Penipuan Arisan Online di Palembang
Melihat Rumah Bandar Arisan Online Bawa Lari Uang Miliaran di Palembang, di Atas Rawa Berpagar Seng
Sebanyak 62 orang korban penipuan Arisan online 'Amanah Palembang' melaporkan penipuan yang dialami mereka ke SPK Polresta Palembang
Penulis: Shinta Dwi Anggraini | Editor: Prawira Maulana
Bocah polos itu pun menurut dan tidak jadi duduk.
Saat sang anak lelah, Keni mulai menggendongnya agar tidak uring-uringan.
Hanya lulus sekolah menengah pertama membuat Keni terpaksa bekerja menjual buku milik tetangga.
Wanita berusia 21 tahun ini berharap mendapat untung dari buku yang dijualnya.
Tegar setiap hari diajaknya bukan demi mengharap belas kasih orang tapi karena tidak ada yang menjaganya di rumah.
Ibunya (nenek Tegar) juga berjualan buku di bawah Jembatan Ampera.
Keni setiap hari berjualan buku berpindah-pindah.
Kadang di kawasan simpang Polda, kampus dan seputaran PS, Demang lebar daun, Ramayana hingga pusat keramaian lainnya.
Sementara sang suami pergi bekerja ke Aceh dan tidak pernah pulang lagi sejak anaknya masih berusia enam bulan.
Sejak saat itu warga Kedukan 35 Ilir ini menjadi tulang punggung keluarga.
"Bukunya punya tetangga ambil barang dulu, pulang sore atau malam baru setor hasilnya. Sisa harga awal buku itulah upah saya," ujarnya.
Harga satu buku dikatakan Keni rata-rata Rp 15 ribu lalu dijualnya Rp 20-25 ribu.
Itupun tetap ada yang menawar seharga modal buku itu.
Tapi ada pula yang membeli dan melebihkan dari harga yang disebutnya.
Setiap hari setidaknya dia harus bisa menjual minimal empat buku agar bisa membawa pulang uang.
Kalau tidak maka hanya penat yang dia bawa pulang bersama anaknya.
Meski susah dan terpaksa bekerja seharian, Keni enggan menegemis dan meminta belaskasihan orang lain.
Menurutnya rezeki itu selalu ada jalannya asalkan mau berusaha dan berdoa.
Dia juga bersyukur anaknya tidak rewel saat diajak menjajakan buku. Sehingga bisa tetap berjualan.
Dibalik kisahnya menjajakan buku ternyata ada pula kisah lainnya yang tidak kalah pilu sehingga menyeret namanya hingga berurusan dengan polisi.
Beberapa waktu lalu saat dia menjajakan buku di sekitar SPBU Demang Lebar daun persisnya di dekat halte bus Transmusi, tiba-tiba ada wanita menghampirinya.
wanita itu menawarkan akan ada bantuan dari pemerintah jika dia bersedia KTPnya di foto dan membuat rekening bank.
Diiming-imingi janji akan mendapat bantuan Rp 250 ribu setiap bulan, beras dan sejumlah sembako lainnya membuat Keni menyetujui tawaran itu.
Keesokan harinya, Keni bersama wanita itu membuka rekening tabungan pada salah satu bank di kawasan Jalan Letkol Iskandar.
Setelah selesai membuka rekening, tabungan beserta ATMnya diambil wanita itu dengan alasan nanti akan diberikan ke rumah dan akan diinfokan kalau bantuannya sudah dicairkan pemerintah.
Tidak paham soal perbankan membuat Keni percaya dengan janji wanita tersebut.
Ia saat itu yakin jika niat orang tersebut memang ingin membantunya.
Tapi nyatanya pasca memberikan uang Rp 200 ribu, wanita tersebut tidak pernah muncul juga tidak pernah menghubunginya lagi.
Keni semakin terkejut mana kala dia diberi tahu tetangga jika foto KTP miliknya tertera di laman Facebook seseorang yang berisikan posting caci maki dan mengatakan Keni sudah melakukan penipuan arisan online.
Tidak sampai di situ saja, Keni juga dilaporkan ke polisi hingga diperiksa karena memang benar rekening yang pernah dibuatnya menjadi rekening tujuan transfer korban penipuan arisan online.
"Satu bulan saya bolak-balik ke kantor polisi mengurus masalah tersebut, bahkan banyak ibu-ibu korban arisan menagih uang mereka ke rumah,"
"Tapi saya cuma bisa jelaskan kalau saya tidak melakukan penipuan dan rekening tersebut dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab," ceritanya.
Keni juga ikut pusing karena tidak bisa berjualan, bahkan ibunya sampai sakit karena khawatir memikirkannya bisa jadi pesakitan karena rekening yang pernah dibuat disalahgunakan orang lain.
Bahkan korban penipuan arisan online bukan hanya dari Palembang saja tapi juga Lampung sehingga Keni disarankan memenuhi panggilan polisi di Lampung juga.
"Alhamdulilah polisi yang memeriksa saya saat BAP kenal dan mengatakan sering melihat saja berjualan di jalan sehingga tidak mungkin menipu."
"Lalu saya juga disarankan membuat laporan bahwa benar rekening, alamat, juga memori telpon yang digunakan untuk melakukan penipuan itu miliknya tapi bukan dia mengoperasikannya," jelasnya.
Berkaca dari pengalaman itu Keni lebih waspada saat ada orang yang bertanya detail padanya selain soal buku. Dia enggan kasus serupa kembali menimpanya.