OPINI
Amplifikasi Debat Pilkada di Era Media Sosial
Alih-alih memperdalam pemahaman pemilih terhadap calon, amplifikasi debat di media sosial justru bisa memunculkan distorsi, di mana potongan-potongan
Oleh: Dr. M.H. Thamrin
(Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsri)
TRIBUNSUMSEL.COM - Debat Pilkada menjadi salah satu momen penting dalam kampanye politik, tempat di mana calon kepala daerah diuji secara terbuka tentang visi, misi, dan kemampuan mereka dalam menghadapi isu-isu kritis.
Namun, di era media sosial, pesan-pesan dari debat sering kali tidak lagi diterima secara utuh.
Alih-alih memperdalam pemahaman pemilih terhadap calon, amplifikasi debat di media sosial justru bisa memunculkan distorsi, di mana potongan-potongan kecil dari debat lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan keseluruhan konteks.
Tapi apa sesungguhnya yang dimaksud dengan amplifikasi?
Amplifikasi, dalam konteks komunikasi, merujuk pada proses di mana pesan atau informasi diperkuat dan disebarluaskan ke khalayak yang lebih luas.
Proses ini sering terjadi melalui media sosial, di mana potongan pesan menjadi viral dan diperbincangkan secara luas.
Menurut Jenkins et al. (2013), amplifikasi adalah “proses peningkatan jangkauan pesan, baik melalui media massa tradisional maupun media digital, yang pada akhirnya memperkuat dampak pesan terhadap audiens yang lebih besar”.
Amplifikasi dapat memiliki dampak positif, seperti meningkatkan kesadaran terhadap isu tertentu, tetapi juga bisa menghasilkan distorsi, terutama ketika potongan pesan diambil di luar konteks dan disebarkan secara seletif (Jenkin et al., 2013)
Meskipun debat politik seharusnya membantu pemilih menilai kandidat secara lebih menyeluruh, amplifikasi media sosial dapat mengubah peran debat dari alat informasi menjadi sekadar tontonan yang sensational.
Media sosial memainkan peran ganda: di satu sisi memperluas jangkauan informasi, tetapi di sisi lain sering kali mempersempit pemahaman melalui pembingkaian (framing) yang tidak utuh.
Dalam Pilkada, amplifikasi debat sering kali terjadi di media sosial, di mana pernyataan calon yang kontroversial atau emosional menjadi viral, namun tanpa memperlihatkan keseluruhan konteks debat. Amplifikasi ini berisiko mempengaruhi persepsi pemilih, terutama jika pesan yang diperkuat tersebut tidak utuh.
Alih-alih memperdalam pemahaman pemilih terhadap calon, amplifikasi melalui potongan-potongan kecil sering kali membingkai ulang pernyataan calon dengan cara yang berbeda dari maksud aslinya.
Amplifikasi yang Tidak Utuh: Tantangan Debat di Era Digital ==========================
Media sosial telah mengubah cara kita mengkonsumsi konten politik, termasuk bagaimana debat Pilkada dipersepsikan.
Kendatipun media sosial memainkan peranan penting dalam menyebarkan konten debat, namun sering kali konten ini tidak diterima secara utuh oleh publik.
Algoritma media sosial mempromosikan konten yang mendapatkan banyak perhatian atau interaksi, yang sering kali berupa potongan video atau pernyataan singkat yang mengandung unsur kontroversial atau emosional.
Setiap pernyataan kontroversial atau momen emosional selama debat dengan cepat bisa dipotong, diberi konteks baru, lalu menyebar luas.
Ini menciptakan fenomena di mana pesan asli debat hilang atau berubah karena potongan konten yang diambil di luar konteks lebih menarik perhatian pengguna.
Hal ini menciptakan fenomena di mana potongan-potongan debat yang keluar dari konteks lebih cepat viral dibandingkan diskusi yang lebih mendalam tentang kebijakan calon.
Penelitian dari Chadwick dan Vaccari (2019) menunjukkan bahwa media sosial berpotensi memperkuat konten yang provokatif atau emosional, dibandingkan dengan konten yang lebih mendalam tentang kebijakan calon.
Konten yang mendapatkan perhatian lebih besar bukanlah keseluruhan visi calon, tetapi sering kali hanya potongan-potongan kecil yang yang diambil secara selektif untuk menggiring opini.
Hal ini sejalan dengan temuan Kreiss dan Mc Gregor (2018) yang menekankan bahwa teknologi digital mempercepat penyebaran potongan konten, yang pada akhirnya dapat membentuk narasi yang berbeda dengan maksud asli.
Mereka berargumen bahwa potongan kecil dari pernyataan politik sering kali menjadi bahan bakar bagi kampanye negatif, di mana lawan politik menggunakan potongan-potongan tersebut untuk menyerang kredibilitas calon.
Dalam konteks ini, amplifikasi media sosial menjadi alat yang sangat kuat, namun juga berisiko jika tidak digunakan secara hati-hati (Kreiss & McGregor, 2018).
Dampak Amplifikasi =================================
Amplifikasi debat di media sosial juga berdampak langsung pada bagaimana pemilih memahami calon kepala daerah.
Sebuah studi menyoroti bahwa framing ulang dari potongan debat bisa menyesatkan pemilih, terutama jika mereka hanya terpapar pada potongan yang viral di media sosial tanpa melihat keseluruhan konteks debat.
Konten yang dipotong dan dibingkai ulang sering kali digunakan untuk memanipulasi opini publik, baik secara disengaja maupun tidak.
Inilah tantangan bagi pemilih yang mungkin tidak memiliki akses atau waktu untuk mengikuti debat secara utuh.
Pemilih lebih mungkin membentuk opini berdasarkan potongan konten yang mereka lihat di media sosial, yang bisa jadi hanya sebagian kecil dari diskusi yang lebih kompleks dan bermakna.
Bagi para calon, amplifikasi yang tidak utuh menjadi tantangan serius juga.
Potongan debat yang dipublikasikan di media sosial dapat dipelintir atau dipotong untuk membingkai calon secara negatif.
Di tengah tantangan ini, para calon harus merespons dengan strategi komunikasi yang lebih matang.
Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah dengan mengelola narasi pasca debat dengan cermat, memastikan bahwa pesan-pesan utama tetap menonjol dan tidak hilang dalam amplifikasi yang manipulatif.
Kampanye modern membutuhkan pengelolaan narasi lintas platform.
Tim kempanye perlu memahami dinamika penyebaran informasi di berbagai platform digital dan harus mampu mengelola dampak dari amplifikasi yang tidak terkontrol.
Akhirnya, kita dapat simpulkan bahwa amplifikasi debat di media sosial adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dalam kampanye politik modern.
Meskipun memberikan peluang untuk memperluas jangkauan informasi, amplifikasi yang tidak utuh dapat menciptakan narasi yang bias atau manipulatif.
Para calon perlu merancang strategi komunikasi yang responsif untuk menjaga agar pesan dari debat tetap utuh dan akurat.
Di sisi lain, pemilih juga perlu lebih waspada dalam menerima informasi yang tersebar di media sosial.
Untuk itu, pemilih juga perlu lebih berhati-hati dalam menerima potongan-potongan konten debat yang tersebar di media sosial.
Keterlibatan pemilih dalam mencari informasi yang utuh sangat penting untuk memastikan bahwa mereka membuat keputusan yang benar-benar berdasarkan pada informasi yang akurat dan kontekstual. (*)
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Tanaman Obat |
![]() |
---|
Kenapa Selai Bisa Kental? Jawabannya Ada di Pektin! |
![]() |
---|
Program Kemitraan Masyarakat Pendampingan Pemasaran Digital&Laporan Keuangan Kuliner RantingAisyiyah |
![]() |
---|
Media Sosial dalam Pilkada 2024: Dialog Terbuka atau Polarisasi? |
![]() |
---|
Santri Elemen Penting dalam Membangun Kemajuan Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.