Wawancara Khusus Ketua IDI Palembang: Prokes Seperti Hanya di Atas Kertas Saja

Ada empat Kabupaten/Kota di Sumsel yang memberlakukan PPKM level 4 yaitu Palembang, Lubuklinggau, Musi Banyuasin (Muba) dan Musi Rawas. 

Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Prawira Maulana
TRIBUNSUMSEL.COM/MARIA AP
DR dr H Zulkhair SpPD K-GH FINASIM 

Tadi saya juga mengahadiri diskusi FGD ada Kapolda, asisten, dan lain-lain. Bahwa kalau diibaratkan dengan lari maka lari maraton kita ini tidak jelas kapan ujungnya. Bukan lari sprint atau lari cepat, artinya ini lari jangka panjang. Otomasi perjuangan jangka panjang. Maka kalau disaat PPKM pengetatan bisa menurunkan kasus, disaat kita melonggarkan kasus maka kasus akan naik lagi. Apalagi kalau PPKM pengetatan saja angka kasus Covid19 semakin tinggi, kalau dikendorkan maka kasusnya akan terus meningkat.

Menariknya sekarang ada istilah level 4, yang disetarakan dengan PPKM darurat seperti di Jawa dan Bali. Artinya kita harus semakin mengetatkan ikat pinggang, dibandingkan dengan PPKM yang kemarin. Walupun memang dibeberapa kriteria ada kelonggaran, tapi itu tidak lain karena Pemerintah mempertimbangkan masalah ekonomi masyarakat.

Anda menganalogikan kondisi ini seperti permainan sepak bola? 

Ya betul.

Artinya strategi apa yang harus dilakukan supaya kasus Covid19 tidak menanjak terus?

Sebenarnya sudah banyak yang dilakukan pemerintah baik pusat, dan daerah yang menghabiskan biaya cukup tinggi. Baik dari APBD maupun APBN dan sumbangan masyarakat juga tidak kalah banyaknya. Bahkan akhir-akhir ini ada yang sumbangan cukup tinggi.

Namun kunci permasalahan kita ini bukan Pemerintah saja, dimisalkan kuncinya Pemerintah maka gemboknya masyarakat. Jadi bagaimana baiknya kunci kalau gemboknya tidak kuat maka akan tetap bisa masuk. Maka saran saya, mari kita ajak masyarakat untuk melakukan hal sederhana tapi sulit dilakukan. Contohnya menerapkan protokol kesehatan (Prokes), itu seperti di atas kertas saja tapi masih banyak yang belum tahu Prokes yang baik dan benar.

Misal saya lihat di jalan di lorong-lorong kecil kisaran 70 persen masyarakat tidak pakai masker, padahal disitu banyak pedagang-pedagang. Maka kalau pedangnya nggak pakai masker dan yang datang juga nggak pakai masker  akan terjadi klaster di daerah tersebut. Padahal itu didalam kota, belum lagi di daerah-daerah.

Kita tidak tahu apa masalahnya, namun sepertinya masyarakat terlihat enggan melakukan Prokes. Jadi letak permasalahannya ya disitu. Sebetulnya silakan saja mau buka warung, jadi ojek online dan lain-lain, asal Prokesnya dijalankan maka aman. Kalau berdiam diri di rumah saja ekonomi juga akan sulit.

Apakah karena kelonggaran itu, sehingga masyarakat berpikir ya nggak apa?

Mungkin di sinilah letak permasalahannya juga. Di satu sisi kita tidak ingin menakut-nakuti masyarakat, kalau masyarakat stres imunnya bisa turun tapi di lain sisi kita juga tidak mau membuat masyarakat tidak tahu apa masalahnya. Maka kita ingin kan yang tepat.

Saya misalkan di bawah rumah ada macan dan siap mengigit maka tentu akan aman kalau berada di atas. Tapi kita juga tidak boleh bilang bahwa macan tidak ada, sehingga kita bisa bebas keluar. Maka kita harus jelaskan, di bawah ada macan selama kita berada di atas InsAllah akan aman tapi kalau turun akan ditangkap macam.

Mendudukkan proporsi yang sebenarnya itulah yang tidak mudah menjelaskan ke masyarakat yang heterogen ini. Sehari-haripun nggak usah jauh-jauh, di sekitar kita banyak yang makan bersama-sama, merokok ramai-ramai dan lain-lain. Nanti kalau sudah sakit baru minta carikan rumah sakit dan lain-lain. 

Ada contoh lainnya lagi, bagaimana kalau hari ini pesawat Airbus jatuh apa yang kita rasakan sedih dan prihatin kan. Bagaimana kalau yang jatuh sampai 10. Nah itulah yang terjadi di Indonesia, seperti kematian yang banyak. Maka gambaran-gambaran seperti itu perlu dijelaskan. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved