Breaking News

Berita Palembang

Remaja 17 Tahun Korban Asusila di Lahat Temui Hotman Paris, Dinas PPPA Turut Mendampingi

Remaja putri 17 tahun korban asusila di Lahat temui Hotman Paris, Sabtu (7/1/2023) mendatang untuk mengadukan dan mencari keadilan.

Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUN SUMSEL/LINDA TRISNAWATI
Remaja putri 17 tahun korban asusila di Lahat temui Hotman Paris, Sabtu (7/1/2023). Keberangkatannya akan didampingi Dinas PPPA Lahat, seperti diungkap Kepala Dinas PPPA Sumsel Henny Yulianti, Jumat (6/1/2023) 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Remaja putri 17 tahun korban asusila di Lahat temui Hotman Paris, Sabtu (7/1/2023) mendatang untuk mengadukan dan mencari keadilan.

Untuk itu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lahat akan turut mendampingi.

Kasus rudapaksa seorang anak perempuan berusia 17 tahun oleh tiga remaja di sebuah kamar kost di Kelurahan Bandar Agung, Lahat menjadi sorotan banyak pihak termasuk Pengacara kondang Hotman Paris Hutafea.

"Kami sudah berkoordinasi dengan PPPA Kabupaten Lahat, bahwa mereka diundang pada Sabtu (7/1) ke Hotman Paris," kata Plt Kepala Dinas PPPA Provinsi Sumsel Henny Yulianti, Jumat (6/1/2023)

Henny mengatakan mereka akan terus memantau perkembangannya. Mengingat hukumannya hanya 10 bulan, terlalu rendah.

"Memang para pelaku juga merupakan anak di bawah umur. Alasan vonis itu karena anak di bawah umur dan menjaga keberlanjutan pendidikan. Tapi sebenarnya pelaku tetap bisa mendapatkan pendidikan di dalam Lapas dan biarkan negara yang membina," ungkapnya.

Baca juga: Imigrasi Palembang Catat 7.825 WNA Datang ke Sumsel Tahun 2022, Kebanyakan Lewat Pelabuhan

Masih kata Henny, dengan hukuman ringan ini dikhawatirkan akan semakin banyak kasus serupa.

Pelaku kejahatan seksual hanya dihukum ringan. Padahal, bagi korban yang mengalami depresi lantaran masa depan rusak.

"Untuk di Sumsel, kasus yang ditangani PPPA Sumsel terdiri dari beberapa kasus yakni kasus kekerasan terhadap perempuan, hak asuh, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan (pelecehan) seksual dan anak berhadapan dengan hukum," katanya

Dari data 2022, ada penurunan dibandingkan 2021.

Pada 2021 ada 72 kasus sedangkan pada 2022 ada 31 kasus. Memang menurun, namun itu hanya angka yang dilaporkan.

Sebab, mereka meyakini masih banyak lagi kasus kekerasan yang tidak terlapor. Alasannya malu dan menjadi aib.

"Kasus seperti ini sebenarnya seperti fenomena gunung es. Banyak, tapi tidak terlapor karena malu, merasa rendah apalagi kita tinggal di Indonesia," ungkapnya

Untuk itu, mereka mengimbau agar para keluarga dan tetangga atau orang terdekat jangan takut melaporkan jika memang ada kasus seperti ini. Mengingat, mereka yang melakukan tindakan kejahatan harus dihukum.

"Untuk kasus ini bukan hanya tugas pemerintah tetapi seluruh pihak. Pencegahan terjadi tindak kejahatan seksual dan kekerasan harus terus dilakukan," ungkapnya

Ia menambahkan, penyebab terjadinya kasus seperti ini banyak faktor baik faktor internal maupun eksternal. Seperti pergaulan hingga gadget yang digunakan untuk hal-hal negatif.

Vonis Terdakwa 10 Bulan Penjara

Dua pelaku kekerasan seksual anak berinisial Oo (17) warga Kecamatan Mulak Ulu, dan MAP (17) warga Kecamatan Mulak Sebingkai Kabupaten Lahat divonis 10 bulan kurungan.

Kedua pelaku ini melakukan tindakan asusila rudapaksa terhadap korbannya bernama AP (17), warga Kecamatan Tanjung Tebat, Lahat, Sabtu (29/11/2022) lalu.

Vonis yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lahat, Muhamad Chozin Abu Sait SH ini, lebih tinggi tiga bulan dari tuntujan JPU Kejari Lahat, yang menuntut tujuh bulan kurungan.

Namun, keluarga korban yang mengikuti sidang putusan di Pengadilan Negeri Lahat, keberatan dengan vonis tersebut. Keluarga korban sampai berteriak mengatakan putusan tersebut tidak adil lantaran ulah dari dua pelaku anak tersebut membuat fsikologis korban terganggu.

"Soal putusan, itu mutlak kewenangan Majelis Hakim. Dilihat berdasarkan fakta persidangan, alat bukti dan keterangan saksi. Semua sudah dipertimbangankan, baik dari sisi korban maupun pelaku anak," terang Humas Pengadilan Negeri Lahat, Diaz Nurima Sawitri SH MH, Senin (3/1).

Menurut Diaz, sidang perkara anak ini berlangsung cepat, dilakukan setiap hari secara marathon selama sepuluh hari.

Untuk alat bukti, tetap merujuk ke KUHP. Mulai dari saksi ahli, keterangan saksi anak, dan petunjuk (kesesuaian antara saksi dan bukti lain harus singkron).

"Kedua pelaku anak divonis sepuluh bulan. Sebenarnya, perampasan hak anak (hukuman penjara) ini, adalah upaya terakhir," jelasnya.

M Abby Habibullah SH selaku JPU dalam perkara itu mengatakan, terkait putusan Majelis Hakim memang lebih tinggi dari tuntutan. Untuk banding, pihaknya menunggu petunjuk pimpinan dahulu (Kajari Lahat), karena harus sesuai SOP. Setelah SOP terpenuhi, baru bisa ambil sikap.

"Perkara anak ini memang istimewa. Soal banding, tunggu arahan pimpinan dahulu, pihak korban juga tidak bisa jika mau asal ajukan banding," kata Abby.

Wanto, ayah korban merasa keberatan dengan putusan hakim tersebut.

Menurutnya, putusan 10 bulan itu terlalu kecil. Meskipun ada perlakukan khusus, jika harus dipotong setengah tuntutan hukuman orang dewasa, setidaknya divonis 4,5 tahun.

"Kami sangat kecewa dengan putusan ini. Ini tidak adil. Anak kami jadi korban dan akan alami trauma mendalam karena kejadian ini," ucapnya.

Baca berita lainnya langsung dari google news

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved