Berita Viral
Bantahan Abdul Muis soal Tuduhan Kantongi Rp11 Juta dari Iuran Komite Sekolah SMAN 1 Luwu Utara
Abdul Muis menegaskan bahwa ia hanya menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan saat menjadi bendahara komite, bantah ambil Rp11 juta
Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Weni Wahyuny
Ringkasan Berita:
- Abdul Muis bantah soal tuduhan mengantongi dana Rp11,1 juta dari dana komite SMAN 1 Luwu Utara.
- Menurut Abdul Muis, kerap dipersepsikan keliru seolah merupakan penerimaan rutin setiap bulan.
- Dana tersebut diusulkan untuk wali kelas, petugas laboratorium, hingga wakil kepala sekolah (wakasek) yang memegang tanggung jawab tambahan.
TRIBUNSUMSEL.COM - Guru Abdul Muis akhirnya memberikan penjelasan perihal tuduhan yang menyebut dirinya dan Rasnal mengambil dana sejumlah Rp 11 juta dari iuran yang dikumpulkan oleh komite SMAN 1 Luwu Utara.
Adapun sebelumnya, hal itu terkuak berdasarkan dokumen rilisan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang diperoleh tribun-timur.com, Selasa (18/11/2025).
MA menyebutkan, Abdul Muis selaku Wakil Kepala Sekolah sekaligus bendahara komite bersama Kepala Sekolah Rasnal memungut iuran komite sekolah dari orangtua siswa sejak 2018-2021.
Baca juga: Total Dana Iuran Komite Pemicu Guru SMAN 1 Lutra Kena PTDH, Rasnal-Abdul Muis Diduga Dapat Rp11 Juta
MA menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara sesuai Putusan MA Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 dan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023.
Angka inilah yang, menurut Abdul Muis, kerap dipersepsikan keliru seolah merupakan penerimaan rutin setiap bulan.
“Yang perlu diluruskan itu angka Rp 11.100.000 itu. Seakan-akan kami menerima itu per bulan. Padahal itu akumulasi insentif untuk tugas-tugas tambahan selama bertahun-tahun,” ujar Abdul Muis saat dikonfirmasi Kompas.com, usai hari pertama kembali mengajar, Kamis (20/11/2025).
Muis menegaskan bahwa ia hanya menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan saat menjadi bendahara komite.
Para orang tua, kata dia, mengusulkan adanya insentif untuk wali kelas, petugas laboratorium, hingga wakil kepala sekolah (wakasek) yang memegang tanggung jawab tambahan.
“Wali kelas itu Rp 150.000 per bulan, humas dan wakasek Rp 200.000 per bulan. Cairnya per triwulan. Sebagai bendahara, uang jalan atau transportasi saya Rp 125.000 per bulan,” ucapnya.
Jika dihitung, kata dia, total insentif yang ia terima per triwulan adalah Rp 975.000, dikalikan empat triwulan dalam setahun, lalu dikalikan tiga setengah tahun.
“Polisi hanya memunculkan angka Rp 11.100.000 tanpa penjelasan lengkap. Jadinya seakan-akan kami menerima gratifikasi bulanan. Ini juga sudah terungkap di pengadilan,” kata Muis.
Ia menegaskan, insentif itu murni inisiatif para orang tua yang menilai guru menjalankan tugas tambahan yang menyita waktu dan tenaga.
“Orang tua siswa bilang: Yang penting anak kami diajar dengan baik, diurus dengan baik. Ini kami kasih insentif. Kami pun tidak pernah meminta,” tambahnya.
Sayangnya, niat baik Muis justru berujung pada perkara hukum. Ia dituduh melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada peserta didik.
Ketua Komite SMA Negeri 1 Luwu Utara, Muhammad Sufri Balanca, yang saat itu masih menjadi anggota komite, membenarkan bahwa insentif dan iuran komite telah dibahas bersama orang tua secara terbuka.
Ia mengatakan tidak pernah ada penolakan dari orang tua siswa terkait besaran iuran komite.
Baca juga: Fakta Abdul Muis dan Rasnal Nikmati Uang Rp11 Juta dari Iuran Komite, Ketua MA : Putusan Sudah Benar
Bahkan ketika perhitungan komite menetapkan iuran hanya Rp 17.000 per bulan, para orang tua justru meminta dinaikkan menjadi Rp 20.000.
“Rp 20.000 itu tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Orangtua malah bilang cukupkan Rp 20.000 karena itu untuk kegiatan anak-anak mereka,” ujar Sufri.
Ia mengingat kembali saat pemeriksaan di Dinas Pendidikan, seorang ibu dari Desa Radda sempat memprotes keras penyidik yang mempersoalkan iuran tersebut.
“Dia bilang: Kenapa Bapak yang sewot kepada guru? Ini uang kami untuk kegiatan anak-anak kami. Jadi menurut saya, kasus ini memang terkesan dipaksakan,” ujar Sufri.
Sufri juga mengungkap bahwa ketika berkas perkara disebut sudah P21 karena tidak ditemukan kerugian negara, muncul pemeriksaan tambahan dari Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Luwu Utara.
Padahal, katanya, otoritas pengawasan terkait sekolah menengah berada pada inspektorat provinsi.
“Namun polisi meminta pemeriksaan ke Bawasda kabupaten yang sebenarnya tidak berwenang. Dari situ keluar pernyataan bahwa ada indikasi kerugian negara,” ujarnya.
Saya menduga langkah itu dilakukan untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap kedua guru.
“Saya tidak tahu apa dosanya sehingga harus dipaksakan,” kata Sufri.
Meskipun demikian, kasus ini belakangan telah dianggap selesai setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan surat rehabilitasi kepada Muis dan rekannya, Rasnal.
Pemberian rehabilitasi ini mengembalikan hak-hak mereka yang sempat dihilangkan setelah pemecatan dari status Aparatur Sipil Negara (ASN).
Rasnal kembali menjadi kepala sekolah di UPT SMAN 3 Luwu Utara.
Sementara, Abdul Muis mengajar lagi di SMAN 1 Luwu Utara.
Isi Putusan MA
Terkuak dalam periode 2018 hingga 2021, dana yang dihimpun dari orang tua/wali murid mencapai angka fantastis, yakni sebesar Rp770.808.000.
Hal itu terkuak berdasarkan dokumen rilisan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang diperoleh tribun-timur.com, Selasa (18/11/2025).
MA menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara sesuai Putusan MA Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 dan Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023.
Hakim memvonis mereka bersalah atas kasus gratifikasi.
Dana tersebut disimpan pada rekening saksi Abdul Muis Muharram dan sejatinya diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan operasional sekolah; mulai dari honor guru, tunjangan wali kelas, Tunjangan Hari Raya (THR), hingga upah cleaning service.
Namun, majelis hakim kasasi yang terdiri dari tiga hakim—H Eddy Army sebagai Ketua, serta Hakim Anggota Ansori dan Prim Haryadi—menilai adanya penyimpangan fatal.
Praktik pengambilan bagian pribadi oleh Rasnal dan Abdul Muis sebesar Rp11,100.000 tersebut dipandang sebagai perbuatan pidana.
MA secara tegas menyatakan bahwa rangkaian perbuatan tersebut telah menyalahi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016.
Regulasi tersebut mengatur bahwa Komite Sekolah hanya diperbolehkan menerima sumbangan yang bersifat sukarela, dan dilarang keras menarik pungutan yang memberatkan atau mengikat.
Oleh sebab itu, Mahkamah Agung menilai tindakan kedua guru tersebut telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi.
Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas pertimbangan tersebut, MA mengabulkan permohonan kasasi Penuntut Umum dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 56/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mks tanggal 15 Desember 2022, karena dinilai tidak tepat mempertahankan putusan sebelumnya.
Putusan ini tertuang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023 pada halaman 26 dari 29 halaman dokumen resmi.
(*)
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com
| Kebohongan Rizki Nurfadhilah Diungkap KBRI, Ternyata Bukan Korban TPPO di Kamboja : Dia Jadi Scammer |
|
|---|
| UPDATE Istri Dicerai Suami Lulus PPPK Aceh Singkil, Melda Safitri Datangi BKPSDM Jalani Mediasi |
|
|---|
| Nasib Pilu Nur Aini Guru Pasuruan Ngeluh Tempuh Jarak 57 Km ke Sekolah, Absen dan TTD Dipalsukan |
|
|---|
| VIDEO Ojol di Batam Meninggal saat Istirahat di Warung Makan, Masih Pakai Jaket Driver, Dikira Tidur |
|
|---|
| Segini Harta Kekayaan Irjen Pol Gatot Repli Handoko Sebut Polri 'Babu Masyarakat', Tidak Ada Utang |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sumsel/foto/bank/originals/Abdul-Muis-saat-menyampaikan-keresahanya-dalam-RDP-di-Kantor-sementara-DPRD.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.