Berita Viral
'Ini Kesepakatan Kami', Orang Tua Siswa SMAN 1 Luwu Utara Berharap Guru yang Dipecat Dipulihkan
Akrama, orangtua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan akhirnya buka suara soal dua guru yang dipecat akibat kasus dana
Penulis: Laily Fajrianty | Editor: Weni Wahyuny
Ringkasan Berita:
- Orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara sebut sumbangan komite Rp20 ribu kesepakatan bersama.
- Orang tua siswa berharap kedua guru SMAN 1 Luwu Utara bisa kembali mengajar.
- 2 guru dipecat karena uang sumbangan Rp20 ribu.
TRIBUNSUMSEL.COM - Akrama, orangtua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan akhirnya buka suara soal dua guru yang dipecat akibat kasus dana komite sekolah.
Seperti diketahui, guru bernama Rasnal dan Abdul Muis diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH).
Kedua guru tersebut mengalami Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) buntut dari penarikan sumbangan komite sebesar Rp 20 ribu yang digunakan untuk membantu para guru honorer.
Sayangnya niat tersebut dianggap sebagai tindakan pungli sehingga kedua guru dari SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan itu dijatuhi sanksi.
Akrama, salah satu orang tua siswa mengingat jelas keputusan rapat wali murid pada 2018.
Saat itu, seluruh orangtua sepakat memberikan iuran Rp 20.000 per bulan untuk membantu menggaji guru honorer di sekolah tersebut.
Baca juga: Penjelasan Disdik 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara Dipecat Gegara Uang Rp20 Ribu, Langgar Permendikbud
Ia menegaskan bahwa iuran itu murni lahir dari kesepakatan bersama para orangtua.
Akrama kembali menekankan bahwa iuran itu tidak muncul secara sepihak, tetapi hasil musyawarah bersama.
"Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir, bahwa setiap siswa dimintai Rp 20 ribu per bulan untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP, yaitu guru yang tidak masuk dalam Dapodik,” ujar Akrama saat ditemui sambil menahan air mata, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com
Ia menambahkan, para orangtua tidak mempermasalahkan keputusan tersebut karena melihat langsung dedikasi para guru honorer dalam mendidik anak-anak mereka.
Dalam rapat pun tak ada satupun keberatan yang muncul.
“Jadi kami orangtua waktu itu tidak keberatan. Karena ini untuk anak kami yang dididik. Saya juga pernah merasakan jadi guru sukarela,” kata Akrama.
Kesepakatan iuran itu, kata dia, diambil melalui rapat orangtua dan komite sekolah pada 2018, saat anaknya baru duduk di kelas 1 SMA.
“Dari hasil kesepakatan rapat, Rp 20 ribu per siswa. Itu iuran bulanan, bukan sekali bayar,” ujarnya.
Meski ia tak mengetahui lebih jauh penggunaan dana setelah iuran dikumpulkan, Akrama percaya bahwa kebijakan tersebut memberi kontribusi pada kualitas pengajaran di sekolah.
“Kewajiban saya sebagai orangtua hanya memberikan uang kepada anak saya untuk dibayar. Soal selanjutnya saya tidak tahu lagi,” ujarnya. Akrama pun berharap hak dua guru yang telah diberhentikan bisa segera dipulihkan.
“Harapan saya sebagai orangtua, kembalikan hak kedua guru ini. Mereka punya keluarga. Anak kami pun bisa selesai kuliah karena jasa mereka,” katanya sambil menangis.
Penjelasan Disdik
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Iqbal Nadjamuddin menjelaskan keputusan pemberhentian tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan hukum dan ketentuan kepegawaian ASN, bukan keputusan sepihak dari Dinas Pendidikan.
"Besok ada rapat dengar pendapat (RDP). Saya sudah sampaikan, biar dijelaskan secara terbuka. Karena ini kasus lama, 2018–2019. Oleh pengadilan sudah diputuskan dan kami hanya melaksanakan aturan ASN-nya,” ujar Iqbal saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com
Iqbal menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemberhentian dapat dilakukan karena dua alasan, yakni permintaan sendiri atau karena hukuman pidana.
"Kalau ASN ditahan lebih dari dua tahun karena pidana umum, maka diberhentikan. Tapi kalau di bawah dua tahun, tidak diberhentikan. Untuk tindak pidana korupsi, begitu diputus bersalah langsung diberhentikan,” jelasnya.
Dengan demikian, pemberhentian Rasnal dan Abdul Muis dilakukan karena telah memenuhi kriteria hukum dan administratif ASN.
“Kami hanya melaksanakan undang-undang ASN. Soal masalah hukum beliau, itu ranah yudisial. Kami hanya menjalankan aturan,” tegas Iqbal.
Iqbal menambahkan, pihaknya akan menjelaskan secara terbuka duduk perkara kasus ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulawesi Selatan yang dijadwalkan Rabu (12/11/2025).
“RDP ini penting agar publik tahu batas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib. Supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini,” pungkasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan, keberadaan Komite Sekolah dan mekanisme pengumpulan dana pendidikan telah diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).
Namun, ia mengingatkan bahwa ada batas tegas antara “sumbangan sukarela” dan “pungutan wajib” yang tidak diperbolehkan.
"Komite itu diatur di Permendikbud. Artinya, Komite tidak dilarang melakukan pengumpulan dana pendidikan, tetapi hanya dalam bentuk bantuan sukarela, bukan pungutan wajib,” katanya.
Menurut Iqbal, pengumpulan dana oleh Komite Sekolah diperbolehkan asalkan dilakukan secara transparan dan tidak bersifat memaksa.
"Pungutan tidak boleh mewajibkan. Tapi kalau meminta bantuan, boleh. Namanya sumbangan itu ya sukarela, terserah yang mau memberi,” jelasnya.
Pernyataan ini menanggapi kasus dua guru di Luwu Utara, Drs. Rasnal, M.Pd. dan Drs. Abdul Muis, yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Keduanya diduga terlibat dalam kasus pungutan sekolah pada periode 2018–2019.
Kisah Guru Dipecat gegara uang Rp20 Ribu
Sebelumnya, Rasnal dipecat bersama bendahara Komite Abdul Muis SMAN 1 Luwu Utara.
Rasnal memulai karier sebagai tenaga honorer pada 2002.
Kini statusnya sebagai aparatur sipil negara dicabut melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD, setelah ia menjalani vonis pidana satu tahun dua bulan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023.
Ironisnya, semuanya berawal bukan dari korupsi atau penyelewengan untuk kepentingan pribadi, melainkan dari niat membantu guru honorer agar tetap mendapatkan hak mereka.
"Saya hanya ingin membantu. Tidak ada sepeser pun yang saya nikmati,” ucap Rasnal, dikutip Kompas.com
Adapun kisah itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara.
Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan.
“Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya.
Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar yang berhak menerima honor.
Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria.
“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya.
Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018.
Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp 20.000 per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru.
"Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal.
Dana komite itu membuat sekolah bergeliat. Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat.
“Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.
Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020 menjadi awal badai baru. Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli).
Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan.
Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota.
“Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.
Kembali Mengajar Tanpa Gaji
Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara.
Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024.
“Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya.
Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD.
“Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya pelan.
Kini, Rasnal hidup bersama keluarganya dan mengandalkan anak-anaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, semangatnya untuk mendidik belum padam.
Ia merasa keputusan tersebut tidak adil.
“Tidak ada niat sedikit pun mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar guru honorer tetap mendapat hak mereka,” ujarnya.
Dengan kerendahan hati, Rasnal berharap Gubernur Sulsel meninjau kembali keputusan pemberhentian dirinya.
“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” tutupnya.
Dalam kasus ini Rasnal dipecat bersama Abdul Muis.
Aksi Solidaritas Guru
Keputusan PTDH ini sontak memicu gelombang keprihatinan dan solidaritas dari berbagai pihak.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara memimpin aksi damai, menuntut keadilan bagi rekan mereka yang dinilai menjadi korban kriminalisasi atas dasar kebijakan sekolah yang bertujuan mulia.
Aksi itu juga mendukung Drs. Rasnal, M.Pd, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.
“Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi,” ujar Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.
PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.
Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:
Drs. Rasnal, M.Pd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
Drs. Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD
Kini, Abdul Muis berharap keputusan PTDH dapat ditinjau ulang demi memulihkan martabatnya sebagai pendidik menjelang masa purnabakti.
“Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor,” tutur Muis.
Orang Tua Murid Bantu Cari Keadilan
Sejumlah orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara angkat bicara soal polemik dana komite sekolah yang menyeret mantan kepala sekolah dan bendahara komite hingga berujung hukuman penjara serta pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Para orang tua siswa membantah adanya unsur paksaan dalam pembayaran dana komite.
Mereka menegaskan iuran tersebut dibayar secara sukarela dan merupakan hasil kesepakatan bersama orang tua siswa serta pihak komite sekolah.
“Pembayaran dana komite itu adalah kesepakatan orang tua. Kami tidak keberatan dengan iuran itu, karena anak kami yang dididik,” ujar Akramah, orang tua siswa SMAN 1 Luwu Utara yang turut membayar dana komite pada 2018, dilansir dari Tribuntimur.com.
Akramah mengatakan, pembayaran iuran dilakukan dengan niat membantu guru honorer yang berjasa dalam mendidik anak-anak mereka.
“Pembayaran iuran itu untuk kebaikan guru yang mengajar anak kami. Kami tidak keberatan, apalagi Rp20 ribu itu tidak sebanding dengan jasa mereka,” tambahnya.
Ia juga memastikan dalam rapat komite, seluruh orang tua siswa sepakat untuk membayar iuran tersebut.
“Saat rapat pun tidak ada orang tua yang menolak. Semua sepakat karena itu untuk membantu sekolah,” ujarnya.
Akramah menyayangkan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut yang dinilainya hanya berniat membantu guru honorer dan meningkatkan mutu pendidikan.
“Kembalikan hak dua guru yang diberhentikan. Mereka punya keluarga, dan anak-anak kami bisa sukses karena mereka,” ucapnya sambil meneteskan air mata.
Orang tua siswa lainnya, Taslim, juga menegaskan iuran sebesar Rp20 ribu per bulan itu dibayar secara sukarela setelah melalui rapat dan kesepakatan bersama.
“Pembayaran iuran itu tidak serta merta ada. Semua melalui rapat komite dan orang tua siswa,” kata Taslim, Senin (10/11/2025).
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut bahkan memberikan keringanan bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah.
“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, hanya satu yang membayar. Jadi memang tidak memberatkan,” jelasnya.
Para orang tua berharap pemerintah dapat meninjau ulang keputusan pemecatan terhadap dua pendidik tersebut.
“Kami tidak melawan putusan pemerintah, tapi mungkin perlu ditinjau ulang karena ini bukan korupsi. Dana itu bukan uang negara, melainkan sumbangan sukarela dari orang tua siswa. Kami meminta Bapak Presiden memperhatikan masalah ini dan mengembalikan hak dua guru yang dipecat,” harapnya.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com
| VIDEO Tampang Gembul alias Yahya, Terduga Pelaku Bunuh Istri Pejabat Pajak di Manokwari |
|
|---|
| Tangis Akramah Minta Dua Guru SMAN 1 Luwu Utara Dipecat Agar Dikembalikan, Rp20 Ribu Tak Sebanding |
|
|---|
| Rasnal Terdiam Terima SK PTDH dari Gubernur, Dipecat Karena Iuran Rp20 Ribu untuk Gaji Guru Honorer |
|
|---|
| Kejamnya Sri Yuliana Tersangka Kasus Penculikan Bilqis di Makassar, Diduga Turut Jual Anak Kandung |
|
|---|
| Sosok Andi Sudirman, Gubernur Sulsel Tanda Tangani Surat Pemecatan 2 Guru SMAN 1 Luwu Utara |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/sumsel/foto/bank/originals/Mantan-Kepala-SMAN-1-Luwu-Utara-Rasnal-kiri-dan-Bendahara-Komite-SMAN-1-Luwu.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.