Guru Ponpes Rudapaksa Santriwati

Nasib Pondok Pesantren Diasuh Oknum Guru yang Rudapaksa 12 Santriwati, Izin Operasional Dicabut

Izin operasional Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung, resmi dicabut Kementerian Agama. Tak hanya itu, Pesantren Tahfidz Quran Almadani ya

Editor: Weni Wahyuny
Foto: Ist/Tribunjabar
HW guru pesantren di Bandung yang merudapaksa 12 santriwatinya hingga melahirkan. Ponpes tempat ia pimpin dicabut izin operasional 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Nasib Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung, usai kasus oknum guru, HW, rudapaksa 12 santriwati mencuat.

Izin operasional Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung, resmi dicabut Kementerian Agama.

Tak hanya itu, Pesantren Tahfidz Quran Almadani yang juga diasuh oknum guru juga ditutup.

Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani mengatakan, pemerkosaan adalah tindakan kriminal.

Kemenag mendukung langkah hukum yang telah diambil kepolisian.

Sebagai regulator, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang melakukan pelanggaran berat seperti ini.

"Kita telah mengambil langkah administratif, mencabut izin operasional pesantren tersebut," kata Ali Ramdhani melalui keterangan tertulis, Jumat (10/12/2021).

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono mengungkapkan, pihaknya sejak awal telah mengawal kasus ini.

Kemenag berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jawa Barat.

Langkah pertama yang sudah diambil adalah menutup dan menghentikan kegiatan belajar mengajar di lembaga pesantren tersebut.

"Kemenag langsung memulangkan seluruh santri ke daerah asal masing-masing dan membantu mereka mendapatkan sekolah lain untuk melanjutkan belajarnya," kata Waryono.

Baca juga: Nelangsa Orang Tua Korban Asusila Oknum Guru Ponpes, Ada Bapak Tiba-tiba Disodorkan Bayi Anaknya

Dalam hal ini, Kemenag bersinergi dengan madrasah-madrasah di lingkup Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama.

Dihimpun Tribunnews.com, berikut kisah pilu para orangtua korban mengetahui anaknya menjadi korban rudapaksa guru pesantren:

Baca juga: TERUNGKAP Santriwati Korban Asusila Oknum Guru Dijadikan Kuli, Bayinya jadi Alat Minta Bantuan

Orangtua korban berat terima kenyataan

Dikutip dari Kompas.com, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan menceritakan bagaimana berkecamuknya perasaan para orangtua korban.

Dari belasan korban rudapaksa guru pesantren tersebut, 11 di antaranya dari Garut, Jawa Barat.

Mereka masih ada pertalian saudara serta bertetangga.

Diah sendiri menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya yang sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dirudapaksa guru ngajinya.

"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya. Enggak, semuanya nangis," kata Diah.

Peristiwa pilu itu terjadi saat Diah mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung.

Baca juga: Santriwati Korban Asusila Dijanjikan jadi Polwan oleh Oknum Guru Ponpes, Kronologi Kasus Terungkap

Kondisi yang sama, kata Diah, juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban rudapaksa guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya.

Dijelaskan Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anak dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.

"Di kecematan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," ungkapnya.

Baca juga: Oknum Guru Lakukan Asusila ke Belasan Santriwati hingga Hamil Gunakan Uang Bantuan untuk Sewa Hotel

Kasus ini, menurut Diah, sangat-sangat menguras emosi semua pihak.

Apalagi, saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.

"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan."

"Kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," terangnya.

Kisah orangtua yang anaknya lahirkan dua bayi dari rudapaksa Herry Wirawan

Begitu juga dengan orangtua korban yang anaknya memiliki dua bayi dari guru ngajinya tersebut.

Menurut Diah, anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua.

"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat."

"Ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," terang Diah.

Baca juga: Santriwati Tutup Telinga hingga Histeris saat Mendengar Suara Oknum Guru Pelaku Asusila di Speaker

Korban histeris di persidangan

Masih dari Kompas.com, salah seorang korban rudapaksa berteriak histeris dan menutup telinganya saat mendengar suara pelaku.

Peristiwa itu terjadi saat persidangan tertutup yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung beberapa waktu lalu.

Kondisi korban itu diceritakan langsung oleh Jaksa Kejari Bandung, Agus Mudjoko.

"Iya pasti (trauma), waktu (suara terdakwa) diperdengarkan (melalui) speaker, si korban tutup telinga sambil menjerit."

"Sampai tak tahan lagi dengar suaranya (terdakwa). Enggak tahan saya lihat kepedihannya, nangis," kata Agus di Kantor Kejati Jabar, Jalan Naripan, Kota Bandung, Rabu (8/12/2021).

Ia juga bercerita salah satu korban memberanikan diri hadir dalam persidangan.

Padahal, ia dalam kondisi lemas karena baru melahirkan tiga minggu yang lalu.

Sebagi penegak hukum dan seorang ayah, Agus mengaku tak tahan melihat kepedihan yang dirasakan para korban saat persidangan.

"Ada korban baru melahirkan tiga minggu ya, dalam kondisi lunglai masih berani menghadap persidangan dengan didampingi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)."

"Itu miris hari kami, karena sama-sama memiliki anak perempuan, apalagi ini diperlakukan berulang kali, mau pulang jauh, di situ tak ada yang menolong istilahnya," bebernya.

Korban menderita sangat panjang

Wartawan TribunJabar.id di Garut berkesempatan untuk mewawancarai salah satu keluarga korban rudapaksa itu.

Kakak salah satu korban, AN (34) terlihat menyimpan amarah terhadap pelaku, hal itu terlihat dari raut wajahnya.

Rupanya, keluarga korban sudah enam bulan berjuang agar pelaku bisa mendapatkan hukuman setimpal.

AN bertanya-tanya, mengapa baru sekarang kasus tersebut ramai.

"Enam bulan saya berjuang, enam bulan itu lama. Korban sudah menderita panjang."

"Kenapa baru sekarang pas mau vonisan baru ramai? Saya minta keadilan seadil-adilnya," tegasnya saat diwawancara, Kamis (9/12/2021).

Selama enam bulan terakhir ini, ia sulit mendapatkan informasi mengenai proses hukum yang berjalan.

Dia yang merupakan warga Garut mengaku tak memiliki kenalan di Bandung, yang bisa memberikan informasi mengenai kasus tersebut.

"Mau nanya soal proses hukum ke siapa, saya tidak pernah tahu perkembangan terkini," ungkapnya.

Setelah kasus ini viral, AN tak memungkiri ia juga bersyukur.

Pasalnya, dengan viralnya kasus ini, semua pihak bisa ikut memantau.

"Biar semua ikut memantau, biar hukum diteggakan seadil-adilnya," tandasnya.

Baca berita lainnya di Google News

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Kemenag Cabut Izin Operasional Pesantren Manarul Huda Antapani Bandung

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved