Arti Kata Bahasa Arab

Pengertian Ijma dan Qiyas, Jenis dan Contohnya, Sumber Hukum dalam Islam Setelah Alquran dan Hadits

Sumber hukum dalam Islam secara urutannya adalah sebagai berikut: 1. Alquran; 2. Al Hadits; 3. Ijma dan 4. Qiyas.

Penulis: Lisma Noviani | Editor: Lisma Noviani
TRIBUNSUMSEL.COM/LINDA
Ilustrasi Alquran sebagai sumber hukum utama dalam Islam, kemudian Al hadits, Ijma dan Qiyas 

Para khilafah dan petinggi negara merupakan orang-orang yang melakukan ijma di awal-awal ijma diterapkan. Dari kegiatan ijma tersebut, mereka sudah dianggap dan dipercaya oleh umat Muslim pada saat itu untuk membuat sumber hukum Islam melalui kegiatan ijma. Sumber hukum Islam, ijma berhasil dibuat berkat adana musyawarah oleh para khilafah. Namun, saat ini orang-orang yang membuat sumber hukum Islam harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.


Dikarenakan ijma dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam, maka tidak boleh sembarang orang dalam membuat ijma. Dengan kata lain, hanya para ahli yang sudah berhasil mencapai mujtahid yang di mana pendapatnya sudah bisa dipertanggungjawabkan, sehingga sumber hukum Islam yang dihadirkan dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua umat Muslim.


Selain itu, waktu yang terus berkembang dan zaman yang juga ikut berkembang membuat musyawarah kegiatan ijma juga ikut berkembang. Saat ini, untuk membuat ijma atau sumber hukum Islam yang ketiga harus diikuti oleh beberapa pihak, seperti ahli ushul fiqih, para ulama, dan orang-orang ahli ijtihad.

Jenis Ijma
Menurut para ulama ushul fiqh, ijma terdiri dari dua jenis, yaitu ijma Al Sukuti dan ijma Al Sarih.


Ijma Al Suukuti
Ijma Al Suukti adalah jenis ijma pada saat para ulama atau para ahli ijtihad mengambil keputusan untuk diam, tetapi diamnya para ulama atau para ahli ijtihad karena sudah setuju dengan semua pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli ijtihad dan ulama lainnya.


Ijma Al Sarih.
Ijma Al Sarih adalah jenis ijma yang di mana para ulama dan ahli ijtihad masing-masingnya menyampaikan pendapatnya terkait dengan permasalahan yang secara terjadi, baik itu disampaikan dengan lisan atau secara tertulis. Pendapat yang disampaikan ini berupa setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah disampaikan oleh para ulama dan ijtihad lainnya.

Ijma Al Sarih ini memiliki sebutan yang cukup beragam, seperti ijma qauli, ijma hakiki, ijma bayani, dan lain-lain. Oleh karena itu, ada yang menyebut ijma Al Sarih dengan sebutan ijma hakiki atau yang lainnya. Meskipun memiliki sebutan yang berbeda, tetapi tetap tidak mengurangi arti dari ijma Al Sarih itu sendiri.


Itulah jenis-jenis ijma menurut ulama ushul fiqh. Selain itu, beberapa sumber juga mengatakan bahwa selaian ijma Al Sarih dan ijma Al Suukti, masih ada beberapa jenis ijma lainnya, seperti ijma ulama Madinah, ijma ahlul bait, ijma ulama kufah, ijma salaby, dan ijma Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar dan Umar). Setelah membahas jenis ijma, maka hal yang akan kita bahas selanjutnya adlah rukun ijma.

Rukun Ijma
Mengutip dari laman bincangsyariah bahwa dalam kitan ‘Ilm Ushul Fiqh, Abul Wahaf Khalaf berpendapat bahwa rukun ijma adalah suatu unsur dan hakikat utama yang harus ada ketika melakukan ijma. Beliau juga berpendapat bahwa rukun ijma ada 4, yaitu:

Ketika ada suatu peristiwa atau permasalahan yang solusinya membutuhkan ijma, harus ada beberapa orang yang sudah setara dengan mujtahid. Suatu kesepakatan dalam ijma tidak bisa disahkan apabila tidak sesuai dengan kesepakatan pendapat dari semua mujtahid yang membuat ijma. Selain itu, apabila pada suatu waktu dan di sautu daerah sama sekali tidak ada mujtahid atau hanya ada satu saja, maka ijma tersebut tidak sah atau tidak boleh dipergunakan.


Semua mujtahid yang ada pada pembuatan ijma harus memiliki kesepakatan atas hukum dari sebuah masalah tanpa harus memandang atau melihat suku, ras, kelompok, dan negeri tertentu. Dengan kata lain, ijma tidak bisa sah apabila para mujtahid memiliki kesepakatan secara menyeluruh.


Kesepakatan dalam ijma bisa tercapai dan sah jika setiap mujtahid yang hadir sudah menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk dari hasil usaha ijtihadnya. Adapun bentuk pendapat itu bisa berupa ucapan mengeluarkan fatwa dalam bentuk Tindakan dengan memberikan keputusan terhadap hukum dalam suatu pengadilan serta kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat bisa dalam bentuk perseorangan saja, tetapi hasilnya secara keselurahan semua para ulama dan mujtahid sudah memiliki pendapat yang sama.


Kesepakatan hukum yang sudah dicapai saat melakukan ijma berasal dari hasil kesepakatan para ulama dan mujtahid secara keseluruhan. Apabil ada beberapa ulama atau mujtahid yang tidak setuju dengan hasil kesepakatan yang sudah ditentukan, maka hal seperti itu tidak bisa disebut dengan ijma.

Jika, terjadi perbedaan pendapat, maka ada kemungkinan bahwa ijma yang akan dibuat memiliki kesalahan. Dengan kata lain, walaupun kesepakatan dalam membuat ijma sudah memiliki suara mayoritas yang setuju, tetapi masih ada sebagai ulama yang tidak setuju, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil syara’ yang pasti.


Contoh Ijma
Supaya lebih memahami apa itu ijma, maka kita perlu mengetahui contoh ijma apa saja. Berikut ini contoh ijma, diantaranya:

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved