Pasien Gangguan Jiwa Didata untuk Pilpres, Namanya Sendiri Saja Bisa Lupa
Manajemen Rumah Sakit Ernaldi Bahar menyambut rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendata pasien pengidap ganguan jiwa untuk
Iwan juga menjelaskan berdasarkan pengalaman sebelumnya, saat ada pemilu, atau pilkada, biasanya pasien akan kembali ke keluarganya.
"Iya jadi saat pemilihan begitu, yang tidak rawat inap hanya kontrol dan sebagainya, mereka dikembalikan keluarganya dan bisa memilih dari pada golput," jelasnya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumsel Kelly Mariana menerangkan.
Pihaknya akan membahas, soal pemilih yang mengalami gangguan jiwa tetap diakomodir dalam pemilu mendatang.
"Kami belum dapat petunjuk dari KPU RI. Tapi, sepanjang aturan yang lama masih berlaku, pemilih gangguan jiwa, bisa tetap menggunakan hak pilihnya jika ada surat keterangan dokter."
"Nanti 21 November akan kami bahas rekomendasi dari KPU RI tersebut," katanya.
Kelly menambahkan, dalam pembahasan nanti, pihaknya perlu membahas terkait kategori gangguan jiwa.
Sehingga nanti ada pemisahan kategori/kadar gangguan jiwa yang bisa menggunakan hak pilih.
"Selain harus di atas 17 tahun, kalau yang gangguan jiwa harus ada surat keterangan dokter," jelasnya.
Dilanjutkan Kelly, pihaknya harus siap mendata dan memfasilitasi pemilih yang mengalami gangguan jiwa tersebut.
Baik di rumah sakit atau di lingkungan sekitar masyarakat.
"Kalau pengawalan kan memang ada di setiap TPS, tentu tidak di semua TPS ada pemilih dengan gangguan jiwa, perlu ada pendataan sebelumnya."
"Juga contohnya apakah akan ada TPS di RS jiwa, masih akan kita bahas terlebih dahulu," tandasnya.
Komisi Pemilihan Umum ( KPU) berencana untuk memasukkan pemilih penyandang disabilitas mental ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Langkah tersebut, berdasar rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan sejumlah masyarakat sipil.