Berita Viral

Curhatan Faisal Tanjung Disalahkan Gegara Laporkan Guru SMAN 1 Luwu Utara, Hukum Dicabik-cabik

Faisal Tanjung, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mempertanyakan keadilan setelah kian menuai kemarahan publik karena melaporkan dua guru

Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Moch Krisna
Tangkapan Layar Facebook Faisal Tanjung
OKNUM LSM : Faisal Tanjung oknum LSM melaporkan dua guru SMAN 1 Luwu Utara terkait uang punguatan Rp20 Ribu. Faisal Tanjung, mempertanyakan keadilan setelah kian menuai kritikan dan kemarahan publik karena melaporkan dua guru SMAN 1 Luwu Utara. 
Ringkasan Berita:
  • Faisal Tanjung, mempertanyakan keadilan setelah merasa menjadi korban disalahkan usai laporkan guru SMAN 1 Luwu Utara
  • Pada postingan terbaru di Facebooknya, Jumat (21/11/2025), Faisal curhat hukum dicabik-cabik
  • Sebelumnya, Faisal berulang kali mempertanyakan mengapa dirinya kini disalahkan.

 

 

TRIBUNSUMSEL.COM - Faisal Tanjung, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mempertanyakan keadilan setelah kian menuai kritikan dan kemarahan publik karena melaporkan dua guru SMAN 1 Luwu Utara.

Diketahui Faisal Tanjung ramai dihujat karena tindakannya melaporkan Abdul Muis dan Rasnal.

Pada postingan terbaru di Facebooknya, Jumat (21/11/2025), Faisal curhat di tengah gelombang dukungan terhadap dua guru yang sempat dipenjara dan dipecat dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) akibat laporan Faisal terkait dugaan pungutan liar (pungli) dana komite sebesar Rp 20.000 per siswa.

Ia menulis kalimat yang bernada membela diri dan merasa menjadi korban dari  tudingan tak berdasar.

Baca juga: Faisal Tanjung Desak Pemeriksaan Ulang Dana BOS Picu Honorer Tak Digaji, Khawatir ASN yang Menikmati

Pasalnya ia hanya bertindak sebagai pelapor, dan yang menentukan vonis salah terhadap Rasnal dan Abdul Muis hanya majelis hakim Mahkamah Agung.

 "Ketika Hukum di cabik2, dengan rasa kasihan dan Fitnah menjadi kebenaran." tulisnya.

Diketahui, pasca kasus ini viral, Faisal Tanjung menghadapi konsekuensi sosial dan hukum.

Akun media sosialnya, termasuk Facebook, dibanjiri hujatan dan kritik dari warganet.

Selain itu, ia juga harus menghadapi pemeriksaan setelah dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan terkait isu-isu yang berkembang setelah rehabilitasi kedua guru.

Sebelumnya, Faisal berulang kali mempertanyakan mengapa dirinya kini disalahkan.

Ia beralasan laporan dibuat setelah upaya klarifikasinya kepada salah satu guru justru berujung pada tantangan.

Laporan ini berawal dari pesan WhatsApp yang mengaitkan pembayaran dana komite dengan pembagian rapor, yang ia anggap sebagai bentuk pungutan, bukan sumbangan sukarela.

"Dia bilang, kalau merasa ada pelanggaran silakan laporkan ke polisi, jadi saya buat laporan." Ia juga menekankan bahwa proses hukum dan keputusan pemecatan berada di ranah pengadilan dan pemerintah daerah, bukan kewenangannya.

 

Desak Penegak Hukum Periksa Ulang Dana Bos

Faisal Tanjung, anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melaporkan kasus ini, mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) melakukan pemeriksaan mendalam, tidak hanya pada pungutan komite, tetapi juga pada alokasi Dana BOS yang diperuntukkan bagi honorer.

Diketahui belakangan, iuran komite yang menjadi pemicu Abdul Muis dan Rasnal terkena PTDH itu diperuntukan guru honorer yang tidak menerima gaji selama 10 bulan mengajar sejak tahun 2018.

Pria asal Masamba itu meminta agar memeriksa total penerimaan insentif yang diterima oleh ASN dari Dana BOS (alokasi 15 persen untuk honorer) dan dana komite, untuk memastikan tidak ada alokasi ganda atau penarikan keuntungan pribadi.

"Untuk APH ketika melakukan Pemeriksaa ulang terkait pungutan uang komite, agar kiranya dana bos untuk honorer yang 15 persen juga diperiksa, karena ada kaitannya dana bos dan pungutan komite karena semuanya sama2 untuk honorer dan sebenarnya gaji honorer itu berapa.." tulisnya.

Baca juga: Pesan PGRI Luwu Utara ke Faisal Tanjung LSM Pelapor Abdul Muis-Rasnal, Memaafkan usai SK ASN Kembali

Faisal menuliskan kekhawatirannya jika dana tersebut dialihkan sebagai "transaksi bisnis" yang berpotensi memperkaya oknum tertentu di sekolah.

"Jangan sampai dana BOS dan pungutan uang Komite jadi transaksi bisnis dunia pendidikan dengan tujuan memperkaya diri dan orang lain. Apa lagi ketika status ASN yang menikmati itu," katanya.

Pernyataan Faisal ini mencuat setelah Abdul Muis, guru SMAN 1 Luwu Utara meluruskan terkait tuduhan menerima bagian Rp11 juta dari total dana iuran komite yang terkumpul dari wali murid.

Sebelumnya, Faisal Tanjung aktivis LSM melaporkan Abdul Muis dan Rasnal kasus pungutan liar (pungli) Rp 20 ribu per bulan dari orangtua siswa demi membantu guru honorer yang tak digaji.

 

Putusan MA 

Terungkap rincian iuran komite SMAN 1 Lutra selama 3 tahun terkumpul Rp770,808.000.

Dalam putusan Mahkamah Agung, Abdul Muis dan Rasnal terbukti bersalah.

Dua guru tersebut disebut-sebut menerima uang Rp11.100.000 dari dana yang terkumpul Rp770.808.000 pada periode 2018–2021 itu. 

Dana sumbangan komite sebesar Rp770.808.000 selama tiga tahun disimpan pada rekening saksi Abdul Muis Muharram.

Berikut rincian iuaran komite:

1. Bayar honor guru
2. Tunjangan wali kelas
3. Tunjangan Hari Raya (THR)
4. Cleaning Service

Baca juga: Alasan Faisal Tanjung Tak Terima Dimaafkan PGRI Lutra usai Abdul Muis-Rasnal Terima SK ASN

Selain rincian tersebut, Abdul Muis dan Rasnal  disebut memperoleh bagian pribadi sebesar Rp11.100.000. 

Baca juga: Total Dana Iuran Komite Pemicu Guru SMAN 1 Lutra Kena PTDH, Rasnal-Abdul Muis Diduga Dapat Rp11 Juta

Praktik tersebut dinilai menyimpang dari Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang mengatur bahwa Komite Sekolah tidak boleh menarik pungutan dan hanya boleh menerima sumbangan sukarela.

Mahkamah Agung menyatakan rangkaian perbuatan itu telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, serta juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Atas pertimbangan tersebut, MA mengabulkan permohonan kasasi Penuntut Umum dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 56/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mks tanggal 15 Desember 2022, karena dinilai tidak tepat mempertahankan putusan sebelumnya.

Putusan ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 pada halaman 26 dari 29 halaman dokumen resmi.

MA menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara sesuai Putusan MA Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 dan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023.

Hakim memvonis mereka bersalah atas kasus gratifikasi.

Tiga hakim adalah H Eddy Army sebagai Ketua dan Hakim Anggota, Ansori dan Prim Haryadi.

Namun belakangan presiden Prabowo Subianto merehabilitasi status hukum dan ASN dari Rasnal dan Abd Muis. 

Padahal, mereka terbukti melakukan pungutan liar. 

Meskipun terbukti melakukan pungutan liar dan sempat dikeluarkan Surat Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, kasus ini belakangan menarik perhatian publik. 

Presiden Prabowo Subianto kemudian mengambil keputusan untuk merehabilitasi status hukum dan status ASN dari Rasnal dan Abd Muis, keduanya kembali mengajar. 

 

Bantahan Abdul Muis

Guru Abdul Muis akhirnya memberikan penjelasan perihal tuduhan yang menyebut dirinya dan Rasnal mengambil dana sejumlah Rp 11 juta dari iuran yang dikumpulkan oleh komite SMAN 1 Luwu Utara.

Adapun sebelumnya, hal itu terkuak berdasarkan dokumen rilisan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang diperoleh tribun-timur.com, Selasa (18/11/2025).

MA menyebutkan, Abdul Muis selaku Wakil Kepala Sekolah sekaligus bendahara komite bersama Kepala Sekolah Rasnal memungut iuran komite sekolah dari orangtua siswa sejak 2018-2021.

Baca juga: Terima Rp11 Juta Dana Komite, Abdul Muis Luruskan Tuduhan :Itu Insentif Bertahun-Tahun, Bukan Pungli

Angka inilah yang, menurut Abdul Muis, kerap dipersepsikan keliru seolah merupakan penerimaan rutin setiap bulan.

“Yang perlu diluruskan itu angka Rp 11.100.000 itu. Seakan-akan kami menerima itu per bulan. Padahal itu akumulasi insentif untuk tugas-tugas tambahan selama bertahun-tahun,” ujar Abdul Muis saat dikonfirmasi Kompas.com, usai hari pertama kembali mengajar, Kamis (20/11/2025).

Muis menegaskan bahwa ia hanya menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan saat menjadi bendahara komite.

Para orang tua, kata dia, mengusulkan adanya insentif untuk wali kelas, petugas laboratorium, hingga wakil kepala sekolah (wakasek) yang memegang tanggung jawab tambahan.

“Wali kelas itu Rp 150.000 per bulan, humas dan wakasek Rp 200.000 per bulan. Cairnya per triwulan. Sebagai bendahara, uang jalan atau transportasi saya Rp 125.000 per bulan,” ucapnya.

Jika dihitung, kata dia, total insentif yang ia terima per triwulan adalah Rp 975.000, dikalikan empat triwulan dalam setahun, lalu dikalikan tiga setengah tahun.

“Polisi hanya memunculkan angka Rp 11.100.000 tanpa penjelasan lengkap. Jadinya seakan-akan kami menerima gratifikasi bulanan. Ini juga sudah terungkap di pengadilan,” kata Muis.

Ia menegaskan, insentif itu murni inisiatif para orang tua yang menilai guru menjalankan tugas tambahan yang menyita waktu dan tenaga.

“Orang tua siswa bilang: Yang penting anak kami diajar dengan baik, diurus dengan baik. Ini kami kasih insentif. Kami pun tidak pernah meminta,” tambahnya.

Sayangnya, niat baik Muis justru berujung pada perkara hukum. Ia dituduh melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada peserta didik.

Ketua Komite SMA Negeri 1 Luwu Utara, Muhammad Sufri Balanca, yang saat itu masih menjadi anggota komite, membenarkan bahwa insentif dan iuran komite telah dibahas bersama orang tua secara terbuka.

Ia mengatakan tidak pernah ada penolakan dari orang tua siswa terkait besaran iuran komite.

Bahkan ketika perhitungan komite menetapkan iuran hanya Rp 17.000 per bulan, para orang tua justru meminta dinaikkan menjadi Rp 20.000.

“Rp 20.000 itu tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Orangtua malah bilang cukupkan Rp 20.000 karena itu untuk kegiatan anak-anak mereka,” ujar Sufri.

Ia mengingat kembali saat pemeriksaan di Dinas Pendidikan, seorang ibu dari Desa Radda sempat memprotes keras penyidik yang mempersoalkan iuran tersebut.

“Dia bilang: Kenapa Bapak yang sewot kepada guru? Ini uang kami untuk kegiatan anak-anak kami. Jadi menurut saya, kasus ini memang terkesan dipaksakan,” ujar Sufri.

Sufri juga mengungkap bahwa ketika berkas perkara disebut sudah P21 karena tidak ditemukan kerugian negara, muncul pemeriksaan tambahan dari Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Luwu Utara.

Padahal, katanya, otoritas pengawasan terkait sekolah menengah berada pada inspektorat provinsi.

“Namun polisi meminta pemeriksaan ke Bawasda kabupaten yang sebenarnya tidak berwenang. Dari situ keluar pernyataan bahwa ada indikasi kerugian negara,” ujarnya.

Saya menduga langkah itu dilakukan untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap kedua guru.

“Saya tidak tahu apa dosanya sehingga harus dipaksakan,” kata Sufri.

Meskipun demikian, kasus ini belakangan telah dianggap selesai setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan surat rehabilitasi kepada Muis dan rekannya, Rasnal.

Pemberian rehabilitasi ini mengembalikan hak-hak mereka yang sempat dihilangkan setelah pemecatan dari status Aparatur Sipil Negara (ASN).

Rasnal kembali menjadi kepala sekolah di UPT SMAN 3 Luwu Utara.

Sementara, Abdul Muis mengajar lagi di SMAN 1 Luwu Utara.

(*)

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved