Hari Disabilitas Internasional : Ini Kisah Ningsih Pendidik Anak Tunagrahita, Duka Dianggap Suka
Sejak tahun 1985 bertindak sebagai relawan, Ningsih, begitulah ia disapa selalu merasa senang, merasa suka
Penulis: Weni Wahyuny | Editor: Wawan Perdana
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Matanya terus digenangi air mata, sesekali disekanya agar tak jatuh ke pipi.
Kondisi tersebut berulang kali terjadi saat Hj Mulya Ningsih menceritakan begitu dekat dirinya dengan anak-anak tunagrahita.
Tunagrahita adalah sebutan bagi orang-orang dengan kemampuan intelektual dan kognitif yang berada di bawah rata-rata dibandingkan anak pada umumnya.
Sejak tahun 1985 bertindak sebagai relawan, Ningsih, begitulah ia disapa selalu merasa senang, merasa suka.
Rasa duka pun dianggapnya suka.
Saat itu belum terbentuk Special Olympic Indonesia (SOIna) di Indonesia.
Dan saat ini dirinya dipercaya menjadi Ketua SOIna sejak 2018 lalu.
"Kalau mau diceritakan ini, air mata tidak bisa tidak keluar," katanya saat ditemui di Sekretariat SOIna, Selasa (3/12/2019).
"Kalau suka duka, suka saja, kalau duka tidak ada lah. Kalau sudah ketemu mereka itu tidak ada lagi duka. Cuma adanya sayang, senang," ucapnya.
Sudah terbiasa bergelut dengan anak-anak berkebutuhan khusus, terutama tunagrahita, Ningsih menyebutkan bahwa tak rasanya selalu senang.
Berbeda dengan orang yang jarang bahkan tidak bertemu, dipastikan air matanya akan turun.
"Anak-anak tersebut bisa bilang 'ma ma, ma ma', itu saja orangtuanya seperti menemukan emas," jelasnya.
Ningsih pula menyebutkan bahwa anak tunagrahita selalu berbicara fakta.
Dicontohkannya jika anak diminta untuk menghitung 3+3, hasilnya anak-anak tersebut mengangkat tiga jari kanan dan kiri (telunjuk, tengah, manis).
"Sekarang yang laki-laki masukan tangan (masing-masing 3 jari) ke kantong dan saya tanya 3+3 berapa? Mereka jawab 7. Bingung kan? Mereka mengatakan fakta, dapat dari mana 1? Karena anak seperti ini libidonya lebih tinggi dibanding dari yang normal. Jadi (alat kelamin) jika disenggol sedikit 'bangun'," ungkapnya.