisa karena misalkan di desa tersebut ketika usia sudah 18 tahun maka sudah dianggap gadis tua jika tidak ku jung segera menikah.

Faktor lainnya yakni pergaulan bebas yang menyebabkan hamil di luar nikah.(cr14/cr23/tnf)

Baca berita lainnya langsung dari google news

Silakan gabung di Grup WA TribunSumsel

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved