citizen jounalism
Esensi Pejuang Wanita di Hari Lahirnya Kartini
Sudah jadi kelaziman, tanggal 21 April diperingati sebagai salah satu hari besar yang dirayakan oleh berbagai elemen masyarakat di Indonesia.
Dalam periode yang hampir berdekatan, di wilayah lain juga dikenal nama Laksmana Malahayati (1550-1615). Berbeda dengan Ratu Sinuhun ataupun Kartini, Malahayati terkenal karena keberaniannya bertempur dan berperang melawan Belanda yang menewaskan Cornelis de Houtman, sosok Belanda yang menemukan jalur perdagangan ke Indonesia. Malahayati adalah perempuan pertama yang menjadi Laksmana dan memimpin pertempuran Kesultanan Aceh melawan Belanda.
Sosok Laksamana Malahayati kemudian ditemukan pula pada Cut Nyak Dien yang terkenal karena kegigihan melawan Belanda. Sementara di Sumatera Barat dikenal Siti Rohana Kudus, seorang tokoh wanita yang mendalami bidang jurnalistik, merintis pendirian surat kabar wanita pertama, Sunting Melayu. Ia lahir tahun 1884 dan wafat 1972. Begitupun kemudian ada nama Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Wanita di Bandung tahun 1904, HR Rasuna Said yang mendirikan Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang tahun 1914, serta Christina Tiahahu yang memimpin perlawanan di Maluku tahun 1817. Selain itu, banyak tokoh-tokoh wanita yang berbicara banyak pada zamannya, dan semua gagasan mereka relevan pada masa kini.
Masing-masing tokoh wanita tersebut, besar pada zamannya, tetapi gagasan mereka mampu melintasi zaman. Kita akan bisa buktikan relevansi kuat bahwa perjuangan mereka sebetulnya belum selesai. Semakin kompleks realitas sosial saat ini, semakin berat pula tantangan yang diperjuangkan oleh pendahulu tersebut.
Realitas saat ini adalah, mengaburnya batasan kesetaraan gender di masyarakat dan bahkan dalam beberapa sisi merambah pada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ditemukan juga bahwa perempuan masih kerap menjadi objek kekerasan dan pelecehan ataupun hak-haknya yang dianggap tidak penting.
Baik RA Kartini, Ratu Sinuhun, HR Rasuna Said, Rohana Kudus, Malahayati, dan lainnya, mereka tidaklah ingin mengatakan bahwa perempuan sama dengan laki-laki pada semua bidang. Mereka sebetulnya ingin mengatakan bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, baik itu pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum, TAPI juga punya karakteristik berbeda yang harus dihargai dan dihormati. Kaum perempuan memiliki kemampuan intelektualitas yang tidak kalah dengan laki-laki, karena itu mereka harus diberi akses, dihargai dan tidak boleh dikebiri.
Kita bisa lihat realitas zaman now, dimana penghormatan terhadap perbedaan yang ada, justru mengabur. Dengan alasan kesetaraan gender yang salah kaprah, justru perempuan diperlakukan kebablasan. Banyak kasus, perempuan didorong dengan berbagai teknologi modern untuk mempertontonkan keelokan fisiknya, dengan alasan kesetaraan gender. Perempuan dibolehkan bergaul begitu bebasnya, juga karena pemikiran salah tentang keadilan gender. Fakta yang terjadi, alih-alih berbicara keadilan gender, perempuan justru banyak dalam perangkap Objek bagi laki-laki. Sulitnya lagi, di kalangan perempuanpun, perangkap ini sudah masuk dan diakui pula sebagai kebenaran.
Oleh karena itu, momentum kelahiran Kartini sebaiknya dijadikan ajang untuk meninjau kembali semua gagasan para pejuang wanita zaman dulu. Tidak hanya gagasan Kartini, tapi juga para pahlawan lain yang punya relevansi sama. (Dr. Henny Yusalia, M.Hum/Kepala Pusat Studi Gender dan Anak UIN Raden Fatah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.