Guru Ponpes Rudapaksa Santriwati

Mengintip Lokasi yang jadi Saksi Bisu Kelakuan HW, Disebut 'Rumah Hantu', Anak-anak Takut Main Bola

Kondisi terkini pesantren Madani Boarding School pasca-Herry Wirawan jadi tersangka kasus asusila ke 12 santriwati.

Editor: Weni Wahyuny
Istimewa dan Tribunjabar.id/Cipta Permana
Pelaku Rudapaksa Santriwati Herry Wirawan dan lokasi tempat Herry melakukan ulah bejatnya 

Kondisi lapangan itu pun dibasahi oleh genangan air dan di rumput liar.

Tepat di depan lapangan, akan dijumpai dua buah bangunan bertingkat yang terpisahkan oleh jalur tangga menuju lantai dua.

Di bangunan itu, terdapat beberapa ruangan, lengkap dengan daun pintu bercat cokelat serta daun jendela bercat putih, yang diduga dimanfaatkan sebagai ruangan kelas atau asrama bagi warga sekolah tersebut.

Salah seorang warga sekitar, Mawar (40) mengatakan, sejak kasus rudapaksa terhadap para santriwati terungkap, dan pelaku tindak pidana kekerasan seksual ditahan pihak kepolisian sekitar delapan bulan lalu.

Aktivitas kegiatan dari Madani Boarding School seolah lenyap dari hiruk-pikuk aktivitas masyarakat di sekitarnya.

"Kalau dulu sebelum kasus itu terungkap dan sekolah ini belum ditutup, warga disini masih suka mendengar ada aktivitas di dalam sana, seperti pengajian dan marawisan. Tapi sejak pelaku di tangkap polisi dan para santri di pulangkan ke daerahnya masing-masing, disini sepi aja kayak sekarang ini," ujarnya saat ditemui di depan Madani Boarding School, Selasa (14/12/2021).

Karena tidak ada aktivitas apapun, dan aliran listrik yang diputus oleh pihak PLN, maka beberapa warga sekitar menyebutnya sebagai bangunan angker.

Bahkan, tidak sedikit, warga yang memilih menempuh jalan memutar menuju rumahnya agar tidak melewati sekolah tersebut.

"Malahan kalau malam hari suasananya lebih kerasa seperti rumah hantu. Malahan anak-anak kecil di sini juga, yang biasanya suka main bola di lapangan samping Masjid Al-Arief atau di seberang depan sekolah itu (Madani Boarding School), sekarang mulai jarang, katanya takut," ucapnya.

Mawar mengaku, Ia dan warga sekitar tidak pernah menduga dan menaruh curiga apapun, bahwa sekolah yang disebut sebagai pesantren itu merupakan saksi bisu dari praktek tindak kekerasan seksual yang dilakukan pelaku terhadap para santriwati di dalamnya.

Sebab menurutnya, meskipun berada di tengah permukiman penduduk, namun aktivitas dan sosialisasi dari pelaku dan para korban pun sangat tertutup dari warga sekitar.

Bahkan, Ia melihat para santri yang keluar hanya untuk membeli sesuatu di warung terdekat.

"Mereka itu sangat tertutup, baik itu aktivitasnya atau juga komunikasinya dengan warga sekitar. Makanya, kalau pun mereka (santriwati) keluar cuma beli apa gitu ke warung terus balik lagi, engga pernah ngobrol atau apa gitu, pokoknya jalannya nunduk terus, kayaknya orang yang ada masalah, kelihatannya murung gitu," ujarnya.

Selain itu, yang membuat warga semakin miris adalah, para santriwati, beberapa kali terlihat tengah melakukan pekerjaan seperti pekerja proyek bangunan, yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.

"Pernah kita juga lihat anak-anak itu kok lagi ngangkutin bata dari bak mobil material yang datang, terus lagi ngaduk semen, ngecat tembok dan kegiatan lainnya yang seperti pekerja bangunan lah, yang harusnya itu semua dikerjakan laki-laki. Kita mau bantu juga bingung, soalnya kalau ditanya juga banyaknya diem aja, engga pernah ngobrol atau apa gitu, jadi cuma bisa kasihan aja lihatnya, soalnya," ucapnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved