Berita Muratara

Sungai Keruh di Muratara Tak Kunjung Tuntas, Warga Ancam Blokade Jalinsum Agar Didengar Presiden

warga mengancam bakal memblokade Jalinsum agar persoalan sungai keruh di muratara, sumsel tuntas

Penulis: Rahmat Aizullah | Editor: Shinta Dwi Anggraini
TRIBUNSUMSEL.COM/RAHMAT AIZULLAH
Sungai Rupit Kabupaten Muratara, Sumsel keruh akibat penambangan emas tanpa izin (PETI). Warga mengancam akan memblokade Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) agar diketahui banyak pihak termasuk Presiden Joko Widodo sebab permasalahan air sungai keruh ini tak kunjung usai. 

Laporan Wartawan TribunSumsel.com, Rahmat Aizullah

TRIBUNSUMSEL.COM, MURATARA - Penyelesaian masalah sungai keruh akibat aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Provinsi Sumatera Selatan, belum juga tuntas.

Walaupun pemerintah setempat mengklaim telah berupaya maksimal menyelesaikan permasalahan itu, namun nyatanya air sungai masih keruh pekat.

Baca juga: Viral Percobaan Penculikan Anak Sekolah di Palembang, Polrestabes Buka Nomor Pengaduan

Bila masalah sungai keruh tersebut tak kunjung tuntas, warga di daerah ini mengancam akan memblokade Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) agar jeritan mereka didengar bahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Bertahun-tahun kami menjerit tidak didengar, sudah lama kita tidak main-main di jalan, mungkin dengan cara itu jeritan kita didengar sampai ke Presiden," ujar warga pada TribunSumsel.com, Minggu (29/1/2023).

Sejumlah pemuda yang menggelar demo di depan kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Muratara tiga hari lalu juga mengancam akan aksi lebih besar lagi bila masalah ini tak kunjung tuntas.

"Jumlah kami hari ini memang sedikit, tapi kalau masalah ini tidak selesai-selesai, kami akan turun dengan jumlah yang lebih banyak lagi," ujar perwakilan pendemo, Hadi, Kamis (26/1/2023) lalu.

Informasi diperoleh, sungai menjadi keruh akibat aktivitas tambang emas liar di sungai Tiku, sungai Minak, dan wilayah Ulu Rawas.

Limbah air keruh dari aktivitas PETI itu mengalir ke sungai Rupit hingga ke sungai Rawas yang merupakan sungai terbesar di Kabupaten Muratara.

Ada lebih dari 40 desa kelurahan yang dialiri sungai keruh tersebut.

Warga yang tinggal di bantaran sungai Rupit dan sungai Rawas bertahun-tahun dipaksa menggunakan air keruh untuk keperluan sehari-hari.

Banyak warga yang tinggal di bantaran sungai tidak memiliki sumur atau berlangganan air bersih PDAM.

Baca juga: Kecelakaan Beruntun Tiga Mobil di Jalinsum Palembang-Indralaya OI, Polisi Ungkap Penyebab

imbas air sungai keruh di muratara
Warga di Muratara, Sumsel terpaksa menggunakan air sungai yang keruh untuk keperluan sehari-hari sebab tidak memiliki sumur atau berlangganan air bersih PDAM. Keruhnya air sungai di Muratara karena adanya aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI)

Dahulu air sungai jernih, namun beberapa tahun terakhir berubah menjadi keruh.

"Masyarakat Muratara ini mayoritas tinggal di tepi sungai, bergantung pada air sungai. Tidak semuanya ada sumur atau berlangganan PDAM, ada yang ada sumur tapi kini kering karena musim kemarau," ujar warga, Irul.

Warga lainnya, Yadi menyayangkan tindakan pemerintah dan kepolisian terhadap aktivitas PETI yang menyebabkan sungai menjadi keruh.

Menurut dia, permasalahan ini bukan suatu dilema bagi pemerintah, karena aktivitas PETI sudah sangat jelas merusak ekosistem sungai dan menggangu hajat hidup orang banyak.

"Lebih banyak mana warga yang menambang dengan warga yang terdampak sungai keruh, lebih banyak yang terdampak, di situ berfikirnya, sedangkan PETI ini jelas-jelas melanggar aturan, terus bikin sungai keruh juga," katanya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Muratara, Zulkifli mengatakan pemerintah sangat serius mengatasi masalah itu.

"Bukan kami tidak peduli, kita sama-sama prihatin dengan kondisi sungai kita saat ini, yang dulunya bening menjadi kebanggaan kita, tapi sekarang warnanya macam kopi susu," katanya.

Zulkifli menyebutkan tindakan yang mereka lakukan telah banyak, namun memang belum membuahkan hasil signifikan karena kondisi sungai masih keruh.

"Kami tidak tidur, kami terus berupaya, kalau program kita pak bupati sudah sangat serius. Penindakan juga kita sudah tahu sendiri, polisi sudah beberapa kali melakukan penggerebekan, penangkapan," katanya.

Mereka saat ini masih berkoordinasi dengan camat dan kepala desa yang terdapat wilayah PETI untuk mendata penambang baik warga lokal maupun dari luar daerah.

Pemkab Muratara tengah berjuang mengajukan kepada kementerian terkait bantuan alat pengolahan emas yang ramah lingkungan, tidak menggunakan air raksa.

"Kami tahu banyak masyarakat yang menderita dengan kondisi sungai keruh ini, kami tidak berdiam diri, hanya saja butuh proses, kita harus bersabar," katanya.

Kapolres Muratara, AKBP Ferly Rosa Putra juga pernah mengatakan aktivitas PETI di daerah ini memang benar-benar merusak alam.

Dia sudah terjun langsung melihat lokasi tambang emas ilegal dalam penggerebekan di wilayah Kecamatan Karang Jaya beberapa waktu lalu.

"Di dalam hutan itu, di TKP-TKP yang kita temui betul-betul mereka tidak memperhitungkan kerusakan alam, karena kita sudah lihat TKP-nya seperti apa, pembuangan limbahnya seperti apa sehingga mengotori sungai," kata Ferly.

Dia mengatakan, penindakan terhadap PETI selain karena melanggar hukum, polisi juga terus didesak masyarakat yang mengeluhkan kondisi air sungai keruh akibat aktivitas ilegal tersebut.

Ferly menegaskan kepolisian sangat serius ingin menuntaskan tambang emas ilegal di daerah ini agar sungai kembali jernih sehingga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

"Harapan kita seluruh masyarakat semakin menyadari kelestarian lingkungan, khususnya aliran sungai, karena sungai merupakan sumber kehidupan masyarakat itu sendiri terutama yang tinggal di bantaran sungai," katanya.

Dia mengingatkan betapa tidak mudahnya menindak permasalahan PETI ini, sehingga kepolisian selalu menghadapi sabotase dalam melaksanakan operasi penindakan.

Perjalanan polisi menelusuri sungai untuk ke lokasi PETI menggunakan perahu ketek selalu diadang oleh batang pohon yang baru ditebang melintang menutupi sungai.

"Kita banyak mengalami kendala, ada sabotase dari pelaku dompeng, kita dihadang pakai kayu tebangan-tebangan pohon besar yang menutup aliran sungai," ceritanya.

Menurut Ferly, polisi sudah bergerak sejak lama dengan melakukan kegiatan konsolidasi awal, memberikan edukasi, sosialisasi, menyebar maklumat, dan lain-lain.

Meski demikian, polisi tidak meninggalkan penegakan hukum parsial, sehingga sudah ada beberapa orang penambang yang telah ditangkap dalam operasi skala kecil.

"Orang yang kita tangkap sudah banyak, alat-alat mereka di dalam itu sudah banyak kita musnahkan dengan cara dibakar di lokasi, intinya kita sangat serius, tapi itu tadi, butuh proses untuk menuntaskannya," kata dia.

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved