Hari Disabilitas Internasional : Ini Kisah Ningsih Pendidik Anak Tunagrahita, Duka Dianggap Suka
Sejak tahun 1985 bertindak sebagai relawan, Ningsih, begitulah ia disapa selalu merasa senang, merasa suka
Penulis: Weni Wahyuny | Editor: Wawan Perdana
Banyak pelajaran yang ia dapat dari mendidik anak-anak tunagrahita. Salah satunya adalah kejujuran.
Dia tidak mau berbohong, kalau tidak katakan tidak, kalau iya dia katakan iya.
Dicontohkannya saat membawa atlet ke Riau pada Pornas VIII di Riau 2018 lalu.
Ada atlet yang badannya panas dan muntah-muntah. Sudah direfleksi tapi masih saja sakit.
Lalu ia teringat pasti anak ini punya keinginan tapi tidak bisa mengutarakan.
"Saya panggil kakaknya yang gede, ajak masuk dia ke mall. Biar dia pilih mau tunjuk apa, ini duitnya. Sembuh spontan ketika dia memilih barang ia pengen. Kalau orang tidak tahu, pasti tidak tahu juga cara memperlakukan mereka," terang Ningsih.
Begitu banyak pengalaman yang ia dapatkan dari mendidik anak-anak tunagrahita.
Pelajaran memahami anak tunagrahita didapatkannya secara otodidak sesuai dengan pengalaman yang ia alami saat zaman penjajahan.
Diceritakannya tahun 1948 dirinya ikut memperebutkan kemerdekaan.
Saat itu dirinya sebagai tentara pelajar.
Ia mengklaim bahwa dirinya tergabung di tentara Jenderal Sudirman.
Pada tahun 1970 dirinya pensiun dari Jasdam Kodam 7 Diponegoro
"Saat itu banyak anak-anak terlantar. Jadi kita kumpulkan, kita perbaiki mental mereka dan banyak juga yang sudah menjadi pahlawan. Tugas saya memang Palang Merah Indonesia tapi mencakup semuanya," jelasnya yang pada saat itu berusia 15 tahun.
Tak hanya itu, sambung Ningsih anak tunagrahita khususnya muslim juga mengerti salat dan berwudhu meksipun tak sesempurna anak normal.
"Makanya jangan dibully, dia punya perasaan, dia juga bisa nangis," beber ibu 10 anak.
Ningsih meminta kepada orang sekitar agar menganggap anak-anak spesial tersebut adalah anak-anak yang sama dengan anak normal.
"Saya hanya ingin anak-anak kebutuhan khusus ini disamaratakan dalam segi apapun," uajrnya.