Jokowi - Tak Ingin Peringatan Sumpah Pemuda Kaku dan Formal, Begini Penampakan Istana Bogor
Terdapat panggung kecil yang berdiri di depan halaman istana. Beberapa musisi ikut mengisi acara di antaranya Barasuara dan Rizky Febian.
Dia sekolah di Yogyakarta dan menikah dengan Sri Sundari, putri bangsawan Solo, pada tahun 1937.
Dia mengarang buku macam-macam, campuran antara fakta dan fiksi, termasuk 6000 Tahun Sang Merah-Putih maupun sandiwara Gadjah Mada serta Ken Arok dan Ken Dedes.
Celakanya, Yamin juga jadi Menteri Pendidikan pada awal tahun 1950-an. Dia bikin macam-macam pembenaran soal ”Sejarah Nasional”.
Cerita-cerita fiksi ini lantas masuk dalam pelajaran sekolah. Bayangkan 6.000 tahun. Artinya, Indonesia lebih tua dari kebudayaan Mesir.

Dalam buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman, menulis bahwa salah satu orang yang banyak menciptakan ”sejarah yang bercorak Nasional” alias propaganda adalah Moehammad Yamin.
Muhammad Yamin tak ubahnya Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi, yang pernah
mengatakan, ”Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja”. [1942]
Benedict Anderson dalam buku klasik Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944-1946 menulis bahwa tak ada satu orang pun yang bisa mengontrol Yamin.
Orang ini keras kepala, sembarangan, menjengkelkan dan dibiarkan saja semau sendiri.
Zaman itu tak ada yang peduli soal campur aduk fakta dan fiksi.
Ia dianggap tak sepenting soal revolusi melawan Belanda. Yamin menerbitkan sandiwara Gadjah Mada pada 1946.
Daoed Joesoef, menteri pendidikan pada tahun 1970-an, mengingatkan bahwa saking semangat Yamin bahkan membuat gambar Gajah Mada berdasarkan ”sebuah celengan” yang ditemukan dalam situs Majapahit di dekat Gunung Lawu. Celengan tersebut diklaim Yamin sebagai wajah Gajah Mada.
Belakangan ketika orang diminta menggambarkan wajah Gajah Mada, tentu saja, celengan tersebut tak bisa dipakai. Maka dipakailah wajah pengarang sandiwara Gadjah Mada.
”Celengan kan gendut. Pipi Yamin kan tembem,” kata Daoed.
Hasilnya, macam-macam imajinasi pikiran Yamin masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah maupun berbagai propaganda lain.
Ada Indonesia dijajah Belanda 350 tahun, patih Gajah Mada dari kerajaan Majapahit bikin Sumpah Palapa, nenek moyang selama 6.000 tahun. Karya fiksi pun masuk dalam pelajaran sejarah.
Sayangnya, banyak warga negara Indonesia percaya.
Artinya, kepercayaan terhadap makna negara Indonesia tak diletakkan pada fondasi kebenaran faktual. Dasar negara ini diletakkan pada tumpukan fiksi.
MELURUSKAN SEJARAH NASIONAL
”Cara paling efektif untuk menghancurkan orang banyak adalah dengan mengingkari serta menghapuskan pemahaman mereka atas sejarahnya sendiri.” (George Orwell)
Apa yang disampaikan oleh sastrawan Inggris, George Orwell, dalam kalimat diatas adalah betapa pentingnya menjaga sejarah bangsa agar tak dibelokkan dari ”jalur” sebenarnya.
Sejarah Nasional harus diluruskan. Karena, bila sejarah yang ditulis tidak berdasarkan fakta yang terjadi, maka penduduk negeri ini akan terus dibohongi.
Fakta-fakta sejarah peristiwa yang kini lebih dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagaimana yang diungkapkan oleh para sejarawan, telah menunjukan bahwa banyak peristiwa masa lampau negeri ini, dibuat berdasarkan dusta-dusta yang dirangkum sedemikian rupa untuk selanjutnya dijadikan sebagai ”sejarah” Nasional.
Sudah sepantasnya segala dusta dibalik peristiwa Sumpah Pemuda segera diakhiri. Sejarah bangsa Indonesia mesti ditulis sebagaimana fakta sesungguhnya. Supaya generasi penerus bangsa tidak terus dibodohi oleh isi naskah palsu dan peristiwa yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan sejarah yang asli.(*)
