OPINI
Mengatasi Kriminalitas Anak Tidak Cukup Peran Keluarga dan Sekolah
Dalam institusi keluarga, Islam memandang anak-anak yang masih dalam pengasuhan dan belum mencapai usia mumayyiz (mampu membedakan baik dan buruk seki
Oleh: Putri Halimah, M.Si
(Aktivis Muslimah Sriwijaya)
TRIBUNSUMSEL.COM - Alarm peringatan darurat terkait anak yang berhadapan dengan hukum, harusnya menjadi perhatian khusus peguasa.
Beberapa kasus kriminalitas anak diantaranya, pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi di Kota Palembang bulan lalu yang menimpa seorang siswi SMP.
Diketahui 4 pelakunya masih berusia remaja, 3 diantaranya pun masih duduk di bangku SMP.
Parahnya, kejadian serupa juga terjadi di Riau beberapa minggu yang lalu.
Korban yang masih duduk di bangku SMP ini diperkosa selama 3 hari oleh 6 pelaku, dan 3 diantara duduk di bangku SD.
Sistem pendidikan dengan drama kurikulum yang berubah-ubah katanya mampu membentuk karakter generasi menjadi lebih baik.
Tapi nyatanya, bukan sekali atau dua kali saja anak berhadapan dengan hukum.
Tapi sering terjadi. Apakah cukup membentuk karakter generasi yang salih jika hanya dibebankan kepada orang tua dan guru?
Sebagai orang tua, tentu sudah memberikan pengajaran dan pendidikan yang baik di sekolah.
Begitupun guru, meskipun disibukkan dengan urusan administrasi yang tak berkesudahan, belum lagi gaji yang terbilang rendah, dan juga harus menghadapi masalah demi masalah anak-anak didiknya.
Rasanya cukup egois jika hanya menyalahkan orang tua dan guru semata.
Padahal, lingkungan tempat anak-anak bertumbuh diliputi sekularisme (pemahaman tentang pemisahan agama dengan kehidupan).
Mulai dari kemudahan akses konten pornografi melalui tayangan reels di sosial media, dan juga karakter tokoh dalam game online serta komik yang mereka lihat.
Arus K-wave dan westernisasi juga turut menjadikan anak-anak dan remaja ikut dalam arus liberalisme dalam sistem pergaulannya.
Pacaran dianggap lumrah, berhubungan seks di luar nikah dianggap normal asal suka sama suka, belum lagi ditambah kontroversi terbitnya PP. No 28 yang sarat akan komersialisasi kontrasepsi di kalangan remaja.
Tentu saja, tidak cukup masalah ini diserahkan hanya kepada keluarga dan sekolah.
Kasus kriminalitas yang menimpa anak jika diuraikan akar masalahnya bersifat sistemik.
Maka, dibutuhkan perbaikan sistemik oleh negara, dalam hal ini penguasa sebagai pengurus urusan rakyat.
Ketika anak-anak dihadapkan lingkungan yang marak tindak asusila / pornogafi, besar kemungkinan anak-anak juga ikut terpapar, apalagi masyarakat sekularistik individualis yang cuek atas kemaksiatan terjadi.
Atas dasar sekularisme, ketika ada aktivitas amar ma'ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat malah distigma negatif, dianggap ikut campur urusan orang lain.
Di sisi lain, masifnya paparan media sosial, maraknya game online, tontonan-tontonan yang mudah diakses anak-anak.
Mereka meniru setiap adegan-adegan asusila, promosi judi online, pijaman online, dan kekerasan lewat tontonan.
Ditambah lagi, mereka belum memiliki filter yang cukup untuk membedakan tontonan yang baik dan buruk, sehingga anak-anak ikut terpapar kriminalitas.
Maka, diperlukan solusi sistemik yang mampu membentuk karakter generasi yang beradab, berakhlak, dan cemerlang.
Tentunya, solusi yang sistemik yang mampu menyerabut fenomena bullying hingga ke akar-akarnya.
Definisi Anak dari Sudut Pandang Islam
Jika mengamati kasus-kasus kriminalitas anak hari ini kita akan mendapati mereka bebas dari jeratan hukum karena terkategori masih di bawah umur atau anak-anak.
Lantas, apa definisi anak-anak dalam Islam? Anak adalah ketika seseorang memasuki usia mumayyiz (sekitar 7 tahun), yakni sudah mengerti antara baik dan buruk, benar dan salah.
Pada masa ini, ia tidak dibebankan menjalankan kewajiban syariat.
Batasnya sampai menuju usia baligh (peralihan masa anak-anak menuju dewasa dengan adanya pertanda fisik, menstruasi bagi perempuan dan keluarnya mani bagi laki-laki).
Pada usia ini, ia sudah dikenai beban taklif (hukum Islam, termasuk sanksi).
Maka, tersangka kriminal yang berusia 13 tahun, sudah dipastikan ia memasuki usia dewasa dalam Islam.
Artinya, sudah dikenai pahala dan dosa, termasuk sanksi hukum.
Sanksi atas tindak pidana yang dilakukan pun harus sesuai dengan syariat.
Hukum pidana Islam meliputi hudud, qishas atau diyat, dan takzir.
Hudud adalah hukuman yang merujuk kepada Alquran dan Sunnah.
Qishash atau diyat adalah yaitu pelaku kejahatan dapat mengubah tingkat hukumannya dari qisash (membunuh) menjadi diyat jika telah mendapat maaf dan melakukan ganti rugi kepada orang yang telah dirugikan.
Adapun ta’zir adalah anksi pidana yang ditetapkan oleh penguasa yang bersifat mendidik agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Beberapa jenis sanski takzir adalah penjara, teguran, skorsing, pemecatan, hingga pengasingan.
Pelanggaran atau jarimah yang dilakukan yakni menjadi saksi palsu, menipu, korupsi, narkoba.
Seperti sanksi bagi pemerkosa dan pembunuh untuk kasus di atas ialah dicambuk 100 kali, kemudian dibalas bunuh (lihat QS. An-Nur:2 dan QS. Al-Baqarah:178).
Jika penegakkan sanksi hukum sangat serius sebagaimana Islam memerintahkannya, saya rasa tidak ada yang berani melakukan kriminalitas seperti ini.
Upaya Preventif dari Sudut Pandang Islam
Jika mengamati lebih dalam, fenomena kriminalitas anak tentunya tidak tiba-tiba terjadi.
Bukan pula kali pertama kasus ini menyeruak. Islam memandang bahwa penguasa adalah pengurus dan pelayan rakyatnya.
Maka, menyelesaikan kasus kriminal anak tidak akan tuntas jika hanya diserahkan kepada orang tua dan sekolah. Penguasa harus turun tangan dan cepat tanggap untuk menyelesaikannya.
Ketika payung sistem bersumber dari ajaran Islam, maka semua dimensi kehidupan akan diatur oleh syariat.
Dalam institusi keluarga, Islam memandang anak-anak yang masih dalam pengasuhan dan belum mencapai usia mumayyiz (mampu membedakan baik dan buruk sekitar usia 7 tahun) berada dalam masa hadhanah, yaitu pemeliharaan dan pendidikan oleh ibunya.
Islam menjadikan tanggung jawab seorang ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya (madrasatul ula).
Sehingga, fokus seorang ibu adalah belajar dan mengajari buah hatinya dengan penanaman ketauhidan, akidah, dan syariat.
Oleh sebab itu, kewajiban nafkah tidak dibebankan di pundak ibu.
Tidak ada istilah pemberdayaan ekonomi perempuan dalam Islam, karena sangat jelas Islam meletakkan dasar pengasuhan dan pendidikan di pundak perempuan yang nantinya akan menjadi ibu.,
Negara juga mengatur akses ibu dan seluruh warga negara kepada pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasarnya, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Maka, tidak heran jika di masa kejayaan Islam lahirnya para pemimpin, pejuang, ilmuwan, dan ulama selalu dipengaruhi oleh peran ibu yang mendidiknya.
Jika ibu sebagai perempuan dimuliakan oleh negara, dipenuhi hak-haknya, terhindar dari eksplotasi ekonomi, maka akan lahir generasi-generasi emas dari rahimnya.
Kemudian, anak memasuki usia mumayyiz dan ditempa oleh guru di sekolah juga dibentuk oleh kurikulum sistem pendidikan yang mengikat jiwa mereka kepada ketakwaan.
Guru tidak hanya sekedar transfer ilmu, tetapi juga membina dan membentuk karakter muridnya.
Output yang dihasilkan pun tidak terbatas pada generasi yang siap kerja, melainkan menjadi generasi yang beradab, berakhlak, dan membangun peradaban.
Penguasa juga memfilter segala tontonan dan hiburan yang mengandung kekerasan.
Para pengembang aplikasi game, penulis komik atau novel, serta tontonan yang ada tidak diperbolehkan menayangkan hal-hal yang melanggar syariat.
Negara melalui tangan para penguasanya yang mampu menciptakan payung sistem seperti di atas.
Sehingga, lahirlah konsep Islami dan kehati-hatian generasi dalam bersikap, berkata, dan berbuat kepada teman-temannya.
Hal ini sejalan dengan kesadarannya akan perintah Allah, “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengaiaya).” (QS.Al-A'raf : 33). (*)
Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Tanaman Obat |
![]() |
---|
Kenapa Selai Bisa Kental? Jawabannya Ada di Pektin! |
![]() |
---|
Amplifikasi Debat Pilkada di Era Media Sosial |
![]() |
---|
Program Kemitraan Masyarakat Pendampingan Pemasaran Digital&Laporan Keuangan Kuliner RantingAisyiyah |
![]() |
---|
Media Sosial dalam Pilkada 2024: Dialog Terbuka atau Polarisasi? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.