Warga vs Gajah, Konflik Menahun di Air Sugihan, Ogan Komering Ilir yang Tak Kunjung Selesai

BEBERAPA tahun belakang kawanan gajah“ menyerang” pemukiman warga di kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Editor: Slamet Teguh
Istimewa
Warga vs Gajah, Konflik Menahun di Air Sugihan, Ogan Komering Ilir yang Tak Kunjung Selesai 

TRIBUNSUMSEL.COM - PADA akhirnya saya menyelesaikan tulisan ini. Padahal saya berharap tulisan ini tidak akan dan jangan pernah selesai.

Jika tulisan ini selesai, artinya kawanan gajah berkunjung lagi ke kawasan pemukiman warga di Air Sugihan, OKI.

Benar saja, malam hari yang lalu, teman mengirim pesan berupa foto-video situasi dan kondisi warga-gajah di Jaloer 29 kecamatan Air Sugihan Kab OKI. Captionnya "Mas gajahnya datang lagi".

Padahal sebelummya kawanan gajah terakhir datang hampir satu tahun yang lalu.

Kupikir persoalan warga-gajah selesai.

Bahkan ketika kutanya tentang perkembangan gajah disana, teman bilang bahwa sepertinya aman terkendali.

Nyatanya setelah sekian lama gajah kembali datang. Haduhh... Yang sabar dan tetap semangat warga Air Sugihan.

Konflik warga-gajah

BEBERAPA tahun belakang kawanan gajah“ menyerang” pemukiman warga di kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Platform media sosial antara lain facebook dan instagram wara wiri diberanda menyuarakan "serangan" sekumpulan gajah terhadap masyarakat di kecamatan itu.

Ada video sekumpulan gajah memakan tanaman, tengah menyeberang sungai, situasi warga berjaga-jaga, hingga kerusakan rumah atau gubuk pasca insiden serangan gajah.

Secara pribadi, warga disana bahkan mengirimi pesan melalui media sosial tentang kondisi demikian.

Keluh kesah, dampak dan kondisi warga-gajah disana. Mereka berharap dan menganggap dengan semakin masifnya pemberitaan di media sosial akan menjadi pemantik semangat untuk terus bersuara.

Pemangku kekuasaan hingga pihak tertentu diharap lebih peduli dan membuka diri. Pikirku seperti itu.

Tentu saja saya tidak dengan mata kepala sendiri melihat riil kondisi disana. Namun saya percaya atas berbagai macam informasi insiden konflik warga-gajah disana selama ini memang ada dan begitulah kondsinya.

Dampak konfik yang terjadi jelas sudah banyak kerusakan yang ditimbulkan.

Tanaman warga semisal sayuran, padi hingga kebun tidak luput dari serangan hewan belalai Panjang ini. Bahkan gajah juga tidak segan untuk merusak rumah dan gubuk-gubuk warga. Lebih mengerikan lagi, sudah ada korban jiwa melayang akibat berbagai rentetan serangan hewan tersebut.

Warga tidak tinggal diam atau pasrah saja. Berbagai upaya dilakukan termasuk melakukan demonstrasi di halaman Gedung DPRD Kabupaten Sumsel. Mereka menuntut kejelasan tentang ancaman gajah. Harus apa dan bagaimana.

Ada juga warga pada saat itu berunjuk rasa di sebuah perusahaan terbesar se - Asia Tenggara terkait serangan gajah liar. Mengapa mereka berunjuk rasa pada perusahaan itu? Saya tidak tahu. Mungkin warga salah alamat. Hee..

Kami Wong Jaloer..

Perkenalkan: Saya bukanlah siapa-siapa, hanya warga biasa.

Saya juga bukan warga kecamatan Air sugihan ataupun warga yang terdampak konflik dengan gajah.

Hanya saja, saya adalah putra transmigrasi asli generasi pertama yang kebetulan sama dengan mereka. Singkatnya kami sama-sama warga transmigrasi. Bila mereka berada di kecamatan Air Sugihan yang secara administrasi masuk kabupaten OKI, wilayah kami masuk wilayah kabupaten Banyuasin, kecamatan Muara Padang. Nah disitulah dulu identitas kami tercatat.

Saya sendiri adalah keturunan generasi pertama dari program sang penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto. Orang tua Kami adalah satu diantara ratusan atau mungkin ribuan warga yang bertempat tinggal di Kawasan transmigrasi hingga saat ini.

Setelah beberapa tahun orang tua mendiami bumi transmigrasi kala itu lahirlah kami sebagai generasi pertama dan hingga sekarang beranak pinak.

Secara geografis, wilayah kecamatan Air Sugihan-Muara Padang hanya dipisahkan oleh sungai Sugihan yang mengalir hingga ke laut Bangka. Mobilisasi warga kecamatan beda kabupaten ini sangat padat. Untuk menyatukan dua kawasan terpisahkan sungai, mula-mula penyeberangan perahu sebagai sarana penyeberangan utamanya. Sementara, jembatan yang bakal menyatukan dua kabupaten dalam provinsi Sumsel ini sudah rampung. Namun belum diresmikan.

Kawasan transmigrasi di tempat kami tidak hanya berada di dua kecamatan saja. Ada beberapa kecamatan lagi yang merupakan wilayah transmigrasi secara serentak kala itu. Tempatnya pun tidak begitu berjauhan, hanya dipisahkan sungai-sungai alam saja. Masih ada kecamaran Air Saleh, Kecamatan Muara Telang, hingga Makarti Jaya.

Menariknya, kawasan transmigrasi ini penamaannya tak lepas dari kata Jaloer/Jalur. Banyaknya aliran sungai buatan yang memisahkan desa-desa menjadi penanda dan nama dari sebuah kawasan desa. Jaloer dimaksudkan yakni jalur air, sebenarnya. Misal, Jaloer 20, Jaloer, 18, Jaloer 8 dan seterusnya. Dari itupula, kami bangga dan tak keberatan disebut sebagai Wong Jaloer.

Struktur desa, lanskap alam dan tata ruang lahan hampir sama. Tidak jauh berbeda. Banyak jalur sungai-sungai kecil dan besar, banyak jembatan kecil dan sebagainya. Tata ruang lahan perkebunan dan lokasi pekarangan rumah hingga jalan tidak jauh berbeda. Banyak persamaannya. Anda, jika sudah mengenal satu desa di kawasan itu maka tidak akan binggung bila berkelana dikawasan sana.

Baik warga Kecamatan Air Sugihan maupun Muara Padang dan kecamatan lainnya, mayoritas adalah warga pindahan dari Jawa; Jawa Tengah, Jawa Timur ataupun Jawa Barat. Kala itu terdapat program transmigrasi tahun 80-an, ketika zaman orde baru. Zamannya pak Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia. Program serentak yang hampir berdekatan tahunnya.

Kehidupan awal jelas hampir sama. Kawasan yang kami tempati dulu adalah hutan rimba belantara yang disulap menjadi pemukiman. Saya masih ingat ada banyak kayu-kayu berukuran besar tumbang dan berdiri dimana-mana. Sebagaimana bekas hutan rimba lah.

Jadi, bagi saya dan kami warga transmigrasi pada umumnya, warga kecamatan Air Sugihan yang ndelalah dalam beberap tahun belakang dilanda "bencana serangan" gajah, bukanlah “orang luar”. Mereka saudara kami, dulur kami dan tetangga kami. Lebih romantisnya senasib sepenanggungan. Mereka tengah kesusahan, kami juga ikut prihatin dan terenyuh hati ini.

Kami sudah lebih dulu

Saya bisa memahami bagaimana kesusahan mereka. Sebab, waktu kecilpun saya pernah merasakan hal yang sama. Konflik dengan gajah.

Megenai hal ini -serangan gajah terhadap pemukiman, tanaman bahkan warga- sebenarnya saya lebih dahulu merasakannya. Sebab saya dan warga desa punya kisah sendiri bagaimana "mbah gajah" -biasa kami menyebutnya- sowan ke pemukiman tempat kami.

Kala itu, kami mendiami bumi transmigrasi tepatnya di kecamatan Muara Padang kisaran tahun 1983. Sebagai pendatang yang ikut program pemrintah, kami menempati sebuah rumah sederhana dalam sebidang pekarangan. Benar bahwa tempat kami adalah hutan rimba yang diubah menjadi pemukiman.

Berjalannya waktu kami bertahan dengan segala kesusahan, kekurangan, keterbatasan dan sekaligus kesenangan. Bercocok tanam berbagai macam tanaman baik yang umur pendek ataupun tahunan. Kami -lebih tepatnya orang tua kami- dengan tekun menjalani itu semua.

Hingga dikisaran tahun 1990-an, "malapetaka" itu datang menghampiri desa kami. Mbah gajah, entah darimana datangnya menyambangi areal kebun di desa kami. Hewan belalai itu tidak sendirian mereka berkelompok, sekitar berpuluh-puluh ekor. Gajah-gajah itu memakan tanaman apa saja yang biasa mereka makan. Pohon kelapa, pisang hingga tanaman padi disantap bak hidangan makan malam.

Saya yang masih belum sekolah kala itu sudah memberanikan diri ikut orang-orang mengusir dan menjaga tanaman. Kami bawa obor, petasan hingga teriakan-teriakan. Tidak hanya malam saja, pagi siang dan sore ancaman gajah nyata. Was-was, ketar ketir, kuatir dan takut nampak jelas dalam ekspresi wajah kami. Lelah? Sudah pasti.

Memang serangan gajah di tempat kami itu tidak lama, kurang lebih satu tahun. Akhirnya hewan itu digiring entah kemana oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab. Setelahnya gajah tidak pernah ke tempat kami lagi, memang ada sekali dua kali datang kembali tapi tidak sampai membuat trauma lagi. Hingga sekarang kawanan gajah sudah tidak pernah muncul kembali.

Sesekali pawang gajah mebawa satu dua ekor ke desa untuk dijadikan pertunjukan. Warga tentu antusias dengan hewan itu. Apalagi mereka yang belum lahir ketika serangan gajah terjadi. Kalau kami, sudah "kenyang".

Butuh peranan semua pihak

Berbicara tentang konflik manusia dengan hewan terlebih gajah akan banyak kontroversi. Sebagian berpendapat manusialah yang salah karena merusak habitatnya, sebagian lagi kebalikannya. Ada banyak pandangan dan itu sah-sah saja menurutku.

Terpenting sebenarnya bagaimana persoalan tersebut tidak berlarut-larut dan seolah tanpa ada solusi. Apakah kita tidak merasa iba dengan kondisi warga yang selalu terhantui, dan atau bagaimana gajah yang hanyabsekedar mencari makan saja harus selalu diusir dan terusir? Entahlah. Atau haruskah semua pihak yang berkepentingan terlibat? Kurasa demikian.

Berharap konflik ini segera berakhir. Warga hidup tenang pun demikian gajah. Lebih nyaman jika selaras dan berdampingan, jangan malah Ra Wes Wes. (Citizen Journalism/ Wong Jaloer)

 

 

 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung bersama saluran whatsapp Tribunsumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved