Kopi Sumsel
Asal Usul Tanaman Kopi Tumbuh di Lahat, Dibawa Kolonial Belanda Tahun 1911
Menjadi salah satu Kabupaten penghasil kopi di Sumatera Selatan, ternyata tanaman kopi di Lahat sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Penulis: Ehdi Amin | Editor: Shinta Dwi Anggraini
TRIBUNSUMSEL.COM, LAHAT -- Menjadi salah satu Kabupaten penghasil kopi di Sumatera Selatan, ternyata tanaman kopi di Lahat sudah ada sejak ratusan tahun lalu.
Berada di antara 3,25 derajat hingga 4,25 derajat LS dan 102,37 derajat hingga 103 derajat BT, dengan curah hujan yang tinggi berkisar antara 2.193 mm hingga 4.747 mm per tahun, membuat Kabupaten Lahat menjadi wilayah yang tepat untuk pertumbuhan tanaman kopi.
Selain itu, keberadaan tanah yang subur didominasi oleh jenis tanah latosol, litosol dan podzolik, yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis dari Gunung Dempo ini, rupanya ikut berdampak baik pada kualitas dan cita rasa kopi yang dihasilkan.
Dinas Perkebunan Kabupaten Lahat mencatat, tahun 1911 awal mula kopi masuk ke Lahat dibawa oleh Belanda, persisnya di di simpang padang karet Pagar Alam, yang dahulu masih wilayah Lahat.
Baca juga: Harga Kopi di OKU Kini Turun Rp 65 Perkilo, Petani Berharap Pemerintah Bisa Menetapkan Harga Standar
Awalnya hanya jenis Arabika, namun semuanya terserang penyakit karat daun.
Setelah diteliti rupanya, struktur tanah di Lahat lebih cocok untuk kopi jenis Robusta.
Berdasarkan data ATAP tahun 2023, dari 45.409 Kepala Keluarga petani kopi, ada 43.430 hektar tanaman kopi yang telah menghasilkan, ditambah 7.423 hektar tanaman kopi yang belum menghasilkan, dengan hasil produksi selama setahun sebanyak 23.195,8 ton.
Dari total itu, mayoritas merupakan kopi jenis rabusta.
Untuk kopi jenis Arabika, tercatat hanya ada sekitar 10 hektar. Meliputi 7 hektar di wilayah Desa Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, 3 hektar sisanya di Kecamatan Muara Payang.
"Karena wilayah kita mayoritas berada dibawah 1.000 MDPL, jadi cocok untuk jenis Robusta. Selain Robusta dan Arabika, ada satu jenis lagi yakni jenis Liberika, warga sering sebut kopi tupak, kopi nangke, tapi jenis ini tidak populer. Kopi jenis liberika biasanya jadi tanaman induk saja," terang Kepala Dinas Perkebunan Lahat, Vivi Anggraini SSTP, melalui Kabid Produksi, Okta Dinjaya, Selasa (15/4/2025).
Okta menambahkan, dari total produksi saat ini, hasil panen kopi di Lahat tergolong belum maksimal.
Beragam faktor jadi penyebabnya, mulai dari bibit, pemupukan dan perawatan.
Sedangkan untuk sambung pucuk, pemerintah daerah belum bisa salurkan program tersebut, ditambah masih kurangnya tenaga penyuluh, sehingga petani hanya bisa melakukannya secara mandiri.
"Hampir 70 persen petani kopi di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi-Pumu, sudah lakukan sambung pucuk. Karena itu hasil produksi paling tinggi berada di kecamatan itu. Rata-rata masih gunakan entres lokal," jelasnya.
Disinggung terkait tren pengelolaan, Okta menyebut, saat ini sudah ada peralihan trend dalam pengelolaan.
Sempat Anjlok, Harga Kopi di Pagar Alam Naik Lagi, Petani Sumringah Mulai Jual Hasil Simpanan Panen |
![]() |
---|
Sempat Turun Jauh, Harga Kopi di Empat Lawang Kini Naik Lagi Hingga Rp 55 Ribu Perkilo |
![]() |
---|
Harga Kopi di Empat Lawang Kini Perlahan Kembali Naik, Meski Masih di Bawah Rp 50 Ribu Perkilo |
![]() |
---|
Hasilkan 56 Ribu Ton Pertahun, Bursah Zarnubi Ingin Kopi Robusta Lahat Tembus Pasar Internasional |
![]() |
---|
Tingkatkan Daya Saing, Pemkab Lahat Gelar Bimtek Bagi Petani dan UMKM Kopi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.