Guru Ponpes Rudapaksa Santriwati

Santriwati Korban Asusila Dijanjikan jadi Polwan oleh Oknum Guru Ponpes, Kronologi Kasus Terungkap

Kasus oknum guru pondok pesantren di Bandung jadi sorotan publik. Pelaku bahkan menjanjikan santriwati jadi Polwan

Editor: Weni Wahyuny
Foto: Ist/Tribunjabar
HW, guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya menjanjikan para korban jadi Polwan 

TRIBUNSUMSEL.COM - Kasus oknum guru pondok pesantren di Bandung jadi sorotan publik.

12 santriwati jadi korban asusila sang guru inisial HW (55).

Aksi HW, ternyata suda berlangsung sejak tahun 2016 hingga 2021.

Tak hanya mendapatkan kekerasan seksual, para korban bahkan hamil hingga sudah ada yang melahirkan.

Untuk melancarkan aksi bejatnya, HW mengumbar beragam janji ke para santriwati.

Termasuk dijanjikan akan menjadikan korban seorang polisi wanita.

Dilansir Tribun Jabar, iming-iming tersebut tercantum juga dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.

"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan, Rabu.

Selain menjadi polisi wanita, pelaku menjanjikan kepada korbannya untuk menjadi pengurus pesantren.

Herry juga menjanjikan kepada korban akan dibiayai kuliah..

"Terdakwa menjanjikan anak akan dibiayai sampai kuliah," ujarnya.

Baca juga: Oknum Guru Lakukan Asusila ke Belasan Santriwati hingga Hamil Gunakan Uang Bantuan untuk Sewa Hotel

TribunJabar.id merangkum beberapa fakta tentang aksi bejat guru pesantren tersebut sebagai berikut.

1. Pertama kali terungkap

Perilaku bejat HW, guru mengaji yang merudapaksa belasan santriwati, pertama kali diketahui oleh keluarga korban yang melihat anaknya tengah mengandung.

Keluarga korban itu kemudian melaporkan hal tersebut kepada kepala desa, lalu ke Polda Jabar.

"Ini kebongkarnya oleh seorang ibu yang anaknya di sana, yang melihat ada perubahan dalam tubuhnya lalu melaporkan ke kepala desa," ungkap Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Diah Kurniasari.

AN (34), salah satu keluarga korban yang berasal dari Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, mengungkapkan modus bejat pelaku.

Ia menuturkan, pihak keluarga tidak pernah mengetahui korban tengah dalam masalah lantaran setiap kali korban pulang ke rumah tidak pernah berkomunikasi karena korban tertutup.

Baca juga: Santriwati Tutup Telinga hingga Histeris saat Mendengar Suara Oknum Guru Pelaku Asusila di Speaker

Pelaku pun kerap memaksa korban untuk segera kembali ke pondok pesantren jika sedang pulang ke rumah.

"Anak gak pernah lama di rumah, lebih dari tiga atau lima hari si pelaku Herry langsung nelpon, dia nyuruh kembali ke pondok," ujar Diah saat diwawancarai Tribunjabar.id, Kamis (9/12/2021).

Pelaku diketahui tinggal seorang diri di dalam pesantren tersebut, sementara pengajar lainnya tinggal di rumah masing-masing.

AN menjelaskan, pihak keluarga pun pernah bertanya-tanya dengan aturan ketat yang diberlakukan pesantren milik pelaku.

"Kenapa sih kok ketat banget, tapi ya saat itu tidak berburuk sangka, ketat mungkin aturan yang udah diberlakukan oleh pihak pesantren," ucapnya.

Baca juga: FAKTA Sosok Oknum Guru Berbuat Asusila ke 12 Santriwati, Bukan Pengurus Forum Pondok Pesantren

Menurutnya, keluarga memilih pesantren tersebut lantaran menawarkan pendidikan gratis.

Tawaran pendidikan gratis tersebut tanpa pikir panjang dipilih lantaran keluarga korban tidak cukup mampu untuk menyekolahkan anaknya.

"Sekolahnya gratis itu, kami pilih pesantren tersebut karena ekonomi kami menengah ke bawah," ungkap AN.(*)

2. Bayi hasil tindakan bejat pelaku diasuh orang tua korban

Diah Kurniasari mengatakan 8 dari 11 santriwati yang menjadi korban rudakpaksa tersebut semuanya telah melahirkan.

"Selama enam bulan ini semuanya sudah lahir, tadi saya lihat di TV masih disebutkan dua korban masih hamil. Tidak, sekarang semua sudah dilahirkan," ujarnya saat menggelar jumpa pers di Kantor P2TP2A Kabupaten Garut, Kamis (9/12/2021) malam.

Ia menuturkan, saat ini semua bayi tersebut sudah dibawa oleh orang tua korban.

Adapun korban saat ini masih menjalani trauma healing di rumah aman P2TP2A.

"Bayinya semuanya sudah ada di ibu korban masing-masing," ucapnya.

Trauma healing yang dilakukan P2TP2A tidak hanya dilakukan kepada korban rudakpaksa, namun juga diberikan kepada orangtua korban.

Diah menjelaskan, sejak awal pihaknya sudah mempersiapkan korban untuk siap jika suatu saat masalah mereka terkuak ke publik.

"Kondisi korban saat ini Insya Allah sudah lebih kuat, kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan mereka selama ini untuk siap mengahadapi media," ucapnya.

Korban, menurutnya, masih terikat persaudaraan dengan korban lainnya karena sebelumnya saling ajak untuk bersekolah di pesantren tersebut.

Rata-rata umur korban berusia 13 hingga 15 tahun.

3. Diduga Pakai Dana Bantuan Pemerintah untuk Sewa Hotel

Sementara itu, di balik aksi bejatnya, Herry Wirawan melakukan tindakan tak benar lainnya.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Asep N Mulyana, mengatakan Herry Wirawan diduga memakai dana bantuan dari pemerintah untuk kepentingannya pribadi.

Seperti menyewa apartemen, hotel dan sebagainya.

Dugaan itu ditemukan berdasarkan hasil penyelidikan tim intelijen selaku pengumpul data dan keterangan di lapangan.

"Upaya ini membuat para korban merasa yakin, bahwa yang bersangkutan berkemampuan (dari segi ekonomi)," ucap Asep dalam konferensi persnya, Kamis (9/12/2021)

Karena itu, ancaman hukuman berat akan menanti HW.

Asep menilai tindakan yang dilakukan HW, bukan soal asusila saja, namun juga tindakan kejahatan kemanusiaan.

Kajati Jabar itu pun mengatakan, pihaknya akan terus memantau perkembangan terkait perkara tersebut hingga selesainya masa persidangan.

4. Lakukan Aksinya di Berbagai Tempat

Sementara itu, Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Jabar, Dodi Gazali Emil juga menjelaskan sosok HW dalam melakukan aksi bejat.

Dikatakannya, HW merudapaksa korbanya tidak di satu tempat saja.

"Perbuatan terdakwa Herry Wirawan dilakukan di berbagai tempat," ujarnya saat dihubungi Tribun Jabar, Rabu (8/12/2021).

Dalam berita acara yang didapatkan Tribun Jabar, pelaku melakukan aksi bejatnya mulai dari di Yayasan KS, Yayasan Pesantren TM.

Kemudian, Pesantren MH, basecamp terdakwa, apartemen TS, dan beberapa hotel di Kota Bandung.

Dari perbuatan keji pelaku, 4 dari 12 korban hamil hingga melahirkan 8 bayi.

Kini, bertambah satu bayi ketika dalam proses pengadilan.

5. Izin operasional pesantren dicabut

Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bandung telah mengambil langkah strategis untuk menangani kasus rudapaksa yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Kota Bandung.

Mulai dari permohonan pembekuan operasional lembaga sampai memastikan keberlansungan pendidikan para korban.

Saat ini, Kemenag RI telah mencabut izin pondok pesantren tersebut.

Kepala Kemenag Kota Bandung, Tedi Ahmad Junaedi menuturkan, sejak kasus ini terkuak Juni lalu, pihaknya langsung berkoordinasi dengan Kantor Wilayah Kemenag Jawa Barat untuk meninjau ulang operasional lembaga pendidikan tempat HW alias Herry Wirawan, guru rudapaksa santri tersebut mengajar.

"Saat ini sedang proses pencabutan izinnya. Karena yang berwenang mencabut izin yaitu Kemenag RI," ujar Tedi, Kamis (9/12/2021).

Tedi menuturkan, Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) yang diselenggarakan oleh yayasan pondok pesantren tersebut hanya mendapatkan izin untuk di Antapani.

Sedangkan pesantren yang berlokasi di Cibiru berdiri tanpa izin Kemenag.

"Ketika lokasinya berbeda harus ada izin terpisah, yaitu izin cabang. Pelaku belum urus izin cabang di Cibiru, yang katanya boarding school. Sebelumnya kita tidak mengetahui pendirian cabang di Cibiru," ujarnya.

Selain mengajukan pembekuan lembaga, Tedi juga langsung bergerak cepat menangani keberlanjutan proses pendidikan para santriwati yang terdata di lembaga tersebut. Tujuannya agar bisa segera memindahkan ke lembaga pendidikan lain.

Kendati dari perkembangan kasus yang menjadi korban sebanyak 12 orang, namun Tedi memilih seluruh santriwati yang ada di lembaga pendidikan tersebut untuk dipindahkan.

Total sebanyak 35 orang santriwati yang terdaftar, semuanya difasilitasi.

"Kita rapat dengan provinsi dan seluruh pokja PKPPS berkoordinasi siapa yang akan menampung 35 anak."

"Namun keputusannya tetap itu tergantung kepada anak. Sebagian besar anak mau ke sekolah formal," terangnya.

Menurut Tedy, saat rapat dengan DP3A Jawa Barat dan Polda Jabar, Kemenag ikut pendampingan terhadap kasus tersebut secara proporsional.

"Kasus kriminalnya ditangani oleh Polda Jabar, psikologi anak oleh Dinas DP3A, dan Kemenag membina dan menangani kelembagaan serta kelanjutan pendidikan anak-anak tersebut," jelasnya. (*)

Baca berita lainnya di Google News

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul FAKTA-FAKTA Guru Rudapaksa 12 Santriwati, Pelaku Janji Sekolahkan Korban hingga Jadi Polisi Wanita

Sumber: Tribun Jabar
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved