Berita Palembang
Honorer Non-Database Terancam Dirumahkan, Pemkot Palembang Kaji Skema Outsourcing
Sebagai opsi, Pemkot Palembang mempertimbangkan pengalihan para honorer ini menjadi tenaga alih daya atau outsourcing.
Husni mengatakan, kebijakan ini menciptakan dilema karena berupaya memperbaiki tata kelola kepegawaian, tetapi berisiko mengabaikan keadilan dan kesinambungan layanan publik. Ia menjelaskan, dampak jangka panjang kebijakan ini bisa dilihat dari tiga aspek.
Tiga Dampak Jangka Panjang Kebijakan
Layanan Publik: Hilangnya tenaga honorer berpengalaman secara mendadak akan menurunkan kualitas layanan di titik terdekat dengan masyarakat, seperti sekolah, puskesmas, dan kantor kelurahan.
Aspek Fiskal: Skema outsourcing tanpa standar yang jelas hanya akan memindahkan biaya, bukan menyelesaikannya. Hal ini juga berpotensi meningkatkan tingkat perpindahan karyawan (turnover), yang justru menambah biaya tersembunyi.
Legitimasi Kebijakan: Kebijakan yang "membisukan" masa kerja honorer non-database akan mengikis kepercayaan publik. Pekerja yang merasa dihapus dari sejarah pengabdiannya bisa mengalami erosi moral kerja.
Husni menegaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan juga tentang menjaga kualitas layanan publik dan berlaku adil terhadap para pekerja yang telah berkontribusi.
Baca juga: Kebijakan Honorer Diangkat Jadi PPPK Paruh Waktu Disebut Pengamat Kebijakan Publik Tak Profesional
Baca juga: Walikota Setujui 1.793 Tenaga Honorer di Lubuklinggau Diusulkan Menjadi PPPK Paruh Waktu
Solusi dan Saran untuk Pemerintah
Untuk mengatasi masalah ini, Husni menyarankan beberapa langkah konkret yang bisa diambil pemerintah:
Dalam 30 hari: Mengumumkan peta honorer secara transparan (siapa, di mana, berapa lama, dan dari mana dibiayai) agar publik bisa memahami logika di balik keputusan.
Dalam 3 bulan: Memaksimalkan alokasi PPPK Paruh Waktu untuk yang sudah terdata, sekaligus menetapkan moratorium Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mendadak untuk layanan esensial.
Jangka panjang: Mengaudit seluruh honorer, membuka kanal keberatan bagi yang memiliki bukti masa kerja, dan menerapkan transisi "hibrida" bagi yang belum terakomodasi, seperti outsourcing yang beretika, penempatan di BLUD/BUMD, serta menyediakan coaching clinic untuk persiapan seleksi berikutnya.
"Ukurannya sederhana, layanan publik tetap jalan, fiskal terkendali, dan pengabdian lama tidak dihapus satu klik. Itu barulah penataan, bukan sekadar pemindahan masalah," pungkas Husni.
Ahli kebijakan publik dari Universitas Sriwijaya (Unsri), Dr. Muhammad Husni Tamrin, menilai skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu berpotensi menimbulkan sejumlah masalah. Menurutnya, skema ini dapat menjadi "saringan berpori sempit" yang mengancam nasib para honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun, tetapi tidak tercatat dalam database BKN.
Husni mengatakan, kebijakan ini menciptakan dilema karena berupaya memperbaiki tata kelola kepegawaian, tetapi berisiko mengabaikan keadilan dan kesinambungan layanan publik. Ia menjelaskan, dampak jangka panjang kebijakan ini bisa dilihat dari tiga aspek.
Tiga Dampak Jangka Panjang Kebijakan
Herdianto Warga Palembang Hilang Saat Cari Kerja ke Muba, Cuma Bawa Uang Rp30 Ribu Saat Pergi |
![]() |
---|
Pegadaian Jadi Pelopor Bank Emas di Indonesia, Penjualan Melonjak Capai 3 Kali Lipat, ini Layanannya |
![]() |
---|
Viral Hasil Temuan LHP BPK di Bagian Protokol Setda Palembang, Inspektorat Sebut Sudah Diselesaikan |
![]() |
---|
Kebijakan Honorer Diangkat Jadi PPPK Paruh Waktu Disebut Pengamat Kebijakan Publik Tak Profesional |
![]() |
---|
Ratu Dewa Minta BKPSDM Cari Formulasi Bagi Honorer di Pemkot Palembang yang Tak Masuk Database BKN |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.