Aidit Saat Diwawancarai 1964: Inilah Alasan Utama kenapa Ia Memilih PKI Dibanding Partai Lain

Aidit Saat Diwawancarai 1964: Inilah Alasan Utama kenapa Ia Memilih PKI Dibanding Partai Lain

Moh Habib Asyhad
Sedikit tentang Dipa Nusantara Aidit: Mozaik di Luar Politik 

Dan pada sidang CC tahun berikutnya ia terpilih menjadi Sekretaris. Tahun 1951 bersama Njoto ia hendak menghadiri kongres partai komunis Nederland.

Waktu itu kalau mau ke Belanda tak diperlukan visum. Sampai di lapangan terbang Schiphol keduanya tak dibolehkan turun. Disuruh pulang kembali.

Komentarnya, “Kami disuruh bayar lagi. Tentu saja kami tolak. Kan mereka  yang memulangkan kami.”

Pada Kongres IV PKI 1954 peremajaan pimpinan PKI berhasil. Sekjen D.N. Aidit (31 tahun), kedua wakilnya MH Lukman (34 tahun), dan Njoto (29 tahun).

Sekali waktu Sekjen Aidit pergi ke Manado. Orang bertanya kepadanya, “Bung kapan datang jenderalnya?”

Orang kira sekjen berarti sekretarisnya jenderal. Nama itu ternyata tak sesuai dengan pengertian masyarakat kita.

Pada 1959 diubah menjadi Ketua Rekan dan anak buah menyebutnya “Kawan ketua Aidit”. Salam mereka bukan membungkuk (ini feodal bukan?) tetapi angkat tangan sambil tersenyum.

Agitas, organisasi, dan mobilisasi massa adalah garis baru yang ditegaskan PKI selama ini. Sebelum diterima oleh Aidit ada beberapa kali saya menunggu di ruang penerima tetamu.

Percakapan mereka selalu segar. Penuh keyakinan, optimisme, dan hari depan yang gemilang!

Dalam kedudukan sebagai Ketua CC, Aidit sering kali melawat ke luar negeri. Menghadiri kongres-kongres di Moskow dan negara-negara komunis lainnya.

Katanya ini perlu baginya. Karena merupakan bahan perbandingan yang bermanfaat dalam “mengindonesiakan” partai komunis.

Kawan hidup Aidit seorang dokter spesialis atom untuk kesehatan tetapi juga seorang aktivis Gerwani. Namanya, nyonya dokter Tanti Aidit. Mereka kawin pada tahun 1948, rupanya di Solo.

“Sebenarnya anak saya 4, tetapi karena yang bungsu kembar jadi 5,” kata Aidit sambil menarik-narik kedua pipa celananya sampai-sampai ke atas lutut.

Tatkala nyonya Tanti mengadakan spesialisasi di Moskow, anak-anaknya turut serta. Dua anak perempuan  yang tertua sekolah di sana sampai sekarang, 1 SM, 1 SD. Tiga yang di rumah semuanya lelaki. Dokter Tanti Aidit kini mengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Aidit berkendaraan mobil mentereng Dodge hitam karena sebagai wakil ketua MPRS ia adalah Yang Mulia Menteri.

Dengan sendirinya tokoh seperti dirinya banyak pikiran dan pekerjaan. Namun tetap segar, jernih mukanya. Seminggu sekali sedapat-dapatnya ia berenang.

Kesehatan perlu bagi seorang pemimpin, “Kalau pemimpin sakit, bukan dia saja menanggung akibatnya, tetapi organisasi masyarakat.”

Politikus yang tak berolahraga menurut pendapatnya abnormal. Selama wawancara 2 jam itu, Aidit banyak minum, rokok, dan secangkir kopi pahit.

Ia pun gemar musik. Musik yang indah mampu melenyapkan keletihan tubuh. Tidur cukup 4 – 5 jam sehari. Asal betul-betul pulas.

Pernah karena kesibukan dalam MPRS ia tak tidur dua hari dua malam. Seorang politikus menurut pendapatnya seharusnya gemar juga akan kesenian.

Kesenian membantu perkembangan pribadi yang harmonis, perkembangan pikiran, dan perasaan.

Ia gemar kesusasteraan. Shakespeare misalnya. Karena sekalipun ia bukan seorang sosialis tetapi karya-karyanya melukiskan keadaan masyarakat pada zamannya.

Amir Syarifuddin suka juga membaca Shakespeare. Sobron Aidit seorang sastrawan terkemuka adalah saudara kandungnya. Jamak kalau Aidit pun menyukai puisi.

Dulu ia beranggapan untuk politik cukup mengetahui sosiologi. Itu sebabnya ia membaca banyak buku sosiologi di museum. Itu tak benar, harus ditambah dengan ekonomi dan politik.

Orang berpolitik harus belajar banyak. Mengambil keputusan-keputusan politik hanya berdasarkan surat kabar atau majalah tidaklah cukup.

Karena itu kader-kader PKI sendiri diwajibkan mengikuti pelajaran. Untuk itu dibuka Akademi-akademi seperti Akademi Ali Archam, Dr. Rivai, Dr. Ratulangi, dll.

Kalau kader-kader PKI militan dan semangat itu karena mereka telah mendapat pendidikan, latihan, dan contoh dari pimpinan.

Seorang kader yang mengeluh tentang beban sandang pangan dewasa ini, misalnya, harus insaf bahwa rakyat banyak yang ia bela lebih sulit keadaannya.

Padahal kekuatan mereka justru dalam kesetiakawanan dengan massa rakyat. Demikian keterangan bung Aidit.

Saya ajukan pertanyaan: selama berjuang dalam politik sejauh ini manakah puncak baginya? Dijawab, “Proklamasi kemerdekaan,” lalu ditambahkan “Itu sampai sekarang…. Entah nanti!”

Itulah sekadar perkenalan pertama dengan bung Aidit. Belum mendalam tentu, tiada lengkap pula. Maklum hasil percakapan 2 jam saja.

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1964)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved