Harga Karet Hari Ini

Harga Karet di OKU Timur Turun Buat Petani Kian Terpuruk, Biaya Operasional Tak Sebanding Pendapatan

Petani karet di Desa Perjaya, Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur, kembali dihadapkan pada penurunan harga jual yang kian menekan. 

TRIBUNSUMSEL.COM/CHOIRUL ROHMAN
HARGA KARET TURUN -- Petani sedang menimbang getah karet untuk di jual di Desa Perjaya, Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur, Rabu (06/08/2025). Cuaca tidak menentu dan harga jual yang terus turun menjadi tantangan besar bagi petani karet di Martapura, OKU Timur. 

TRIBUNSUMSEL.COM, MARTAPURA – Para petani karet di Desa Perjaya, Kecamatan Martapura, Kabupaten OKU Timur, Sumsel kembali dihadapkan pada penurunan harga jual yang kian menekan. 

Dalam sepekan terakhir, harga karet alami penurunan sebesar Rp 200 per kilogram. 

Jika pada pekan sebelumnya harga karet untuk usia dua minggu mencapai Rp 13.300 per kilogram, kini hanya dihargai Rp 13.100 di tingkat kelompok tani.

Penurunan ini menjadi pukulan tersendiri bagi petani karet yang harus berjuang di tengah ketidakpastian cuaca.

Perubahan iklim yang sulit diprediksi kadang hujan deras, kadang panas terik membuat proses penyadapan hingga pengeringan lateks menjadi tidak optimal.

Salah satu petani karet di Desa Perjaya, Eko, mengaku penurunan harga bukan satu-satunya tantangan yang ia hadapi.

Cuaca yang tidak menentu membuat produksi karet ikut terganggu.

“Sudah beberapa minggu ini cuaca memang tidak menentu, kadang pagi panas, siangnya hujan. Ini sangat berpengaruh ke hasil sadapan kami. Kalau cuaca lembap atau sering hujan, getah susah keluar dan susah kering. Kadang hasilnya malah rusak karena lembap terlalu lama. Belum lagi kalau harga turun seperti sekarang, makin berat kami sebagai petani,” keluh Eko, Rabu (06/08/2025).

Baca juga: Harga Karet di PALI Bertahan Rp 10 Ribu per Kg, Petani Kian Terjepit Imbas Hasil Produksi Merosot

Senada dengan itu, petani lain, Vivin juga mengeluhkan kondisi yang semakin sulit.

Ia mengatakan biaya operasional tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.

“Kami ini kerja subuh-subuh nyadap, kadang hujan datang tiba-tiba, getah tidak bisa dikumpulkan maksimal. Kami juga butuh biaya beli pupuk, tebas semak, belum lagi kebutuhan rumah tangga. Kalau harga terus turun begini, kami makin bingung harus bagaimana. Harapan kami harga bisa stabil dan cuaca juga mendukung, karena kami sangat bergantung pada dua hal itu,” ujarnya.

Sedangkan, Salah satu petani karet lainnya di daerah setempat, Adi mengungkapkan keresahan yang kian membelit kehidupan para petani karet belakangan ini.

Ia mengaku sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari hasil karet, namun beberapa tahun terakhir terasa semakin berat untuk bertahan.

“Kami ini petani kecil, lahan saya cuma satu hektar lebih sedikit. Dulu waktu harga karet bagus, kita masih bisa napas lega, bisa nyekolahin anak, bisa nabung walau sedikit. Tapi sekarang, jangankan buat nabung, untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Harga turun terus, sementara kebutuhan hidup terus naik,” ujarnya sambil memandangi tumpukan karet setengah kering di pinggir pondoknya.

Adi juga menambahkan bahwa perubahan cuaca turut memperparah kondisi. Menurutnya, tahun ini cuaca jauh lebih sulit diprediksi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Pagi-pagi baru mau nyadap, tiba-tiba hujan deras datang. Kadang kita sudah selesai nyadap, eh sorenya hujan, getah belum sempat dikeringkan, malah jadi busuk. Kalau udah begitu, harga di pengepul makin jatuh. Petani rugi dua kali. Padahal kerja kami ini berat, mulai dari subuh sampai sore. Kami bukan malas, tapi memang alam dan harga tidak bersahabat,” tuturnya panjang.

Ia pun berharap pemerintah lebih hadir untuk mendengarkan keluhan dan memberi solusi yang nyata.

Menurutnya, bantuan bukan hanya berupa bibit atau alat, tapi juga perlu ada regulasi yang bisa menjaga harga karet tetap stabil.

“Kami tidak minta muluk-muluk, cuma minta harga jangan terus-terusan jatuh. Kalau harga bisa bertahan di atas Rp 14.000 saja, kami sudah bisa bertahan. Pemerintah tolong lihat petani seperti kami ini, jangan hanya fokus ke kota. Di desa-desa ini banyak yang hidupnya makin terjepit, apalagi kami yang bergantung ke hasil kebun,” tambah Adi dengan nada lirih namun penuh harap.

Kondisi ini membuat sebagian petani memilih menunda penyadapan, bahkan sebagian lainnya mulai mencari alternatif pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Turunnya harga karet ini juga mengindikasikan perlunya perhatian lebih dari pemerintah, baik dalam bentuk subsidi alat dan pupuk, pelatihan pengolahan karet, maupun upaya stabilisasi harga di tingkat petani.
 

 

 

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved