Cerita Khas Palembang
Sejarah Lengkap dan Arti Nama Cinde Palembang, Pernah Diberi Nama Pasar Lingkis
Kawasan Cinde yang mulai direvitalisasi sejak 2018 itu sebelumnya adalah pasar tradisional dengan bangunan yang khas dengan cendawannya.
Penulis: Weni Wahyuny |
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Tak lama lagi Pasar Cinde Palembang akan menjadi pasar modern yang megah.
Kawasan yang mulai direvitalisasi sejak 2018 itu sebelumnya adalah pasar tradisional dengan bangunan yang khas dengan cendawannya.
Harus diketahui bahwa kawasan Cinde ini memiliki sejarah dan cerita yang cukup panjang.
Nama Cinde sendiri menurut Pemerhati Sejarah Kota Palembang, Rd Muhammad Ikhsan berasal dari nama petilasan Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim saat muda yakni Kimas Hindi.
• Pemkot Palembang Buka Sekolah Filial Anak Jalanan dan Putus Sekolah, Ada Pelatihan Keterampilan
Ada kemungkinan lafal cinde dari nama Hindi, lengkapnya Kimas Hindi.
Dikarenakan dalam tulisan aksara Arab berbahasa Melayu antara pelafalan dengan penulisan tidak persis sama.
Kemudian petilasan pada masa akhir hayatnya dijadikan makam di Cinde Welang.
Tokohnya adalah juga Sultan Susuhunan Abdurrahman Candi Walang.
Kawasan ini pula dulunya merupakan kawasan pemakaman yang luas, itu sekitar seratus tahun lalu menurut penuturan lisan RM Husein Natodiradjo yang sering menjadi referensi sejarah kota Palembang.
Ini pula dituliskan oleh Ikhsan lewat bukunya 'Palembang dari Waktoe ke Waktu'.
• Asal Muasal dan Arti Kata Lemabang Palembang, Ternyata Tempat Sunan Lemabang Dimakamkan
Ikhsan menjelaskan dari penuturan RM Husein Natodiradjo, areal perkuburan ini mengitari kompleks makam utama Susuhunan Abdurrahman Candi Walang yang merupakan sultan pertama dari kesultanan Palembang Darussalam.
"Masing-masing kelompok keluarga dari zuriat sultan dan bangsawan Palembang lainnya memiliki ungkonan sendiri."
"Ungkonan makam yang ditutup dengan atap disebut gubah sementara ungkonan tanpa atap lazimnya disebut jambangan," katanya.
Umumnya, sambung Ikhsan, kerabat sultan dan bangsawan lain yang dimakamkan disini menggunakan gelar Raden, masagus, kemas atau kiagus yang saat ini masih ditemukan di prasasti-prasasti makam.
Jika dipetakan, kawasan tersebut membentang dari posisi makam Sunan di dekat pasar Cinde, jalan Cinde Welan, International Plaza, jalan Serelo, jalan Kebun Jahe, jalan Kolonel Atmo hingga Angsoko.
• Melihat Pangkalan Militer Zaman Jepang di Lebung Gajah Palembang, Landasan Meriam di Halaman Sekolah
"Oleh sebab itu jangan heran sampai sekarang masih ada ungkonan-ungkonan tersebut di samping bangunan toko di kawasan tersebut," jelasnya.
Sejak tahun 1916, sambungnya Pemerintah Kotapraja Gementee Palembang mengeluarkan aturan yang menutup kawasan ini sebagai pemakaman dan sebagai solusinya membuatkan tempat pemakaman umum baru yang sering disebut kandang kawat, yakni Kandang Kawat Dukuh, Talang Ilir atau Kamboja dan Puncak Sekuning.
Pasar Cinde sendiri sebelum dibangun permanen di tahun 1958 lebih akrab disebut warga sebagai pasar Lingkis.
Konon disebut pasar Lingkis karena banyak masyarakat dari daerah Lingkis Ogan Komering Ilir yang menjadi pedagang di tempat tersebut.
Nama Lingkis pun saat ini tetap ada dan menjadi sebuah lorong di jalan KS Tubun di sekitar SMA Negeri 15 sekarang.
• Asal Muasal Sekanak Kerihin Palembang, Kini Jadi Spot Selfie Baru Berwarna-warni
Selain itu juga ada nama lorong Pemulutan di dekat pasar Cinde.
"Bisa jadi selain orang Lingkis , juga ada orang Pemulutan banyak berperan pula pada awal terbentuknya kawasan perdagangan ini," terang Ikhsan.
Ikhsan yang mengutip buku biografi walikota H M Ali Amin "Kesan-kesan dalam Kehidupan dan Dalam Berkarya Pengalamab Seorang Pegawai Tiga Zaman, Pemprov Sumsel, Pemprov Bengkulu, Pemkot Palembang" yang terbit pada 1998.
Dalam buku tersebut dituliskan pembangunan Pasar Cinde yang mencontoh gaya pasar Semarang merupakan proyek yang mempunyai sejarah sendiri.
Lokasi Pasar Cinde :
Semua lokasi pasar berada di tengah jalan yang sekarang dibangun monumen perjuangan, dulunya sangat kumuh sehingga menimbulkan kesan yang jelek sekali.
Pemindahannya ke lokasi yang sekarang sudah direncanakan oleh Walikota Sudarman.
Terdapat kesulitan menghadapi pembebasan tanah , milik eigendom keluarga Lim, yang mengalami sengketa keluarga, sehingga kesepakatan mendapatkan tanah tersebut sulit dicapai.
Walikota Ali Amin mengambil jalan pintas dengan menempuh prosedure mengambil tanah tersebut melalui onteigening ten algemeene nutte (penguasa tanah untuk kepentingan umum).
Secara formal permintaan untuk itu dikemukakan kepada DPR.
Tetapi mengingat masalah tersebutlah terlalu sepele dalam kesibukan politik yang dihadapi DPR waktu itu, walikota Ali Amin tanpa menunggu penetapan DPR terus saja mempergunakan tanah tersebut untuk pembangunan pasar Cinde.
Penyelesaian pembayaran kepada keluarga Lim baru dilakukan walikota kemudian.
Walaupun bukan menyangkut pinjaman modal, disini disebutkan kasus penguasaan tanah yang sama seperti tanah pasar Cinde yaitu tanah waris dari almarhum R Nangling jalan Sudirman di lokasi Bank Buni Daya sekarang.
Tanah ini mengalami sengketa waris yang tak kunjung padam sehingga walikota Ali Amin memanfaatkan tanah tersebut untuk parkir mobil.
Setelah sengketa tanah ada kemufakatan, baru oleh walikota kemudian soal tanah tersebut dapat diselesaikan.
Ikhsan melanjutkan karena dengan kondisi Pasaar Lingkis yang belum tertata rapi sementara daerah ini terus bergerak menjadi daerah yang semakin maju dan ramai mendorong Walikota Palembang yang saat itu dipimpin oleh H M Ali Amin hendak membangun suatu pasar yang baru selain pasar Cinde.
Pasar baru itu yakni Pasar Lemabang, Pasar Buah di jalan Sayangan, Pasar 4 Ulu dan renovasi Pasar Kertapati serta Pasar Kuto.
Arsitektur bangunan pasar Cinde ini sangar mirip dengan Pasar Johar Semarang yang dibangun oleh kolonial Belanda tahun 1930-an.
Pada bangunan ini terletak ciri khas berupa tiang cendawan yang menopang menjulang bangunan.
Sementara ruang dalam di lantai dua yang terbuka mengingatkan kenangan orang-orang lama dengan suasana yang sama di Pasr Los 16 Ilir yang telah habis terbakar pada 1993.