Hari Pahlawan
Termasuk Soeharto, 10 Nama Pahlawan Nasional Diumumkan Prabowo Hari Ini
Presiden ke-2 RI Soeharto akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional yang akan diumumkan oleh Prabowo, Senin (10/11/2025).
Soeharto baru mulai bersekolah saat berusia delapan tahun dan sempat berpindah-pindah sekolah.
Pada awalnya, ia bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Puluhan, Godean.
Namun, ia kemudian masuk ke Sekolah Dasar (SD) Pedes setelah ibu dan ayah tirinya pindah rumah ke Kemusuk Kidul.
Setelah itu, Soeharto kembali berpindah sekolah karena sang ayah kandung, Kertosudiro, menitipkan dia ke keluarga paman dan bibinya, Prawirowihardjo, di Wuryantoro, Purwodadi, Jawa Tengah.
Kertosudiro memilih menitipkan Soeharto kepada keluarga adiknya agar sang anak memiliki masa depan lebih baik.
Prawirowiharjo yang merupakan suami dari adik ayah Soeharto, bekerja sebagai mantri tani.
Ia juga merupakan anak seorang pengusaha terkenal bernama Sudwikatmono.
Selama tinggal bersama keluarga pamannya, Soeharto sering diajak ke sawah sehingga perlahan mengerti soal seluk beluk pertanian.
Setamat sekolah dasar, Soeharto kemudian memilih pulang ke Kemusuk untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta.
Ia biasa mengayuh sepeda dari Kemusuk ke Yogyakarta demi menuntaskan pendidikan SMP.
Setelah lulus SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA), tetapi terkendala biaya.
Oleh karena itu, Soeharto kemudian memilih masuk ke bidang militer.
Ia mendaftar ke Militer Koning Willem III (sekarang dikenal sebagai Akademi Militer Magelang) pada 1940.
Di akademi ini, Soeharto mendapatkan pendidikan yang tidak hanya membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin, tetapi juga mempertajam bakat militernya.
Pada 1941, ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah.
Kemudian, pada 5 Oktober 1945, Soeharto resmi menjadi anggota TNI.
Soeharto menikah dengan seorang anak pegawai Mangkunegaran bernama Siti Hartinah pada 1947.
Dari pernikahannya dengan Siti Hartinah atau biasa disapa Ibu Tin, Soeharto dikaruniai enam anak, yakni Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Dari militer ke panggung politik
Soeharto turut berperan sebagai anggota TNI selama masa perang kemerdekaan.
Ia diberi tugas memimpin pasukan melawan aksi militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia.
Nama Soeharto semakin dikenal publik setelah ia turut berperan dalam usaha menguasai Kota Yogyakarta pada serangan umum 1 Maret 1949.
Setelah itu, Soeharto mendapatkan pangkat brigadir jenderal dan bertugas memimpin Komando Mandala pada 1961, dalam misi merebut kembali Irian Barat.
Seusai merampungkan tugas di Irian Barat, Soeharto mendapatkan kenaikan pangkat menjadi mayor jenderal.
Jenderal A.H. Nasution kemudian menarik Soeharto ke markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Selain itu, ia juga naik menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1962.
Perpecahan di tubuh ABRI dan meletusnya Gerakan 30 September (G30S) 1965 kemudian memberi panggung lebih luas kepada Soeharto untuk tampil ke politik.
Operasi yang berlangsung setelah peristiwa G30S, membuka jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia.
Jalan Soeharto ke panggung politik Indonesia juga didukung oleh Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 1946.
Supersemar memberi kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil dan menentukan segala tindakan supaya permasalahan terselesaikan dan dapat memulihkan keamanan dan ketertiban nasional.
Soeharto kemudian menerima jabatan menjadi Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Jalan menuju kursi presiden
Pada 1967, jalan menuju kursi presiden Indonesia terbuka bagi Soeharto ketika ia diangkat sebagai pejabat presiden menggantikan Soekarno.
Langkah ini menandai awal perjalanan Indonesia dalam periode yang dikenal sebagai Orde Baru.
Meski sudah memimpin sejak 1967, Soeharto baru resmi dilantik oleh MPRS untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968.
Saat diangkat menjadi pejabat presiden, Soeharto memimpin negara dalam menghadapi tantangan yang kompleks.
Kala itu, Indonesia dihadapkan pada krisis ekonomi dan politik.
Soeharto pun melakukan reformasi ekonomi terencana dan disiplin fiskal untuk mengatasi inflasi yang tinggi.
Dalam kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengalami transformasi besar.
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Stabilitas politik juga lebih baik.
Kebijakan pembangunan yang terstruktur dan berfokus pada pertanian, industri, dan infrastruktur menghasilkan hasil signifikan.
Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil menjalin kerja sama internasional yang lebih luas dan menjadi pusat perhatian dalam forum global.
Dalam era Orde Baru ini, stabilitas politik yang ditegakkan memungkinkan Indonesia untuk mengejar proyek-proyek pembangunan skala besar, seperti proyek transmigrasi dan industrialisasi.
Meski begitu, pemerintahan Orde Baru juga tidak terlepas dari berbagai kontroversi.
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, berjalan dengan otoriter.
Kebebasan berpendapat dan pers pun dibungkam.
Selain itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme juga kental terjadi selama Orde Baru.
Akhir kekuasaan Soeharto
Kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade menemui titik akhir saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1998.
Gelombang aksi protes dan kerusuhan pun terjadi di mana-mana untuk menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Hingga akhirnya, Soeharto memutuskan mengundurkan diri pada 1998.
Dengan mundurnya Soeharto, berakhirlah pemerintahan Orde Baru dan dimulailah era Reformasi yang masih berjalan hingga kini.
Setelah menjalani masa-masa pensiun dengan tenang, Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, pada 27 Januari 2006.
Referensi:
Mangunwijaya, Y. B. (2016). Soeharto: Biografi Politik. Kepustakaan Populer Gramedia.
McGregor, K. (2012). Soeharto and China: Indonesian Experiences of Anti-Chinese Racism and Violence During the Soeharto Era, 1965–1998. Asian Ethnicity, 13(3),
Artikel ini tayang di Kompas.com
Baca berita lainnya di Google News
Bergabung dan baca berita menarik lainnya di saluran WhatsApp Tribunsumsel.com
| 11 Keadaan dan Tempat, Wajib Mengheningkan Cipta 60 Detik Bila Terdengar Sirine pada 10 November |
|
|---|
| 25 Ide Baju Hari Pahlawan 2025 Laki-laki dan Perempuan, Simpel dan Menarik |
|
|---|
| Teks Doa Upacara Hari Pahlawan 10 November 2025 Resmi dari Kemensos, Versi Islam, Kristen dan Budha |
|
|---|
| Petunjuk Pelaksanaan Hening Cipta Serentak 60 Detik pada Senin 10 November 2025 Pukul 08.15 |
|
|---|
| Pesan-pesan Perjuangan Pahlawan Nasional untuk Dibacakan pada Upacara Peringatan Hari Pahlawan 2025 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sumsel/foto/bank/originals/presiden-soeharto-ramalkan-kondisi-indonesia-tahun-2020.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.