Berita Palembang

Penjelasan BPPD Palembang Alasan Kenaikan PBB, Terkait Pemberian TPP dan Target PAD Rp 1,3 Triliun

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) 2019 di Palembang menjadi topik hangat saat ini

Tribun Sumsel/ Tiara Anggraini
Kepala Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang, Shinta Raharja 

Adanya subsidi silang ini sangat menguntungkan bagi yang masyarakat menengah kebawah.

"Ada sekitar 263.709 wajib pajak yang dibebaskan atau sekitar Rp 31 miliar. Jadi sisanya 166. 536 wajib pajak kena dengan potensi Rp 464 miliar," jelas dia.

Karena itu, pihaknya sudah mengantisipasi dengan adanya gejolak ini.

"Sebaliknya kami tidak melalaikan hak wajib pajak yang menganggap ketinggian silakan ajukan klaim dengan alasan-alasannya," tegas dia.

Bentuk Klaster Sekolah Gratis dan Mandiri, Herman Deru Ingin Pendidikan di Sumsel Adil dan Merata

Saat ditanya, apakah kenaikan ini ada pengaruh dengan kenaikan tunjangan ASN, Shinta menjawab tak menampik ada pengaruh kenaikan ini dengan Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP).

"Saya tidak menampik karena memang ada hubungannya karena topangan APBD Pemkot melalui pajak sebesar 30 persen," tutupnya.

Warga Protes

Sejak beberapa hari belakangan ini, warga kota Palembang banyak mengeluhkan dengan adanya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diklaim naik hingga puluhan kali lipat.

Akibatnya, banyak warga yang mendatangi Kantor Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang yang terletak di Jalan Merdeka.

Dari pantauan Tribunsumsel.com, Senin (13/5/2019) ada ruangan konsultasi PBB yang terletak di lantai dasar.

Secara bergantian, warga masuk untuk berkonsultasi kepada petugas yang ada.

Yuli, warga Makrayu Jalan Tanjung Burung IB II Palembang mengaku kesal dengan kenaikan PBB ini.

Ia datang berserta suami menanyakan kepada petugas kenapa naik.

Buka Pasar Murah PUBM, Gubernur Sumsel Herman Deru: Kreatifitas ini Harus Dicontoh Dinas Lain

"Kami nanyo, lah dijelasi ada penyesuaian. Tapi kami masih tetap mengajukan keberatan karena tak terima mba," ujarnya.

Yuli mengaku tahun lalu sebelum mengalami kenaikan ia hanya membayar Rp 128 ribu menjadi Rp 369 ribu. "Walaupun kecik tapi kami ini masyarakat tidak mampu mba. Kerja cuma buruh," ujarnya.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved