Berita Ogan Ilir

3 Produk Kain Khas Ogan Ilir Cocok Jadi Objek Festival Seni Budaya, Dipamerkan Saat Fesvital Burai

Ada 3 produk kain asal Ogan Ilir cocok jadi objek Festival Seni Budaya, dan telah dipamerkan saat  Festival Burai.

Penulis: Agung Dwipayana | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUN SUMSEL/AGUNG DWIPAYANA
Bupati Panca Wijaya Akbar dan Ketua TP PKK Kabupaten Ogan Ilir, Siti Khadijah Mikhailia Khairunisa Alamsjah membeli kain gebeng kedukan kain khas Ogan Ilir yang dipamerkan pada Pergelaran Seni Budaya dan Pameran Wisata di Anjungan Sumatera Selatan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, pada 30 Oktober lalu. 

Dalam menenun kain gebeng, Zainabun juga memanfaatkan bahan pewarna dari alam diantaranya pandan, mengkudu, manggis dan kunyit.

Tahap mewarnai disebut Zainabun adalah yang paling memakan waktu.

"Kalau proses menenun untuk ukuran kain 1 meter misalnya, satu hari selesai. Tapi untuk mewarnai, perlu ketelitian dan memerlukan waktu beberapa hari," ungkap Zainabun.

Dalam sebulan, berbekal tiga unit alat tenun bukan mesin (ATBM), Zainabun dapat menghasilkan hingga 20 lembar kain tenun gebeng.

"Selembar kain gebeng ini penyelesaiannya ada yang sebentar, ada yang lama. Tergantung jenis dan motif," ujar Zainabun.

Selembar kain gebeng dihargai di kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu untuk bahan yang menggunakan pewarna alam.

Kain gebeng hasil kreasi Zainabun ini dipasarkan ke Palembang, Jambi, Lampung, Bengkulu dan daerah lainnya di Sumatera.

Masih di Kecamatan Tanjung Batu tepatnya di Desa Tanjung Pinang, seorang pengrajin kain gebeng bernama Fadilah mengatakan, usaha busana tradisional ini diwariskan turun-temurun oleh orang tua.

Ada beberapa macam kain gebeng yang hingga kini menjadi primadona diantaranya serampang dua belas, pucuk rebung, mato pirik, tujuh motif.

Seiring perkembangan zaman dan era digital saat ini, motif dan tren warna kain gebeng juga menyesuaikan pola kekinian.

"Permainan warna ini yang kami kedepankan. Karena mengikuti permintaan konsumen juga," ucap Fadilah.

Dalam menenun kain gebeng, bahan pewarna yang digunakan bisa sintetis maupun dari alam seperti pandan, mengkudu, manggis dan kunyit.

"Kalau proses menenun untuk ukuran kain 1 meter misalnya, satu hari selesai. Tapi untuk mewarnai, perlu ketelitian dan memerlukan waktu beberapa hari," ungkap Fadilah.

Kain gebeng kreasi Fadilah ini dipamerkan pada Pergelaran Seni Budaya dan Pameran Wisata Ogan Ilir di Anjungan Sumatera Selatan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, pada 30 Oktober lalu.

"Selembar kain gebeng ini penyelesaiannya ada yang sebentar, ada yang lama. Tergantung jenis dan motif," jelasnya.

  • 3. Kain Jumputan

Mari kita menuju Desa Ulak Bedil di Kecamatan Indralaya, untuk melihat proses pembuatan kain jumputan.

Salah satu kerajinan kain tradisional ini telah memiliki tempat di hati para pecinta karya seni busana.

Tak terkecuali bagi Ketua TP PKK Provinsi Sumsel Hj Febrita Lustia Herman Deru dan Wakil Ketua TP PKK Provinsi Sumsel Hj Fauziah Mawardi Yahya.

Tak hanya melihat koleksi kerajinan, Febrita Lustia dan Fauziah Mawardi juga pernah menjajal langsung proses mewarnai jumputan.

Keduanya dipandu pengrajin kain jumputan yang telah berpengalaman selama belasan tahun.

Baik Febrita maupun Fauziah, sama-sama mencoba proses mewarnai dengan bahan daun indigo yang menghasilkan warna biru.

Mula-mula, biang warna biru dimasukkan ke dalam air yang telah mendidih yang disimpan dalam sebuah ember.

Kemudian kain jumputan warna dasar putih dimasukkan ke dalam cairan warna selama beberapa menit.

Setelah itu, kain yang berwarna biru ditiriskan dan dianginkan seperti pakaian yang dijemur.

Sama seperti songket dan gebeng, jumputan juga menggunakan bahan pewarna dari alam.

Ketua Pokja III TP PKK Sumsel Shinta Irasnawati mengatakan, pewarna dari bahan alam merupakan salah satu bentuk kemajuan inovasi kerajinan khas daerah.

Beberapa bahan pewarna alam yang diaplikasikan pada jumputan diantaranya kulit kayu secang, tangkai batang indigo, kulit buah jengkol, buah mengkudu dan kulit rambutan hutan.

Jumputan dengan pewarna alam memerlukan perlakuan khusus untuk menjaga kualitas kain.

Contohnya, setelah dipakai, kain harus dianginkan namun tak boleh terpapar sinar matahari secara langsung.

"Kain dianginkan di bawah tempat yang ada atapnya. Dianginkan selama satu dua hari, tapi jangan kelamaan juga karena takut jamuran," jelas Shinta.

Kain jumputan produksi Ulak Bedil memiliki nilai harga dua hingga tiga kali lipat dibanding kerajinan serupa yang menggunakan pewarna kimia.

Hasil kerajinan asal Ulak Bedil ini tak hanya menembus pasar domestik, namun juga mancanegara.

Seperti negara Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang dan Amerika Serikat, meskipun geliat ekspor tersebut belum terlalu masif.

"Proses pewarnaan alam seperti yang dicoba Ibu Febrita dan Ibu Fauziah adalah tahapan tersulit dalam produksi kain songket maupun jumputan. Inilah karya seni bernilai tinggi yang harus terus kita kembangkan dengan berbagai inovasi," kata Shinta.

Baca berita lainnya langsung dari google news

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved