Berita Viral

Minta Bantuan Prabowo, Ketua PGRI Luwu Utara Sebut Pemecatan 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara Tidak Adil

Empat Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari wilayah Luwu Raya meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan

|
Kompas.com/MUH. AMRAN AMIR
GURU DIPECAT - Empat Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari wilayah Luwu Raya (Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur) Sulawesi Selatan, menggelar rapat koordinasi untuk membahas kasus pemecatan dua guru yakni Drs. Rasnal, M.Pd dan Drs. Abdul Muis, yang diberhentikan dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) karena persoalan dana komite sekolah. Rapat tersebut berlangsung di Sekretariat PGRI Kabupaten Luwu Utara, Jalan Jenderal Sudirman, Kelurahan Bone, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Selasa (11/11/2025). 

Adapun kisah itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara

Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan. 

“Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya. 

Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). 

Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar yang berhak menerima honor.

Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria. 

“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya.

Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018. 

Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp 20.000 per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru. 

"Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal. 

Dana komite itu membuat sekolah bergeliat. Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat. 

“Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.

Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020 menjadi awal badai baru. Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli). 

Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan. 

Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota. 

“Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.

Kembali Mengajar Tanpa Gaji 

Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara

Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024. 

“Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya. 

Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD. 

“Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya pelan.

Kini, Rasnal hidup bersama keluarganya dan mengandalkan anak-anaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, semangatnya untuk mendidik belum padam.

Ia merasa keputusan tersebut tidak adil.

“Tidak ada niat sedikit pun mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar guru honorer tetap mendapat hak mereka,” ujarnya.

Dengan kerendahan hati, Rasnal berharap Gubernur Sulsel meninjau kembali keputusan pemberhentian dirinya.

“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” tutupnya.

Dalam kasus ini Rasnal dipecat bersama Abdul Muis.

Aksi Solidaritas Guru

Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia. 

Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.

Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:

Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD

Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.
 
“Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tutur Muis.

Orang Tua Murid Bantu Cari Keadilan

Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).

Para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.

Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.

“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.

Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.

“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.

Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.

“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.

Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.

“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.

Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.

“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).

Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.

“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.

Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.

“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved