Terkuaknya "Jatah" Proyek di OKU: 20 persen untuk DPRD, 2 persen untuk Panitia Lelang
Pengakuan Pablo ini menjadi sorotan utama persidangan. Ia mengatakan Nopriansyah secara langsung menawarkannya sejumlah proyek di Kabupaten OKU dengan rincian fee yang sudah ditentukan.
"Saya juga baru mengetahui saat sidang beberapa waktu lalu, kalau fee 20 persen itu untuk pengesahan ketuk palu anggota DPRD OKU," ungkap Pablo, menunjukkan bahwa fee ini merupakan "harga" untuk meloloskan proyek. Sementara itu, 2 persen lainnya dialokasikan untuk panitia lelang Dinas PUPR.
Skenario Percepatan Pencairan Uang Muka Rp5,6 Miliar
Dalam kesaksiannya, Pablo menceritakan bagaimana ia dilibatkan dalam proyek senilai Rp16 miliar ini. Atas permintaan Nopriansyah, ia membantu Ahmat Toha alias Anang mengurus pekerjaan proyek tersebut. Setelah itu, adik Anang memintanya mencarikan perusahaan-perusahaan yang namanya bisa "dipinjam" untuk proyek.
Setelah berkas perusahaan siap, Pablo mengajukannya ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten OKU. Tekanan untuk mempercepat pencairan uang muka pun datang. Pablo mendatangi kantor BPKAD dan bertemu saksi Setiawan pada 10 Maret 2025.
"Saya dibuatkan memo untuk bertemu Setiawan Kepala BPKAD OKU menanyakan soal pencairan uang muka. Saksi ini cuma saya kenal lewat telepon saja, ketemunya baru hari itu. Saya kenalkan diri, 'Pak, saya ini anak buahnya Anang', kemudian Pak Setiawan menanya berkas Anang yang mana. Dijawab Pak Setiawan, sebab tahun 2024 ada yang terutang, karena uang ini pas-pasan, berkas lengkap didahulukan yang tahun 2025," terang Pablo di hadapan Jaksa KPK.
Tekanan makin kuat setelah Nopriansyah menyebut anggota DPRD OKU juga menanyakan perihal pencairan uang muka. Berkat "disposisi" dari Setiawan, uang muka proyek senilai Rp5,6 miliar akhirnya cair pada 13 Maret 2025, langsung masuk ke rekening keempat perusahaan "pinjaman" dari Lampung.
Pengantaran Fee Rp2,2 Miliar dalam Dua Tas: Aliran Dana Terkuak
Setelah uang muka Rp5,6 miliar cair, Pablo langsung memerintahkan keempat perusahaan tersebut mentransfer dana ke rekeningnya dan rekening stafnya, Narandia Dinda. Begitu dana terkumpul, ia melapor kepada Anang bahwa uang muka sudah cair.
"Tanggal 14 Maret Anang minta awal Rp1 miliar ditarik tunai karena lagi butuh, sisanya masuk rekening saya dan rekening Narandia atau Dinda. Kemudian tanggal 15 Maret uang Rp2,2 miliar dibilang Anang kasih Pak Nopriansyah," ujar Pablo, membeberkan detail pembagiannya.
Untuk mengantar uang fee Rp2,2 miliar itu, Pablo mengaku harus datang ke bank untuk mengambilnya secara tunai. Saking banyaknya, uang tersebut harus dimasukkan ke dalam dua buah tas. "Saya bawa satu tas ransel besar ternyata tidak muat. Lalu saya pergi ke pasar dulu buat beli tas, dapatlah tas gunung. Saya kembali ke bank dan memasukkan uangnya ke dalam tas," kisahnya.
Dalam perjalanan mengantar uang, Pablo dikawal dua orang sopir pribadi Anang. Ia tidak menyerahkan uang itu langsung kepada Nopriansyah, melainkan ke rumah mantan staf Nopriansyah sewaktu di Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkimtan), bernama Arman.
"Sebelumnya Nopriansyah memang bilang kalau uangnya sudah cair, antar ke tempat Arman," kata Pablo.
Selain fee untuk Nopriansyah, Pablo juga mengungkap adanya transfer uang ke rekening Anang dan anak buahnya, dengan total sekitar Rp1,4 miliar. "Pokoknya yang ditransfer ke Anang sekitar Rp1,4 miliar. Sisanya di rekening saya dan Dinda," tutupnya.
Sidang yang berlangsung di Museum Tekstil Palembang ini masih berlanjut, dengan Jaksa KPK RI akan disusul oleh kuasa hukum terdakwa dan majelis hakim untuk mengajukan pertanyaan.
Baca artikel menarik lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel