Berita Palembang
Raperda Pajak Daerah Palembang Tidak Bersahabat dengan UMKM, Pedagang Nasi Uduk Kena
Saat ini tengah dibahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018, tentang pajak daerah
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Wawan Perdana
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Saat ini tengah dibahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018, tentang pajak daerah.
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) IV, M Hibbani, usai melakukan rapat Pansus bersama Badan Pengelolaan Pajak Daerah (BPPD) Palembang, Selasa (21/1/2020) menyatakan, Raperda ini tidak bersahabat dengan UMKM.
"Setelah saya pelajari secara mendalam, Raperda tentang perubahan atas Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2018 tentang pajak daerah, sangat tidak bersahabat bagi UMKM," katanya.
Pria yang menjabat Ketua Fraksi PKS DPRD Palembang ini mengatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang harusnya mengkaji lebih mendalam sebelum mengajukan Raperda.
Ia mengemukakan beberapa pendapat, pertama, soal pajak restoran yang merupakan pajak daerah yang betul-betul menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga pemungutan pajaknya harus dikalkulasi dengan baik agar tidak menimbulkan gejolak.
Berbeda dengan pajak daerah lainnya, misalnya pajak hotel yang menyasar pemilik hotel, kos-kosan atau bangunan sejenis yang dimiliki oleh masyarakat menengah.
Restoran, warung makan, kios makan sebagian dimiliki oleh masyarakat kecil.
"Jika pemerintah kota memaksakan batas omzet dikenakan pajak restoran sebesar Rp 6.000.000 per bulan, atau sama dengan Rp 200.000 per hari. itu sama saja Pemkot Palembang akan memungut pajak dari pedagang nasi uduk yang berhasil menjual dagangannya 20 bungkus sehari (dengan asumsi harga Rp 10.000 per bungkus). dan ini akan membebani BPPD sendiri, dimana BPPD akan direpotkan menagih pajak kepada wajib pajak, padahal jumlahnya tidak material," ujarnya.
Selanjutnya, lulusan Sekolah Tinggi Akuntasi Negara (STAN) ini mengatakan, Pemkot Palembang tidak menemukan alasan yuridis dari mana angka omzet Rp 3 juta per bulan, berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2018 dan omzet Rp 6 juta per bulan berdasarkan Raperda menjadi limit wajib pajak (WP) untuk dikenakan pajak restoran.
"Jika kita menilik definisi usaha mikro berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM di sana didapatkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang memiliki omset sampai dengan Rp 300.000.000 per tahun atau sama dengan Rp25.000.000 per bulan."
"Jika Pemkot Palembang memiliki tekad untuk melindungi UMKM khususnya usaha mikro, maka limit yang paling pas untuk dijadikan patokan pengenaan Pajak Restoran adalah omzet Rp 25.000.000 per bulan, bukan omset Rp 6.000.000 per bulan," tandasnya.
Ditambahkannya, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, dimana dalam pasal 27, diatur tentang kewajiban pembukuan dan pencatatan untuk usaha dengan omset di atas Rp 300.000.000 per tahun.
"Itu artinya PP yang merupakan turunan dari UU pajak daerah ini memandang bahwa angka Rp 300.000.000 per tahun sama dengan Rp 25.000.000 per bulan merupakan limit yang pantas untuk menilai sebuah usaha sudah bisa melakukan pencatatan dan pembukuan, data pencatatan dan pembukuan inilah menjadi dasar bagi WP untuk menghitung pajak terutang," bebernya.
Ia melanjutkan, PAD Palembang di tahun 2020 adalah sebesar Rp 1, 8 T, dimana 81 persennya sekitar Rp 1,5 T, berasal dari pajak daerah.